Nadira menatap penuh harap pada seorang resepsionis di gedung Rajasa Group.
“Baik, akan saya sampaikan,” sang resepsionis menutup sambungan telepon. “Mari nona, saya akan mengantar anda ke ruangan ibu direktur,” sang resepsionis berkata ramah pada Nadira.
Nadira mengikuti langkah sang resepsionis, memasuki lift bersama menuju lantai paling atas dari gedung Rajasa Group. Begitu keluar dari lift, tak jauh melangkah, Nadira dibawa oleh sang resepsionis memasuki sebuah ruangan yang tatanan kursi dan mejanya seperti di ruang rapat. Ruangan itu sepi, hanya ada dirinya dan juga si resepsionis cantik.
“Silahkan anda menunggu di sini ya nona, ibu direktur akan segera menemui anda di sini,”
“Baik, terima kasih,” Nadira tersenyum sama ramahnya pada sang resepsionis yang kemudian melangkah pergi dengan gaya anggun keluar dari ruangan.
Nadira langsung menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia merasa deg-degan dengan pertemuannya dengan Rachel siang ini. Dan kenapa Rachel membawanya ke ruangan yang privasi seperti ini.
Mata Nadira nanar menatap ke mana-mana, ia benar-benar sendirian di ruangan itu. Sambil menunggu ia berusaha memperbaiki suasana hati dan juga mentalnya sambil merangkum setiap kata yang baik dan bijak dalam pikirannya. Agar nanti ia tidak salah bicara dan bisa menarik simpati Rachel.
Pintu utama kemudian terbuka, Rachel muncul dengan gaya formal kantoran yang anggun dan berkelas, sangat sesuai menggambarkan strata sosialnya. Di belakangnya, seorang lelaki berusia sekitar tiga puluhan tahun, berjalan mengikuti Rachel.
Nadira bangkit berdiri begitu Rachel semakin dekat. Lelaki itu segera menarik kursi utama, kursi yang biasanya digunakan oleh pemimpin rapat. Rachel segera duduk di kursi itu. Dia tak tersenyum, wajahnya datar saja.
“Irfan, tolong antarkan pada kami dua cangkir green tea,” ucap Rachel begitu ia duduk.
“Baik nyonya,” jawab laki-laki bernama Irfan itu, kemudian melangkah keluar ruangan, meninggalkan Nadira yang berduaan saja dengan Rachel.
Suasana tiba-tiba terasa mencekam.
“Te-terima kasih nyonya sudah meluangkan waktu untuk bertemu dengan saya,” ujar Nadira agak terbata.
“Sepertinya ada hal penting yang ingin kamu sampaikan, sampai memberanikan diri menyambangi kantorku,” ujar Rachel dengan tatapan yang angkuh. “Apa kau mau mengabari soal di mana keberadaan Niken?” tanyanya tampak tidak tertarik.
“Bukan nyonya, tapi ini tentang paman saya, pak Herman, ayahnya Niken,”
Rachel tersenyum tipis, “kenapa? Apa dia mengadu kalau bisnisnya jadi bermasalah?”
“Tolong Nyonya Rachel, jangan mengusik paman. Semua salahnya Niken, tidak sepantasnya paman merasakan dampaknya juga,”
“Kau mau aku bagaimana? Sampai sekarang tidak ada yang tahu di mana Niken, bagaimana aku memberinya pelajaran atas sikap angkuhnya pada putraku yang berani melukai hatinya. Aku hanya sedikit mengancamnya dengan mengusik perusahaan ayahnya, mungkin kalau dia mendengar kabar itu, dia bisa memunculkan batang hidungnya di sini,”
“Nyonya, paman juga sangat menyesali sikap Niken kepada Arga. Dia benar-benar tidak menyangka Niken tega berbuat seperti itu,”
“Apa kau bisa melakukan sesuatu untuk membereskan kekacauan yang disebabkan oleh Niken?”
Nadira diam. Tujuannya ke sini hanya ingin memohon kepada Rachel agar tidak mengusik perusahaan pamannya.
“Perusahaan pamanmu itu tidak seberapa. Aku bisa mengacaukannya dalam sekejap mata, seperti Niken yang sudah mengacaukan perasaan putraku,”
Amarah Rachel mulai terlihat dari sorot matanya. Nadira kini harus lebih berhati-hati dalam memilih kata.
Pintu utama tiba-tiba terbuka, Irfan kemudian muncul bersama seorang wanita yang membawa dua cangkir green tea. Setelah meletakkan masing-masing secangkir green tea di hadapan Rachel dan Nadira, wanita itu bergegas keluar, tapi tidak dengan Irfan. Lelaki itu berdiri setia di samping Rachel.
“Silahkan diminum dulu,” ujar Rachel lalu menyeruput pelan green tea-nya.
Nadira ikut menyeruput green tea-nya. Tampak Irfan sedang menjawab telpon, “nyonya, ada telpon dari kepala pelayan di rumah anda,” Irfan menyerahkan ponsel itu kepada Rachel. Rachel sengaja mengaktifkan loudspeaker ponselnya agar didengar juga oleh Nadira.
“Halo bu Ruly, ada apa dengan Arga?” Rachel seperti sudah bisa menebak tujuan kepala pelayan di rumahnya menelpon langsung kepadanya.
“Nyonya, maaf saya tidak bisa mengatasi tuan muda Arga. Dia lagi-lagi menghamburkan isi kamar, menolak makan dan mengusir kami semua keluar dari kamarnya. Tuan muda sekarang sedang mengunci diri di kamar, melarang siapa pun untuk masuk ke kamarnya,”
“Biarkan saja dia seperti itu, pastikan saja dia tidak melukai dirinya sendiri,” Rachel menghela nafas lalu menutup telpon.
“Irfan, segeralah ke rumah, bereskan kekacauan yang diperbuat Arga. Dobrak saja pintu kamarnya, setelah dari sini aku akan segera pulang ke rumah. Kalau dia masih mau memecahkan sesuatu, berikan semua gelas di rumah untuk dia pecahkan sampai hatinya merasa puas,”
“Baik nyonya,” Irfan memberi hormat sejenak lalu bergegas pergi. Kini lagi-lagi Nadira berduaan saja dengan Rachel.
“Kau dengar itu kan? Bagaimana kondisi putraku setelah menjadi seorang tuna netra?” mata Rachel tampak berkaca. “Aku seorang single parent dengan dua orang anak. Suamiku meninggal dunia saat Arga masih delapan belas tahun dan Rasty masih sebelas tahun. Mau tidak mau aku harus mengurus perusahaan ini, keluarga suamiku menatapku remeh karena aku yang awalnya hanya ibu rumah tangga lalu naik ke kursi direktur mengurus perusahaan ini. Mereka berusaha mencari celah untuk menjatuhkan dan merebut perusahaan ini. Tapi mereka semua salah menilaiku, aku lahir dan tumbuh besar di Amerika, aku tidak bodoh dalam hal mengurus perusahaan, almarhum suamiku selalu mengajariku mengurus perusahaan. Aku sangat ingin menikmati kembali kehidupanku mengurus rumah, memberi kasih sayang yang utuh bagi Rasty, tapi sekarang apa, aku harus kembali ke sini karena kondisi Arga yang tidak memungkinkan untuk mengurus perusahaan,” Rachel menumpahkan curahan hatinya.
Setitik embun menetes pelan dari kedua mata Rachel.
“Arga adalah satu-satunya pewarisku. Dia sedang dalam masa-masa menikmati perannya sebagai direktur di Rajasa Group. Sekarang dia terus-terusan mengurung diri di kamar, dia tidak bisa lagi ke sini, dia malu, dia merasa malu dengan kebutaannya. Apa kau paham bagaimana perasaanku sebagai ibunya?”
Nadira tampak tersentuh, “Nyonya...,”
“Argaku bukan lagi Arga yang dulu. Yang ceria dan pekerja keras. Kini dia menutup diri dari dunia, dia merasa sendirian hidup dalam kegelapan. Dia juga harus menerima kenyataan, wanita yang dicintainya memilih meninggalkannya karena tidak bisa menerima kondisinya. Kamu lihat kan, apa yang sudah diperbuat oleh sepupumu kepada putraku? Bukan hanya pada Arga, tapi juga kepadaku. Sekarang aku juga harus bisa membagi waktu antara mengurus perusahaan, mendampingi Rasty yang sedang dalam masa peralihan dari remaja ke dewasa dan juga mendampingi Arga yang sedang berjuang untuk bisa menerima kondisinya yang buta,”
“Nyonya, maafkan saya,” sahut Nadira pelan, kedua matanya ikut berkaca, tampak menahan emosi begitu melihat langsung Rachel mengungkapkan perasaannya.
Suasana hening tercipta. Yang terdengar hanya tangis pelan Rachel memikirkan nasib Arga yang harus berakhir dalam kebutaan.
“Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu anda nyonya?” tanya Nadira begitu peduli. Niat awal Nadira adalah ingin merebut hati Rachel agar tidak mengusik perusahaan pamannya, kini justru hati nuraninya yang direbut oleh wanita berkelas itu.
Rachel mengambil sapu tangan dari dalam tas jinjingnya yang mahal dan menghapus pelan titik air matanya. Setelah perasaannya tenang, rautnya yang dingin dan angkuh mulai tampak di permukaan wajahnya.
“Aku tidak butuh Niken kembali dalam hidup Arga. Aku tidak akan pernah memberinya kesempatan kedua untuk bisa bersama Arga lagi. Gadis itu benar-benar pembuat onar, sekarang kehormatan keluargaku juga dipertaruhkan. Mereka semua sudah tahu soal rencana pernikahan Arga dan Niken, meski undangan belum disebar, tapi sudah selesai dicetak, wedding organizer, fitting baju pengantin, lokasi bulan madu mereka, aku sudah menyiapkan semuanya dengan sangat baik. Keluarga besarku yang di Amerika juga sudah tahu. Lalu tiba-tiba aku harus bilang, Arga tidak jadi menikah, calon istrinya meninggalkannya karena dia buta. Aku benar-benar malu kalau harus menyampaikan hal itu, kehormatanku benar-benar dipertaruhkan,”
Nadira masih diam, kini ia seolah bisa memahami perasaan terdalam Rachel.
“Apa kau bisa membereskan kekacauan yang disebabkan oleh sepupumu?” tanya Rachel.
Nadira masih diam, Rachel pun ikutan diam. Keduanya seperti sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Apa aku harus bertanggung jawab atas perbuatan Niken?” Nadira seolah bertanya pada dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Rahmi Diana
pengorbanan nadira...
2021-08-28
0
Nur hikmah
uuh......smg baik2 sj nasib nadira....q bnr2 dagdig dor thor
2021-08-27
2