"Apaaa? Dijodohin?" Devin terkejut dan tak percaya dengan pernyataan mamanya.
"Gak usah lebay gitu Sayang!" Intan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku sang anak.
"Ma, aku sama Adinda itu hanya sebatas sahabatan saja Ma. Aku bahkan sudah menganggap dia adik Ma. Mama kenapa sih bikin keputusan gak berunding dulu sama aku?" geram Devin tak terima dengan keputusan mamanya yang dianggap tergesa-gesa.
"Devin, Devin. Gimana Mama mau ngerundingin perjodohan ini sama kamu, sedangkan waktu itu Mama menikah saja belum. Ada-ada saja kamu ini." Intan tertawa menanggapi pertanyaan konyol putranya.
"Kan Mama bisa tanya dulu sama aku. Mau apa tidak aku dijodohkan." Devin menghembuskan napas kasar.
"Bukannya kamu memang sayang sama Adinda? Kalau kalian sudah ketemu, pasti selalu lengket kayak prangko. Pasti gak akan sulit menumbuhkan rasa cinta di antara kalian." Intan tak habis pikir mengapa anaknya menolak perjodohannya dengan Adinda.
"Tapi Ma--" Devin masih mencoba bernegoisasi dengan Intan.
"Sudah gak ada tapi-tapi. Mama gak mau dengar penolakan." Intan memotong perkataan Devin. Lalu ia menyambar tas di sampingnya dan bersiap beranjak pergi.
"Aku sudah punya kekasih Ma. Aku juga berniat melamarnya dalam waktu dekat ini," jelas Devin.
Intan menghentikan langkahnya. Ia kembali mendudukkan dirinya di sofa. Matanya memicing menatap sang putra yang menunduk tak berdaya.
"Siapa? Sejak kapan?" Intan mengintrogasi putranya seperti seorang terdakwa.
"Liona Ma. Sejak dua minggu yang lalu," lirih Devin menjawab. Dia masih menunduk. Tak berani beradu pandang dengan mamanya. Jari jemarinya saling bertaut menandakan betapa gugupnya dia saat ini.
"Devin, kalau ngomong itu lihat lawan bicaranya. Memangnya lantai itu lebih menarik dari pada Mama yang cantiknya pari purna membahana."
Devin seketika mengangkat kepalanya. Dia memutar bola mata malas. Dia jengah menghadapi kenarsisan sang mama yang sudah level akut.
"Siapa tadi kamu bilang? Liona? Anaknya Danu sama Mirna?" tanya Intan.
"Iya Ma." Devin menganggukkan kepala.
"Mama tidak setuju kamu punya hubungan dengan mereka," tegas Intan
"Kenapa Ma?" Devin mengerutkan kening bingung.
"Jangan tanya apa alasannya. Suatu saat kamu pasti tahu sendiri. Nanti malam pulanglah. Mama juga mengajak Adinda makan malam di rumah untuk membahas pernikahan kalian." Intan berdiri dan beranjak meninggalkan apartemen putranya.
"Aakkkhhh!"
Devin meremas rambutnya frustrasi. Aura sang mama sungguh sangat mengintimidasinya. Setiap tutur kata yang terucap adalah perintah yang tak dapat dibantah. Devin lebih suka berhadapan dengan para klien dari pada berdebat dengan mamanya. Segala argumentasi yang dia sampaikan hanya dianggap angin lalu oleh Intan.
---
"Halo **S**ayang!"
"..............."
"Aku lagi meeting sama klien di luar."
"............."
"Nanti kalau aku sudah selesai meeting aku hubungin kamu."
"............."
"Bye Sayang, i miss you too!"
Wanita itu tersenyum sinis ke arah handphone yang digenggamnya. Hembusan napas hangat seseorang menyapu tengkuknya. Lengan kokoh itu melingkar posesif di pinggangnya.
"Apakah kamu mencintainya?" tanya si lelaki.
"Apa kamu cemburu?"
"Kau selalu membuatku gemas Liona. Once more?"
---
"Sayang, panggilkan Devin di kamarnya. Sudah waktunya makan malam," suruh Intan pada Adinda.
"Baik Tante." Adinda menganggukkan kepalanya dan melempar senyum termanis ke arah Intan.
Adinda melangkah menuju kamar Devin. Jantungnya berdegup tak menentu seiring langkah kakinya yang menaiki anak tangga menuju lantai dua.
Semenjak Adinda tahu bahwa dia di jodohkan dengan Devin, sejak saat itu komunikasi antara dirinya dan Devin mulai renggang. Langkah Adinda terhenti di depan kamar Devin. Adinda menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Dia harus menetralkan degup jantungnya.
Tok tok tok.
Adinda mengetuk pintu namun tak ada jawaban.
Tok tok tok.
"Dev, sudah waktunya makan malam. Tante sama om nungguin kita di bawah!" Sekali lagi Adinda mengetuk pintu kamar Devin dan memanggilnya. Namun nihil, tetap saja tak ada jawaban.
Adinda mendorong perlahan pintu kamar Devin yang tak menutup sempurna. Kepalanya melongok ke dalam. Memindai seluruh isi di dalam kamar. Namun, apa yang dia harapkan tak ia temukan.
Perlahan kakinya melangkah ke dalam. Terdengar bunyi gemericik air di balik pintu kamar mandi. Adinda mengangkat tangan hendak mengetuk pintu, tepat ketika pintu kamar mandi terbuka sempurna. Sesaat Adinda di buat mematung dengan penampakan makhluk tuhan yang paling aduhai di hadapannya. Begitu juga dengan Devin yang terkejut melihat keberadaan Adinda di dalam kamarnya.
"Aaaahhhhh!" Adinda menjerit dan lari terbirit-birit ketika kesadarannya mulai terkumpul.
Devin sendiri masih terdiam di pintu kamar mandi. Lalu ia pun melangkah menuju lemari untuk mengambil pakaiannya.
"Oh God, aku lupa menyampaikan tujuanku datang ke kamarnya." Adinda menepuk jidatnya dan memutar langkahnya kembali ke arah kamar Devin.
Tok tok tok.
"Dev, waktunya makan malam. Om dan tante sudah nunggu di meja makan!" panggil Adinda.
"Iya tunggu sebentar. Aku masih berpakaian!" sahut Devin dari dalam kamarnya.
Adinda tersipu mengingat kejadian barusan. Roti sobek yang terpahat sempurna membuatnya meneguk saliva. Pipinya merona seperti buah tomat. Adinda berusaha menghalau pikiran yang tidak-tidak yang kini mulai meracuni benaknya. Tak sepantasnya dia memikirkan hal itu. Ia pun turun dengan tergesa.
---
Selesai makan malam Adinda membantu bi Inah membereskan meja makan. Intan sudah melarangnya tapi Adinda memaksa. Berada di dekat Devin membuatnya semakin salah tingkah.
Kini mereka berkumpul di ruang keluarga untuk membahas perjodohan Adinda dan Devin. Tentulah yang paling antusias disini adalah Intan. Dia sangat bersemangat untuk segera menunaikan janji yang telah ia sepakati dengan almarhumah sahabatnya.
"Alangkah baiknya niat baik itu segera dilaksanakan. Bagaimana kalau acara pernikahannya kita laksanakan bulan depan saja. Cukup waktu untuk kita mempersiapkan semuanya." Bima memberi saran yang membuat Adinda dan Devin melongo.
"Mama setuju Pa. Lebih cepat lebih baik. Mama sudah gak sabar pengen gendong cucu." Tanpa Intan sadari ucapannya membuat Adinda dan Devin tersedak.
"Uhuk uhuk uhuk." Adinda dan Devin terbatuk bersamaan.
"Kalian ini memang ditakdirkan untuk berjodoh. Batuk saja sampai barengan." Intan terkikik geli sambil menyodorkan dua gelas air ke arah mereka.
"Ya ampun Ma. Tolong kata-katanya di filter. Kasian anak-anak sampai batuk-batuk kayak gini!" Bima memperingati istrinya yang dibalas cengiran oleh sang istri.
Setelah kondisi mereka mulai membaik, topik pembahasan pun dilanjutkan kembali. Keputusan akhir pun di ambil bahwa pernikahan mereka akan dilaksanakan bulan depan.
Devin berusaha menolak dengan mengatakan bahwa dia punya kekasih pada papanya. Dia berharap papanya dapat membatalkan perjodohan ini. Namun, reaksi Bima sama seperti Intan. Tetap tak ada penolakan. Mau tidak mau pernikahan tersebut harus tetap dilaksanakan.
Adinda sendiri diam saja. Dia pasrah menjalani perjodohan ini. Dia hanya berharap Devin tak akan pernah membencinya dan belajar menerima semuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Nadiya Rahman
Please ma,pa,aku kan bukan anak kecil lagi,aku berhak menentukan pilihanku ma,pa 😢
2022-07-24
1
Nadiya Rahman
WOW cantiknya paripurna membahana ya mam😀🤭
2022-07-24
1