5. Weekend

Hari baru telah tiba, matahari bersinar terang di tahtanya yang kokoh. gumpalan kapas berwarna putih turut menghiasi cakrawala biru di akhir pekan yang begitu menyegarkan ini. Semilir angin berhembus membawa aroma rerumputan dan bunga bunga yang tumbuh dengan indah di sekitar rumah Pak Yanto.

Suara ternak terdengar saling sahut menyahut seolah mereka sama sama menyambut akhir pekan ini.

"Loren, kamu antarkan Eli, dia mau keluar katanya sekaligus bawakan pesanan Pak Cipto di jalan kemangi, Tigaraksa, bapak udah packing telur telurnya bersama Budi kemarin," ucap Pak Yanto yang sedang membuat catatan pengeluaran dan pemasukan peternakan miliknya.

“ Baik pak, “ ucap Loren sambil mengangkat galon air yang baru dia bawa dari warung di seberang rumah mereka.

Loren berjalan dengan cepat, hari yang panas membuatnya begitu berkeringat tetapi dia menikmati pekerjaannya.

“ Ayah, Eli pulangnya telat hari ini, “ ucap gadis yang sudah berdandan rapi dengan kemeja berwarna kuning telur dan celana tissu hitam panjang yang diengkapi dengan sepatu kets putih di bagian kakinya. Rambutnya yang panjangnya hanya sebahu di gerai, menggunakan riasan wajah yang lembut dan segar.

Pak Yanto mengangkat kepalanya dengan kacamata yang bertengger di ujung hidungnya yang mancung. Jika dilihat lebih jelas maka orang orang akan sadar kalau Pak yanto bukan keturunan asli Indonesia lantaran kulinya putih bersih kemerahan dengan freckles di bagian pipinya, perawakannya juga besar dan tidak seperti orang Indonesia pada umumnya.

Sebenarnya nenek dan kakek Elia dari pihak ayahnya adalah keturunan Rusia yang bermigrasi ke Indonesia, sehingga darah Rusia masih mengalir dalam tubuh mereka.

“ Mau kemana?” tanya Pak Yanto yang kembali fokus ke pekerjaannya, “ bukannya Cuma keluar sebentar bareng teman teman kamu itu?” tanya Pak Yanto lagi tanpa menatap Eliana.

“ Hanya mau bermain,” jawab Eliana singkat.

Pak Yanto mengangguk paham, dia membuka laci mejanya, mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan dan menghitungnya dengan teliti.

Pak Yanto menatap putrinya yang sangat mirip dengan mendiang ibunya. Eli sedang memeriksa pesan di obrolan grup mereka tentang janji temu hari ini.

“ Eli,” panggil pak Yanto pelan.

Eli menutup ponselnya dan menoleh ke arah Pak Yanto dengan tatapan lugunya.

“ ambil ini, uang jajan buat kamu,” ucap pak Yanto sambil memberikan uang itu pada Eiana. Sekitar lima ratus ribu uang rupiah di berikan pada Eliana.

“ Nggak usah ayah, Eliana punya uang kok,” tolak gadis itu dengan sopan.

Pak Yanto tak senang mendengar jawaban dari putrinya. Dia berdiri lalu mengambil tangan Elianan yang kembali memegang ponselnya.

“ Ayah gak tau kapan ayah akan mati, setidaknya kamu akan mengingat kalau Ayah pernah memberikan uang padamu, ambil ini dan gunakan lah , bersenang senanglah dengan teman temanmu, kalau kurang Ayah akan berikan lagi, kamu nggak sendirian di dunia ini, kenapa harus mengurung dirimu sendiri,” ucap Pak Yanto.

Rasanya Pak Yanto ingin menangis melihat bagaimana putri ketiganya tumbuh dengan rasa sepi dan kesedihan yang tak akan pernah hilang. Cap yang diberikan orang orang padanya sebagai seorang pembawa sial telah dia bawa sejak dia lahir.

Cap yang memakan habis mental Eliana dan menjadikannya seorang gadis yang pendiam dan tertutup dengan kehidupan pribadinya.

Eliana terdiam saat mendengar ucapan Ayahnya. Seperti sebuah pisau tajam yang menghujam jantungnya. Rasanya sesak tetapi selalu berhasil dia sembunyikan dengan wajah kaku dan diamnya itu.

“ Ambil dan bersenang senanglah, kau tidak harus banyak bekerja,” ucap Pak Yanto sambil menepuk pucuk kepala anak perempuannya. Pria itu pergi dari sana setelah menyelesaikan pekerjaannya.

Eliana menggenggam uang yang diberikan oleh Ayahnya. Sebenarnya gaji Eliana cukup untuk dirinya bahkan lebih dari cukup , semua uangnya dia tabung untuk masa depannya. Eliana menunduk. Kata kata Pak Yanto tadi sangat mengena di hati Eliana. Memang Eliana jarang meminta uang bahkan sejak di masa sekolah, semua kebutuhan Eliana selalu dibayarkan per semester. Uang sakunya di berikan per bulan sehingga Elianan jarang meminta uang , dia hanya menggunakan apa yang sudah diberikan saja.

Berbeda dengan kedua kakaknya yang boros dan sangat suka menghambur hamburkan uang untuk kehidupan pribadi mereka meskipun mereka tau diri dan menggantinya ketika mereka sudah bekerja.

Eliana menunduk, rasanya sangat sesak di dadanya, dia selalu hidup dengan rasa bersalah itu di hatinya. Berpikir kalau kehidupan suram yang mereka lewati terjadi setelah dirinya di lahirkan ke dunia ini.

Air mata Eliana berjatuhan, dia tidak menginginkan kejadian itu, jika bisa dia pun tak ingin dilahirkan ke dunia yang mengerikan dan penuh sesak ini. Tapi apa daya, manusia hanya ciptaan yang harus mengikuti arus dari penciptanya.

“ Ayo cepat, aku akan mengantarmu,” Loren keluar dari kamarnya setelah mengganti kaosnya karena sudah basah akibat keringat tadi. Pria itu berjalan dengan wajah datar . Ekor matanya melirik Eliana yang menangis. Bahkan ketika menangis saja dia tercekat seperti itu, hanya melihat Eli saja, Loren bisa merasakan sesak di dada gadis itu.

“ kalu mau menangis, menangis saja, jangan ditahan, kau akan sakit,” ucap Loren. Namun sayangnya kata kata itu tak keluar dari bibirnya, dia hanya mengucapkannya di dalam hati.

Eliana menghapus air matanya. Dia berdiri dan mengikuti Loren ke mobil pengangkut barang milik Ayahnya.

“ Pak saya berangkat dulu, barang untuk rumah makan Sucipto sudah saya bawa sekalian,” ucap Loren yang sudah duduk di kursi supir.

“ Baiklah, pulang dari sana tolong bawakan belanjaan di toko Anyer, sudah bapak pesan pada mereka, kamu tinggal bawa saja,” balas pak Yanto yang sedang memberi makan ayam ayamnya.

“baik Pak,,” ucap Loren .

Eliana duduk diam dengan tenang sambil mendengarkan perbincangan mereka. Dia melihat interaksi Loren dan ayahnya selalu saja hanya sekedar pembicaraan tentang pekerjaan, sedikit membosankan tapi mungkin tidak bagi mereka.

“ Turun dimana?” tanya Loren dengan suara datar, dia menatap lurus ke depan sambil mengemudikan mobil itu.

“ Di kafe dekat Alpha grup,” balas Eliana dengan singkat.

Loren tak menanggapi, atmospeher dalam mobil itu sangat dingin dan menegangkan, baik Loren maupun Eliana sama sama tidak banyak bicara karena pikiran mereka masing masing.

Ponsel Eliana berbunyi, gadis itu membaca nama pemanggilnya seketika wajahnya tersenyum bahagia.

Eliana melirik ke arah Loren, “ angkat saja,” ucap Loren tanpa menoleh.

“ Halo Rico,” ucap gadis itu dengan senyum tipis. Dia memiliki seorang kekasih yang selama ini terus mendukungnya meski kepribadian Eli sangat pendiam. Bahkan gaya pacaran mereka terkesan kuno, hanya bertemu beberapa kali dalam seminggu, bertukar pesan dan panggilan sebab jarak tinggal mereka jauh .

Rico adalah seorang bartender di sebuah kafe di samping Alpha grup pernah dikunjungi oleh Eliana dan rekan kerjanya. Kehadiran Rico sebenarnya cukup membuat Eliana merasa kalau masih ada orang yang menyayanginya meski Eliana tidak tau apa yang dimaksud dengan cinta, dia hanya merasa nyaman dengan Rico dan menjalin hubungan dengan pria itu.

“ Eli, maaf hari ini aku tidak bisa ketemuan sesuai janji kita, aku ada urusan mendadak, maafkan aku ya” ucap pria itu dari ujung telepon.

“ Rico, siapa itu? Kamu sibuk?” suara seorang wanita terdengar di balik telepon itu. Eliana hanya diam dan tak menanyakan apa pun saat mendengar suara prempuan yang cukup familiar di telinganya.

“ Ahh seorang rekan, bukan hal penting, lanjutkan saja minumnya, bukannya temanmu akan datang juga?” ucap Rico yang jelas di dengar oleh Eliana.

“ Kalau begitu aku tutup ya El, aku sayang kamu,” ucap Riko cari seberang sana sambil mematikan panggilannya secara sepihak tanpa mendengar balasan Eli.

Bagaikan orang bodoh, Elia hanya diam menatap ponselnya. Apa lagi yang bisa dia lakukan selain meneria semuanya dengan pasrah.

“setidaknya tunggu aku selesai menjawab baru dimatikan,” gumam Eli.

Wajahnya berubah makin murung, dia diam sambil menunduk dan menatap ponselnya dengan tatapan kosong selama hampir empat puluh menit, Eli hanya diam dan murung.

“ Kita sampai,” Loren menghentikan mobilnya tepat di depan kafe yang dimaksud oleh Eliana.

Gadis itu mengangkat kepalanya, wajahnya merah dan matanya sembab. Semua itu diperhatikan oleh Loren, namun seolah mati rasa, Loren cuek saja dan tak peduli, dia hanya menjalankan tugasnya dan tak mau mencampuri hidup orang lain.

“ Terimakasih,” ucap Eliana sebelum turun.

Tiba tiba Loren menahan tangannya.

“ Tunggu...”

.

.

.

Like, vote dan komen ya

Terpopuler

Comments

Dewi Misreni

Dewi Misreni

masih menyimak 👍👍

2022-05-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!