Nadira menghirup pelan kepulan asap dan aroma yang menguar dari kopi caramel dalam genggamannya. Menghirupnya tenang bagai seseorang yang kecanduan heroin.
Nadira menyeruput pelan kopinya yang masih agak panas sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Waktu semakin cepat merambat ke pukul 24.00 malam. Suasana ruang Unit Gawat Darurat (UGD) masih tampak lengang, sore tadi mereka kedatangan pasien kecelakaan yang jatuh dari atap rumah karena memperbaiki genteng dan mengalami patah tulang di tangan. Dan kini pasien itu telah di pindah ke ruang rawat inap di bangsal.
Nadira yang seorang dokter umum, mendapat giliran bertugas di UGD malam ini. Ia bertugas di UGD dari maghrib sampai besok pagi. Kopi adalah salah satu cara baginya untuk terus menghidupkan matanya agar betah dan kuat begadang, terlebih jika ada pasien gawat darurat yang datang di tengah malam buta.
Nadira berdoa semoga tidak ada pasien yang masuk di UGD malam ini, agar ia bisa mendapat jatah tidur malam yang cukup. Baru saja ia memikirkan hal itu, suara sirene ambulans spontan membuyarkan lamunannya yang membuatnya bangkit dari tempat duduk. Itu tandanya ada pasien gawat darurat yang masuk UGD.
Nadira meraih stetoskopnya di atas meja dekat gelas kopinya, membetulkan sejenak letak hijabnya di depan cermin lalu bergegas menuju ke ambulans bersama beberapa perawat yang mendapat jatah tugas malam ini dengannya.
Nadira dan beberapa perawat sudah bersiap di depan pintu ambulans. Begitu pintunya di buka, Nadira kaget melihat seorang perempuan muda duduk dalam mobil itu penuh linangan air mata dan sorot ketakutan. Pasien yang parah adalah seorang laki-laki mengenakan kemeja abu-abu tampak tidak sadarkan diri dengan kepala yang berlumuran banyak darah.
“Niken!” seru Nadira panik. Perempuan bernama Niken itu adalah sepupunya.
Perawat dengan sigap membawa si pasien laki-laki yang terbaring tidak sadarkan diri di atas tandu, lalu dipindahkan ke atas brankar dan masuk ke dalam ruang UGD.
“Niken, apa yang terjadi sama kamu?”
“Nad, tolong selamatkan Arga! Selamatkan dia!” isak Niken sambil mencengkram baju khusus rumah sakit yang dikenakannya. Tangan Niken yang dipenuhi darah Arga, jadi mengotori baju Nadira.
“Kita bicarakan ini nanti,” Nadira bergegas masuk ke ruang UGD, menemui pasien yang baru saja dibawa masuk oleh perawat. Niken mengekornya di belakang.
Perawat sudah mengambil beberapa tindakan dengan membersihkan luka dan juga darah yang menempel di kepala dan sekitar mata Arga. Niken sedang memberi keterangan kepada perawat tentang identitas Arga.
Setelah memberi tindakan medis kepada Arga, Nadira beranjak menemui Niken yang berdiri was-was tidak jauh. Nadira mendapati pemandangan khawatir dan ketakutan dari raut wajah cantik Niken.
“Bagaimana keadaan Arga?” Niken hendak menghambur ke tempat Arga berbaring, masih belum sadarkan diri.
“Tenang, kami sudah menanganinya,” Nadira menahan tubuh Niken. Ia merasakan bajunya agak basah. “Apa kau kehujanan? Ayo kita ke ruanganku, aku punya beberapa baju untuk mengganti bajumu yang basah,”
“Aku harus melihat Arga,”
“Tenanglah, kami sudah menanganinya. Sebentar lagi dokter spesialis mata akan datang memeriksa kondisinya,”
“Dokter spesialis mata? Kenapa? Ada apa dengan Argaku?” Niken jadi panik.
“Aku memeriksa, sepertinya kedua matanya tidak merespon cahaya waktu aku menggunakan medical pen light untuk mengecek kondisinya. Karena aku hanya dokter umum, jadi untuk memastikan dokter spesialis mata yang akan datang memeriksa kondisinya. Berdoalah semoga kondisinya baik-baik saja,”
Niken kembali terisak, “Nad, tolong selamatkan Arga, aku tidak mau dia kenapa-napa,”
Nadira hanya mengangguk. Ia tahu Niken begitu shock dan khawatir dengan kondisi kekasihnya, calon suaminya, beberapa minggu lagi pernikahan mereka akan segera dilangsungkan.
“Apa kau sudah menghubungi keluarganya?” tanya Nadira.
Niken menggeleng pelan. “Aku tidak berani. Aku takut,”
“Niken, keluarganya berhak tahu kondisi Arga, terutama kedua orang tuanya,” Nadira tampak kecewa melihat Niken tidak bertindak cepat untuk menghubungi keluarga Arga.
Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel, Niken mengangkat tangannya yang memegang dua buah ponsel. Satunya ponsel milik Arga, yang sedang berdering, terbaca di layar ponselnya Mommy memanggil.
“Mati aku, Mommy menelepon. Aku harus bilang apa,” tampak putus asa dan masih mengabaikan panggilan telpon itu.
“Beritahu yang sebenarnya, Niken,”
“Kau saja, aku mohon,” Niken melempar ponsel Arga ke tangan Nadira.
“Kenapa malah aku,”
“Aku mohon Nad, aku masih begitu shock, aku jadi tidak tahu hendak berkata apa pada mommy. Dia pasti menelpon karena sudah larut malam, Arga belum pulang ke rumah. Aku tidak bisa mengatasi kalau dia kaget, tahu anaknya ternyata habis kecelakaan dan sedang di UGD,”
“Hmm, baiklah,” Nadira menjawab telpon dari ibunya Arga.
“Halo, Arga kamu di mana sayang?” terdengar suara penuh kekhawatiran.
“Mohon maaf, saya dokter Nadira bu,”
“Dokter? Kenapa ponsel anak saya ada sama kamu? Mana Arga?”
“Begini bu, anak ibu baru saja kecelakaan dan sekarang sedang di UGD Rumah Sakit Harapan. Kebetulan saya dokter yang bertugas di UGD,”
“Apa?!” ibu Arga memekik kaget, “bagaimana keadaan anak saya?” ibu Arga mulai terisak.
“Kami sudah menanganinya di UGD bu, silahkan ibu datang langsung melihat kondisinya,”
“Apa ada yang menemani anak saya di sana?”
“Ada bu, tunangannya,”
Ibu Arga bernafas lega, kemudian pamit menutup telpon, ingin segera bergegas ke rumah sakit.
.
.
.
Nadira terus terbayang dalam benaknya ketika ia memeriksa kondisi Arga tadi di UGD. Wajah tampannya terus terbayang. Nadira tersadar ketika Niken keluar dari kamar mandi ruangannya sudah dalam keadaan mengganti pakaiannya yang basah dengan pakaian miliknya.
Niken masih tampak shock dan sedih.
“Niken, semua pasti akan baik-baik saja,” Nadira merangkul Niken, berusaha menguatkan. “Ingatlah, beberapa minggu lagi kalian akan menikah.”
“Nad, aku masih kepikiran tentang dokter spesialis mata. Apa, Arga akan buta?” Niken mengutarakan kekhawatirannya.
Nadira diam. Sejujurnya dia tahu apa yang akan terjadi kepada Arga.
“Berdoa saja yang terbaik, kalaupun Arga akan buta, pasti masih bisa disembuhkan,”
Niken bersandar lesu di tembok, “kalau sampai Arga kenapa-napa, hancurlah aku. Arga pasti akan membenciku, bukan hanya dia, keluarganya juga pasti akan membenciku,”
“Sebenarnya apa yang terjadi antara kalian? Kenapa Arga sampai bisa kecelakaan?” tanya Nadira penuh rasa kekhawatiran.
Niken pun mulai menceritakan semuanya.
“Jadi kau masih berhubungan dengan Desta?” Nadira tampak terkejut setelah Niken bercerita.
“Nad, dia yang mencariku dan menemuiku di cafe tempat aku biasa bermain piano. Terus terang, kehadiran Desta sangat menggangguku,”
Desta sebenarnya adalah cinta pertama Niken sejak SMA. Namun mereka putus ketika Desta lulus beasiswa ke Jerman. Saat kuliah dan menjadi mahasiswa, Niken dan Arga berkenalan, lalu saling jatuh cinta. Mereka sempat putus nyambung, dan beberapa bulan yang lalu Arga resmi melamar Niken, dan dalam hitungan minggu, pernikahan mereka akan segera digelar. Segalanya telah dipersiapkan dengan matang oleh keluarga masing-masing.
Niken sejujurnya tak bisa melupakan Desta. Dulu ia menerima Arga karena lelaki itu selalu memberinya hadiah barang-barang yang mewah. Apalagi Arga begitu perhatian, membuat hati Niken semakin luluh.
Kini kehadiran Desta kembali dalam hidupnya, membuat hati Niken jadi bimbang, antara Arga ataukah Desta?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Ananda Muthaharoh
dasar meresahkan, ya kamunya aja yg bimbang oneng, cm manpaatin kebaikan arga untuk kepentingan km sendiri, km ga suka sm orangnya, bilang aja dri awal, mngkin arga jg akn mengerti, tp ya sudah lah nasi sudah jd bubur, klo arga buta pasti ujung2nya ditinggalin kasihan arga. semoga arga cpet sembuh
2022-09-23
0
Hamzasa
jadi cemburunya arga bukan ga beralasan kan...
2022-03-12
0
Iiq Rahmawaty
ahh ga konsisten ni..brarti cinta lu ke arga emg ga besar buktinya pas desta muncul kembali kau mulai goyah niken
2021-12-17
0