Bab 5.

Pukul 9 malam, sebuah sedan berwarna silver masuk ke gerbang bar dengan kecepatan tinggi. Dion yang mengendarai mobil itu nyaris saja menabrak sepasang kekasih yang tengah berjalan ke arah parkiran. Hal itu tentu saja membuat beberapa mata berteriak histeris.

Sadar akan bahaya yang baru saja dia ciptakan, Dion melompat turun dari mobilnya. Kaos hitam yang dikenakannya terlihat kusut, bahkan raut wajahnya terlihat tak beraturan.

"Apa kalian baik-baik saja? Maaf atas keteledoran saya barusan. Saya benar-benar minta maaf."

Dion menekuk wajahnya dengan suara yang terdengar bergetar. Perasaan bersalah itu tak luput dari tatapan matanya yang terlihat begitu sendu.

"Tidak apa-apa, kami baik-baik saja. Lain kali berhati-hatilah dalam berkendara. Kecerobohan anda tadi tidak hanya membahayakan orang lain, tapi juga diri anda sendiri!" ucap seorang pria.

Beruntung saat itu Dion dengan sigap membanting stir nya ke arah berlawanan. Terlambat sedikit saja, entah apa yang akan terjadi setelahnya.

Dion mengusap wajahnya dengan kasar, penglihatannya mulai berkunang-kunang dan kabur. Dadanya terasa sesak hingga hembusan nafasnya mulai tersendat.

Entah darimana dan apa yang telah terjadi dengan Dion malam ini. Jika dilihat dari bahasa tubuhnya dan ekspresi wajahnya, sepertinya dia baru saja menghadapi masalah yang cukup besar membelit hidupnya.

"Ya Tuhan, apa yang baru saja aku lakukan? Aku hampir merenggut dua nyawa tak berdosa secara bersamaan. Apa yang terjadi denganku? Tidak seharusnya aku melampiaskan amarahku saat menyetir." batin Dion menyalahkan dirinya sendiri.

***************

Malam berlalu begitu cepat, matahari pagi mulai bersinar menerangi seisi dunia.

Hari sudah menunjukkan pukul 9 pagi, Maura tersenyum bahagia. Diraihnya tangan Bik Sam dengan lembut, satu kecupan mendarat di punggung tangan wanita itu.

"Hati-hati ya Non, sampaikan salam Bibik untuk Nenek. Kalau memungkinkan, ajaklah beliau kemari. Bibik kangen sekali sama beliau."

Bik Sam melambaikan tangannya, matanya berkaca-kaca melepas kepergian Maura yang ingin berkunjung ke tempat neneknya.

Dua buah koper berukuran sedang sudah masuk ke dalam bagasi mobil, ditambah sebuah tas berwarna coklat milik Pak Anto yang ikut tersusun rapi di dalam sana.

Pak Anto menutup rapat bagasi mobilnya, dalam hitungan detik mobil itu keluar dari gerbang dan berangsur hilang dari pandangan Bik Sam.

Lama menetap di luar negeri tidak membuat Maura lupa akan asal usulnya. Meskipun ibunya telah tiada, tapi dia masih memiliki seorang nenek yang sangat dia sayangi.

"Kring, kring...,"

Ponsel yang ada di dalam tas Maura berdering. Gadis cantik itu tersenyum sumringah saat memandangi layar ponselnya yang masih bergetar.

"Halo Yah,"

Maura menyapa Doni sesaat setelah panggilan telepon itu tersambung.

"Halo sayang, bagaimana kabar kamu Nak? Apa kamu jadi berangkat ke tempat Nenek?" tanya Doni yang sudah mengetahui rencana Maura sejak tadi malam.

"Maura baik-baik saja Yah, ada Pak Anto yang menjaga Maura. Ayah tidak perlu khawatir, sekarang kami sedang di perjalanan menuju rumah Nenek." sahut Maura.

"Bersenang-senanglah di sana, jangan lupa sampaikan salam Ayah pada Nenek!" pesan Doni untuk ibu mertuanya.

"Iya Yah, Ayah tenang saja. Kalau begitu, teleponnya Maura tutup dulu ya. Nanti kita sambung lagi setelah Maura tiba di rumah Nenek." ucap Maura.

"Baiklah Nak, kebetulan klien bisnis Ayah juga sudah datang."

"Tut, tut..."

Sambungan telepon itu terputus sesaat setelah Maura menekan tombol merah pada layar ponselnya.

Dua jam sudah Maura dan Pak Anto menyusuri jalanan menuju perkebunan milik almarhum kakeknya. Jalanan yang cukup menantang, membuat Pak Anto tidak bisa mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Perjalanan yang cukup panjang membuat tubuh Maura terasa lelah. Matanya mulai mengantuk, sesekali mulutnya menguap lebar hingga akhirnya dia pun terlelap dengan begitu nyenyak.

Di tempat lain, Dion tengah berpamitan kepada sahabatnya Diki. Pria tampan itu menyandang sebuah ransel hitam di punggungnya.

"Selama aku pergi, bar ini menjadi tanggung jawab mu. Jangan biarkan siapapun membuat kekacauan di tempat ini! Jika ada yang bertanya kemana aku pergi, katakan saja kalau kau tidak tau apa-apa! Termasuk pada wanita sialan itu."

Dion merangkul pundak Diki dan menepuk punggungnya dengan pelan. Tidak ada yang tau alasan apa yang membuatnya ingin menjauh untuk sementara waktu.

"Baiklah, aku mengerti. Jaga dirimu baik-baik!"

Diki membalas pelukan Dion, diterimanya amanah yang Dion titipkan dengan senang hati.

Hari sudah menunjukkan pukul 3 sore, Maura masih saja terlelap dengan begitu nyenyak. Dia bahkan tidak menyadari kalau mobil yang dikendarai Pak Anto sudah terparkir di halaman rumah neneknya.

"Non Maura, Non, ayo bangun! Kita sudah sampai."

Suara Pak Anto sayup-sayup menekan gendang telinga Maura, dia membuka matanya perlahan sembari mengucek nya dengan telapak tangannya. Mimpi indah yang menemani perjalanannya pun buyar seketika.

"Ada apa Pak, kenapa berhenti?" tanya Maura yang masih setengah sadar.

"Loh, bukankah Non ingin pergi ke rumah Nenek?" ucap Pak Anto yang kebingungan menjawab pertanyaan Maura.

Dengan mata yang belum terbuka dengan sempurna, Maura menoleh ke arah jendela mobil. Didapatinya pemandangan yang sungguh indah dipandang mata. Kicauan burung yang tengah bernyanyi mulai terdengar jelas di telinganya.

"Kita sudah sampai, kenapa Pak Anto tidak mengatakannya dari tadi?" cetus Maura.

"Loh, kok jadi nyalahin Bapak?"

Wajah Pak Anto bersungut-sungut mendengar ucapan Maura, ingin sekali dia marah namun hal itu tak mungkin dia lakukan.

Dari kejauhan, seorang wanita tua tampak mondar-mandir di sebuah kebun. Meskipun kulitnya sudah keriput, tapi tubuhnya masih sangat kuat melakukan aktivitasnya.

Maura melompat turun dari dalam mobil, dengan penuh semangat dia berlari menghampiri wanita tua yang sedang asik memanen stroberi di kebun yang luas itu.

"Nenek,"

Maura berteriak dengan lantang, sepasang tangannya terbuka lebar dan melingkari tubuh neneknya dengan erat. Hal itu sontak saja membuat Nek Ida terkejut bukan main.

"Maura, cucuku. Apa ini benar-benar kamu sayang?" Pipi wanita tua yang sudah keriput itu basah seketika.

"Iya Nek, ini Maura cucu kesayangan Nenek. Apa Nenek sudah tidak ingat lagi sama Maura?"

Maura melepaskan tangannya dari tubuh Nek Ida. Diraihnya tangan keriput itu dan diciuminya berulang kali. Bola mata berwarna coklat itu menatap sendu wajah neneknya yang sudah tidak muda lagi.

"Kenapa tidak mengabari Nenek dulu kalau kamu mau ke sini?"

Nek Ida menyentuh wajah cucunya, berulang kali dia mencubit pipi Maura hingga wajah gadis cantik itu memerah bak udang rebus.

"Sudah Nek, jangan di cubit terus!"

Maura menahan tangan Nek Ida dan kembali memeluk tubuh renta itu dengan erat.

Hari sudah mulai gelap, Maura menggenggam lengan neneknya. Memapah tubuh renta itu hingga tiba di rumah tempat ibunya dilahirkan.

Tidak ada yang berubah dari rumah itu, semua masih sama seperti terakhir kali Maura berkunjung di perkebunan itu.

Terpopuler

Comments

Putri Putri

Putri Putri

mencari kedamaian 😁

2022-07-28

2

Alenka

Alenka

nah,ntar ketemu lagi tu

2022-06-27

2

Uni

Uni

Dion ada masalah apa sih

2022-06-24

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!