bab 2

Air mata Adinda tak berhenti mengalir. Gundukan tanah merah yang masih basah di hadapannya seakan menjadi saksi betapa hatinya kini dirundung nestapa. Para pelayat satu persatu melangkah pergi. Kini, hanya tinggal Adinda, Devin dan kedua orang tuanya, Intan Wijaya dan Bima Wijaya.

"Bunda, mengapa kita harus berpisah seperti ini? Adin belum sempat membahagiakan Bunda seperti janji Adin. Adin gak tahu, apa Adin sanggup menjalani hidup Adin hanya seorang diri," lirih Adinda berkata di sela isak tangisnya.

Intan berjongkok di samping Adinda. Membawa Adinda ke dalam dekapannya. Ia pun merasa sangat kehilangan. Intan dan Mila tumbuh bersama di panti asuhan. Namun, nasib Mila tak seberuntung dirinya. Fathan memang sangat mencintai Mila. Namun, cinta mereka terhalang restu, sehingga peristiwa kecelakaan tragis yang menimpa Fathan menambah poin kebencian mereka terhadap Mila.

"Sabar ya Sayang. Adinda gak sendiri. Ada Tante, Om, dan juga Devin. Kami akan selalu ada buat kamu Sayang." Intan mengelus punggung ringkih itu dengan mata berkaca-kaca. Intan melepas pelukannya dan mengusap puncak kepala Adinda. "Ikhlaskan, agar bundamu tenang di alam sana Sayang." Intan mengusap air mata yang tak berhenti mengalir di pipi Adinda.

"Insyaallah Adinda ikhlas Tante." Adinda menyunggingkan senyum tipis walau bibirnya masih terasa kaku hanya untuk sekedar tersenyum.

"Kalau begitu sebaiknya kita segera pulang. Sepertinya akan turun hujan." Bima berkata sambil mendongak memandang langit yang tampak gelap.

Mereka beranjak meninggalkan pemakaman. Intan dan Bima berjalan bersisian di depan dengan tangan yang bertaut mesra, sedangkan Adinda dan Devin di belakang dengan perasaan canggung. Sesekali Devin mencuri pandang ke arah Adinda. Hatinya turut hancur melihat sahabatnya bersedih seperti ini.

Devin menggapai tangan Adinda dan membawanya dalam genggamannya. Adinda seketika menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Devin dan tangannya secara bergantian. Adinda melepaskan tangannya dalam genggaman Devin, membuat Devin salah tingkah.

"Maaf," lirih Devin sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Hmm." Adinda kembali melanjutkan langkahnya menyusul orang tua Devin yang telah sampai di luar pemakaman.

 ---

Sebulan telah berlalu. Hidup harus terus berjalan walau rasanya tak lagi sama. Bukan untuk melupakan, melainkan menyimpannya di sudut hati sebagai kenangan. Kini, Adinda sedikit demi sedikit bisa bangkit. Menjalani kesibukan mengurus butik bersama dua orang temannya sewaktu kuliah dulu, Sinta dan Alia. Sejenak kesibukannya mengalihkan dirinya dari perasaan hampa tanpa seorang ibu dan yang terpenting kini dia tidak lagi merasa sendiri.

Tok tok tok.

"Masuk!" Adinda mempersilahkan seseorang yang mengetuk ruangannya untuk masuk.

"Din, sudah waktunya makan siang. Kamu bawa bekal, apa mau aku pesankan?" tanya Sinta sambil melangkah masuk dan duduk di kursi di depan meja kerja Adinda.

"Nanti aku pesan sendiri. Aku masih mau menyelesaikan ini dulu, tanggung soalnya." Adinda menjawab dengan tersenyum.

Sinta memindai kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerja Adinda. Dia menghembuskan napas pelan. Sahabatnya ini kalau sudah kerja memang terlalu fokus. Sampai-sampai sering melewatkan jam makan siang.

"Istirahat dulu lah Din. Aku dan Alia nungguin kamu loh," bujuk Sinta

"Kalian berdua istirahat aja dulu."

"Tapi Din--"

"Assalamualaikum." Kalimat Sinta terpotong oleh seruan salam dari arah pintu yang terbuka.

"Waalaikumsalam." Serempak mereka menjawab dan menoleh ke asal suara.

Intan melempar senyum tulus ke arah mereka. Intan melangkah masuk dengan menenteng paperbag di tangannya. Dia duduk di sofa sambil mengeluarkan isi dari paperbag yang dia bawa, yang ternyata isinya adalah makanan.

"Kalian pasti belum makan siang kan? Kebetulan hari ini Tante masak banyak. Jadi, kita makan sama-sama ya. Sinta, tolong panggilkan Alia di depan suruh ke sini," perintah Intan sambil menata makanan di atas meja.

Sinta mengangguk dan langsung melangkah keluar untuk memanggil Alia, sedangkan Adinda melangkah menuju sofa di mana Intan menunggunya. Tak lama kemudian, mereka pun berkumpul untuk makan bersama.

 ---

"Adinda, ada yang ingin Tante bicarakan sama kamu." Intan mengajak Adinda bicara setelah mereka hanya tinggal berdua di ruang kerja tersebut.

"Mau bicara apa Tante?" tanya Adinda.

"Dulu, waktu Tante dan bundamu masih tinggal di panti asuhan, kami adalah 2 orang sahabat yang tak terpisahkan, hingga kami memiliki kehidupan masing-masing. Dulu, kami pernah berjanji untuk selalu bersama dalam suka dan duka. Namun, kami sadar bahwa ada saatnya kami menjalin kehidupan berumah tangga ketika jodoh kami di pertemukan. Maka dari itu, kami merubah janji yang pernah kami ucapkan." Intan menjeda kalimatnya lalu tersenyum menatap Adinda yang masih setia mendengarkan.

"Kamu mau tahu apa janji Tante dan bundamu dulu?" Intan bertanya pada Adinda. Tangannya mengelus surai indah milik anak gadis sang sahabat yang telah tenang di alam sana.

Adinda mengangguk sembari menerka-nerka. Janji apa yang telah terjalin antara sang bunda dan tante Intan, sehingga beliau merasa sangat perlu membicarakan ini padanya.

Intan mengambil napas dan menghembuskannya perlahan sebelum kembali membicarakan janji yang harus segera ia tunaikan.

"Tante dan bundamu berjanji akan menjodohkan anak-anak kami jika mereka terlahir dengan jenis k*****n yang berbeda dan tujuan Tante datang kesini untuk melamar kamu menjadi menantu Tante," ucap Intan menjelaskan panjang lebar isi perjanjian tak tertulis yang pernah dia sepakati dengan Mila.

Adinda syok mencerna kata demi kata yang di ucapkan Intan barusan. Adinda bahagia jika harus dijodohkan dengan laki-laki yang telah mencuri hatinya selama ini. Namun, di sisi lain Adinda tak yakin bahwa Devin akan menerima perjodohan ini mengingat kejadian di cafe tempo hari.

"Bagaimana, apa kamu mau jadi menantu Tante? Jadi istri Devin?" Intan bertanya sekali lagi melihat Adinda yang masih diam membisu.

"Hmm, tapi Tante, Adinda dan Devin itu sahabatan sejak kecil Tan. Jadi, bagaimana mungkin kami tiba-tiba menikah Tante?" tanya Adinda

"Justru karena kalian sudah bersahabat sejak kecil. Jadi, akan lebih mudah bagi kalian untuk menyesuaikan diri menjalani kehidupan setelah menikah nanti. Bisa karena terbiasa. Jadi, apa lagi yang kau cemaskan, Sayang?" Intan masih bersikukuh membujuk Adinda untuk menerima perjodohan ini.

Adinda menghembuskan napas pelan kemudian menganggukkan kepalanya walau hatinya masih ragu.

"Alhamdulillah, makasih Sayang." Intan membawa Adinda dalam pelukannya.

"Iya, tapi Tante ..." Ragu Adinda mengatakan apa yang sekarang ada di benaknya.

"Tapi apa Sayang?" tanya Intan seraya melerai pelukannya.

"Hmmm itu ... bagaimana dengan Devin sendiri Tante?" Adinda menundukkan kepalanya.

"Devin itu sayang sama kamu Din. Devin juga anak yang penurut. Urusan Devin biar Tante yang urus. Kamu tenang aja ya Sayang." Senyum tak pernah pudar menghiasi wajah wanita paruh baya tersebut. Intan bahagia impiannya dan sang sahabat akan segera terwujud walau kini sahabatnya berada dalam dimensi yang berbeda.

Akankah Devin menerima perjodohan tersebut? Atau justru menolak dengan dalil persahabatan?

Terpopuler

Comments

Shuhairi Nafsir

Shuhairi Nafsir

ceritanya sunggoh egois. orang tua yang penting kan diri sendiri . tanpa memikirin hati dan perasaan seseorang.

2022-07-31

0

Nadiya Rahman

Nadiya Rahman

kira-kira Devin menerima gak ya🤔

2022-07-23

1

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

Ceritanya ngena banget thor, Yuk mampir juga kak di karyaku juga Don't leave me my dear ya thor.
mari saling bantu😊

2022-07-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!