Adinda duduk di depan meja kerjanya. Jari-jemarinya dengan lincah menarikan pensil di atas kertas putih. Keningnya berkerut tanda ia fokus dengan pekerjaannya, sehingga terbentuk sebuah desain baju pengantin yang tampak indah sesuai imajinasinya.
Done
Adinda tersenyum melihat hasil desain sepasang baju pengantin impiannya. Ya, Adinda mendesainnya sendiri walau ia tahu bahwa pernikahan ini hanyalah pura-pura. Namun, penampilannya harus terlihat sempurna. Siapa tahu Devin akan terpesona dan berubah pikiran untuk menerimanya. Ah, betapa indahnya dunia khayalan, membuat Adinda tersipu membayangkan.
Tak terasa sudah tiba waktunya makan siang. Cacing di perutnya pun meronta-ronta minta jatah. Dibereskannya kertas-kertas yang berserakan di mejanya. Disimpannya dengan rapi sebelum ia meninggalkan ruang kerjanya.
Adinda merapikan kembali penampilannya yang sedikit terlihat kusut. Memindai kembali paras ayunya di depan cermin. Adinda menyimpan kembali cermin tersebut ke dalam laci meja kerjanya. Berdiri dengan anggun dan melenggang ke arah pintu keluar.
Braaakkkk.
Suara pintu yang dibuka dengan keras seketika menghentikan langkahnya sebelum mencapai pintu. Keningnya mengernyit mengingat siapa orang yang kini berdiri dengan angkuh di hadapannya. Wanita itu tersenyum sinis. Melempar tatapan tajam pada Adinda.
Sesaat Adinda terkejut dengan aksi wanita tersebut. Di belakangnya berdiri Alia dengan wajah sungkan.
"Maaf Bu, wanita ini memaksa masuk." Alia merasa tak enak hati membiarkan orang lain menerobos masuk ke ruangan Adinda tanpa menunggu dipersilahkan.
"Iya, tidak apa-apa. Kamu boleh lanjut bekerja." Adinda tersenyum dan mengangguk pada Alia.
"Kalau begitu, saya permisi Bu." Gegas Alia meninggalkan ruang kerja Adinda dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Pandangan Adinda beralih pada wanita yang masih berdiri di ambang pintu. Sebenarnya dia malas berhadapan dengan orang yang tak punya etika. Namun, sebagai owner ia harus bersikap ramah pada setiap pelanggan yang datang. Ia harus bisa bersikap profesional.
"Siapa sih nih orang? Dasar gak punya sopan santun," batin Adinda mengumpat kesal.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Adinda berusaha berbicara senormal mungkin.
"Oohhh. Jadi loe yang namanya Adinda?" Wanita itu dengan gaya angkuhnya melenggang masuk ke dalam ruangan.
Netranya memindai ke setiap penjuru ruangan. Ia berbalik menatap Adinda yang masih setia berdiri di tempatnya. Wanita itu tersenyum mengejek.
"Maaf ada yang bisa saya bantu?" Meskipun kesal dengan wanita di hadapannya yang tak memiliki sopan santun, tapi sebisa mungkin Adinda harus mengontrol emosinya.
"Kenalin, gue Liona. Gue pacarnya Devin!" Liona memperkenalkan dirinya dengan angkuh.
"Oh, pantas saja wajahnya terasa familiar. Cantik sih, tapi kelakuannya minus." Adinda hanya bisa mengumpatnya dalam hati.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Sekali lagi Adinda melontarkan pertanyaan yang sama.
"Gue mau loe batalin perjodohan bod*h itu!" Liona tersenyum sinis.
Adinda hanya membalasnya dengan senyuman. Dia tidak mau buang-buang energi meladeni orang yang lagi patah hati.
"Devin cintanya sama gue bukan sama loe. Gue yakin pernikahan kalian gak akan membuat Devin bahagia!" ucap Liona percaya diri.
"Maaf, jika Anda datang kesini hanya untuk menyampaikan hal yang tidak ada kaitannya dengan butik kami, pintu keluarnya ada di sebelah sana, silakan." Adinda berkata sambil menunjuk ke arah pintu keluar.
"Ok, gue pergi sekarang, tapi loe harus inget kalau gue gak bakalan ngebiarin itu terjadi. Camkan itu!" Liona melenggang pergi dengan wajah merah menahan amarah. Sumpah serapah ia lontarkan pada Adinda.
Setelah Liona pergi, Sinta dan Alia datang menghampiri Adinda. Raut khawatir tampak jelas di wajah mereka.
"Kamu baik-baik saja kan Din?" Sinta bertanya dengan cemas.
"Insyaallah aman." Adinda tetap tersenyum. Dia tidak ingin membuat teman-temannya cemas.
"Yakin gak apa-apa?" timpal Alia.
"Iya, aku gak apa-apa. Kalian tenang saja," ucap Adinda.
"Kenapa kamu gak nolak aja perjodohan ini Din? Aku ngeri ngeliat wanita tadi emosi kayak gitu." Alia bergidik mengingat sumpah serapah yang Liona ucapkan ketika berpapasan dengannya.
"Aku gak bisa menolak Al. Ini adalah wasiat bunda yang harus aku tunaikan dan juga sebagai ungkapan balas budiku terhadap keluarga Devin," ungkap Adinda.
Setelah Mila yang tengah hamil besar di usir oleh keluarga suaminya, ia tinggal di rumah Intan. Biaya hidup Mila dan Adinda di tanggung penuh oleh keluarga Devin. Sampai Adinda lulus kuliah ia memutuskan untuk membuka usaha butik kecil-kecilan. Tiga bulan kemudian dia memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan dengan sang bunda walau Intan keberatan.
---
Rindu menyeruak kala Adinda membuka pintu rumahnya. Sepi menyambut kedatangannya. Sesak di dada setiap kali kepingan kebersamaan dengan sang bunda menari-nari di benaknya.
Perlahan ia melangkah masuk dan tak lupa menutup pintunya kembali. Ia biarkan bulir bening yang sedari tadi ditahan. Ia mengambil figura di atas nakas. Diperhatikannya senyum teduh dari wanita paruh baya yang kini tak lagi bersamanya.
"Bunda, Adin rindu," lirih Adinda berkata.
Seandainya sang bunda masih hidup, tentulah kini ia akan menceritakan semua permasalahan yang menimpanya. Tidur dengan kepala berbantal pangkuan sang bunda, dengan tangan yang selalu mengelus kepalanya lembut. Adinda sangat merindukan semua itu.
Diusapnya air mata yang masih menetes di pipinya. Tak ingin lama-lama larut dalam kesedihan yang hanya akan memperburuk keadaan. Gegas ia menuju ke kamar mandi. Berendam sejenak untuk merefresh badan dan pikirannya yang sedang tidak baik-baik saja.
---
"Sayang, kamu kenapa sih gak mau jujur sama aku." Liona langsung melontarkan pertanyaan pada Devin ketika Devin membukakan pintu apartemennya.
"Masuk dulu, kita bicarakan di dalam." Devin mengajak Liona untuk masuk.
Liona menghentakkan kakinya mengekori langkah Devin. Bibirnya mengerucut menandakan ia sedang kesal.
"Duduk dulu. Mau minum apa?" tawar Devin.
"Yang dingin-dingin aja," jawab Liona dengan malas.
"Tunggu sebentar!" Devin beranjak menuju dapur dan kembali dengan 2 kaleng minuman dingin.
"Aku gak habis pikir, kenapa kamu bisa bohongin aku Dev?" Liona bertanya kembali setelah meminum minuman yang di suguhkan Devin.
"Aku gak ngerti kamu ngomong apa," kata Devin .
Liona mencebik kesal. "Aku dengar bahwa sebentar lagi kamu akan menikah. Benar kan?" Liona bertanya pada Devin yang hanya dibalas dengan anggukan kepala.
"Apa karena aku menolak untuk segera menikah, sehingga kamu mencari pelabuhan lain. Kenapa kamu gak bisa bersabar sedikit lagi buat nungguin aku siap Dev?" Pertanyaan Liona hanya dibalas gelengan kepala.
"Tidak Sayang. Bukan itu masalahnya." Devin menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Aku dijodohin!" sambungnya.
"Terus kamu gak nolak?"
"Aku gak bisa menolak keinginan orang tuaku Lio. Selama ini orang tuaku selalu mengabulkan keinginanku. Orang tuaku tak pernah menuntut apapun dariku," terang Devin
"Apa kamu mencintainya?" tanya Liona
"Tidak, hubunganku dan dia hanya sebatas sahabat. Kalaupun aku menikah dengannya itu hanya sementara waktu." Devin menggenggam tangan Liona mencoba meyakinkan wanitanya bahwa hanya dia yang dicintainya.
"Maksud kamu? Kalian nikah kontrak?"
"Ya, hanya setahun. Setelah itu aku akan meyakinkan orang tuaku untuk menerimamu sebagai menantu." Devin membawa Liona dalam dekapannya. Tanpa ia sadari Liona tersenyum sinis di balik punggung tegapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
YS
yah makan tuh cewek impian.
2022-08-05
1
Nadiya Rahman
Waduh kasihan sekali Adinda 🤔
2022-08-04
1
Nadiya Rahman
Wkwkwk pede banget Lo 😂🤭
2022-08-04
1