Satu Atap?

Kejadian semalam memang tak lekang dari pikiran Alya. Sebab, sering kali Alya tersenyum sendiri saat mengingatnya kembali.

Hari ini Hari Sabtu. Rian—ayahnya Alya libur kerja, dan memilih menghabiskan waktu liburnya bersama putri kesayangannya peninggalan istri tercintanya. Kebetulan, besok ia tidak akan dinas di domisilinya lagi, makanya ia akan menghabiskan waktu bersama putrinya sebelum pergi dan jarang kembali ke rumah.

Saat Rian melihat Alya yang bertingkah seperti tidak waras itu, Rian merasa risih. Ia tidak pernah melihat putrinya seperti ini.

"Yak, kamu kenapa, sih? Dari tadi Ayah perhatiin kamu suka senyum-senyum nggak jelas gitu. Sejak semalam, deh, kayaknya. Ada yang nggak beres, deh, dari kamu. Mau ayah anter ke tempat psikolog?" ujar Rian. Rupanya ia sudah memperhatikan gelagat sang putri sejak ia pulang kerja semalam.

"Iiih, Ayah jahat banget, sih!! Alya masih waras, tahu! Enak aja. Lagian, emangnya Alya nggak boleh merasa bahagia, ya? Kan, senyum juga ibadah, Yah!" Alya rupanya tak terima pernyataan sang ayah.

"Iya, senyum memang ibadah. Kamu juga berhak bahagia. Tapi, kayaknya kamu agak belok. Soalnya, udah dari semalam, lho, Yak. Yakin, nih, nggak papa?" Kali ini baru kelihatan kekhawatiran di wajahnya. Alya pun mendudukkan diri di samping Rian, kemudian bersandar di bahu sang ayah. Ia selalu bermanja seperti itu dulu kalau ingin bercerita.

Rian sadar, dirinya terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sudah lama Rian tidak memberikan bahunya untuk Alya bersandar. Orangtuanya Alya hanya tinggal dirinya, bisa-bisa Alya merasa kekurangan kasih sayang jika ia sendirian terus. Momen kebersamaan ini, ia harus menjadikan waktu terakhirnya sebelum berangkat ke luar kota untuk selalu di samping Alya dan memanjakannya.

"Alya mau cerita sama Ayah, tapi takut," mulai Alya ragu-ragu.

Rian berusaha membuat Alya santai dengan mengusap-usap lengan Alya.

"Kenapa? Kamu jatuh cinta, ya?" tanya Rian.

"Iiih..., Ayah kok tahu?" Alya yang membaringkan kepalanya di bahu Rian kemudian terduduk tegak karena terkejut dengan tebakan Rian yang tepat sasaran.

"Jadi bener? Siapa orangnya? Ini alasan kamu senyum-senyum sendiri?" Rian juga tak kalah terkejutnya. Padahal, ia hanya menebak asal saja.

"Emangnya abis ngapain, sih? Sampai senyum terus nggak jelas dari semalam? Kamu nggak macam-macam, kan, Yak? Kamu tahu pacaran dosa kalau yang kayak gitu, kan? Lagian, Ayah nggak pernah dengar kalau kamu punya pacar. Terus, kenapa kamu ini? Jatuh cinta sampai senyum terus. Nggak baru jadian, kan?" tanya Rian menginterogasi.

"Alya cuma abis di tolongin sama orang yang Alya suka, Yah. Terus, dia baik banget sampai mau anterin Alya sampai rumah. Gitu doang, kok. Tapi, Alya bahagia banget karena dia orangnya. Makanya, tiap kali mikirin kejadian itu, Alya jadi suka senyum sendiri."

"Ooh, gitu. Alhamdulillah kamu nggak macam-macam."

"Nggaklah, Yah. Alya ini kan anak baik-baik."

"Iya-iya."

"Ngomong-ngomong, Ayah mau bilang, Yak. Besok Ayah kayaknya nggak bakal ngantor di sini lagi, soalnya dipindahkan ke pusat. Senin udah mulai kerjanya, jadi, besok harus udah pindah."

"Pindah, Yah? Alya udah kelas terakhir, nih. Mana bisa ditinggalin segampang itu."

"Iya, Ayah tahu. Makanya, kali ini Ayah mau kamu tetap sekolah di sini aja. Ada teman baik Ayah yang mau menampung kamu. Anaknya juga pinter, nanti kamu bisa belajar bareng anaknya biar bisa masuk kampus negeri di ibukota, dekat kantor pusat tempat Ayah kerja. Jadi, kamu nanti bisa tinggal bareng Ayah lagi, deh."

"Lho, kenapa Alya harus pindah juga? Alya bisa di sini, kok, Yah. Ayah juga jarang di rumah selama ini, kan? Soalnya sering dinas ke luar kota. Tapi, Alya baik-baik aja kalau sendirian, tuh. Soal belajar, jangan khawatir, Alya sekarang nilainya naik, kok."

"Yak, jangan tinggal sendirian, bahaya. Kamu kalau ada apa-apa gimana? Ayah jauh, lho, dari kamu. Kalau dulu masih enak, pas kamu telepon, Ayah bisa langsung melesat ke tempat kamu kalau lagi dinas di daerah sini doang. Ini udah beda, Yak. Lagian, kamu tenang aja. Teman Ayah itu baiknya kebangetan, lho. Ada anak perempuannya juga, jadi, kamu ada teman main."

Alya masih bersikeras untuk tidak tinggal di rumah teman ayahnya itu. "Yah, Alya udah tujuh belas tahun, lho. Kalau tinggal sendirian juga nggak masalah harusnya. Toh, buat kemandirian Alya juga," ucapnya.

"Ayah tahu kamu udah mandiri, Yak. Kamu yang selama ini mengerjakan pekerjaan rumah menggantikan Bunda. Kamu juga pintar masak dan mengatur keuangan untuk kebutuhan rumah. Tapi kayaknya, kamu bakal kesepian kalau Ayah tinggal lama. Ayah juga pengen kamu melihat keluarga bahagia mereka, merasakan kasih sayang dari ayah dan bunda meskipun bukan orang tua asli kamu. Mereka udah Ayah bilangin juga. Jadi, nggak enak sama merekanya kalau membatalkan rencana tiba-tiba aja."

"Dika sama Mira, itu nama teman Ayah. Dulu waktu kuliah kita satu organisasi. Alhamdulillah masih jalin komunikasi sampai sekarang."

"Kamu tenang aja, Yak. Nggak sampai setahun, kan, kamu lulus SMA? Kamu cuma Ayah titipkan sampai lulus SMA doang, nggak lama. Kamu mau, ya? Nanti gantian, kamu yang datangin Ayah ke ibukota tiap liburan atau weekend. Sekali-kali, kamu harus keluar kota, jangan di rumah terus ngurung diri di kamar."

Serangkaian alasan yang membuat Alya harus tinggal di tempat teman ayahnya itu telah selesai diucapkan. Wajah Rian tampak berharap Alya dapat memenuhi permintaannya.

Alya pun mengiba. Ia tidak bisa menolak permintaan ayahnya jika sudah dijelaskan dengan penuh perhatian dan kasih sayang seperti itu. Alya tahu betul kalau ayahnya melakukannya karena sangat menyayanginya. "Harus banget, ya, Yah?" tanya Alya seperti tak punya pilihan lain.

"Iya, Sayang~," ucap Rian seraya mengusap-usap kepala Alya.

"Ya udah, kalau gitu Alya beres-beres dulu apa aja yang mau di bawa ke sana." Akhirnya Alya memilih untuk menuruti. Lagian, ini juga demi kebaikan keduanya.

...----------------...

Keesokan harinya, Alya dan Rian sama-sama mendatangi rumah temannya Rian itu. Alya diminta untuk menemui mereka duluan, sementara Rian menurunkan koper-koper Alya.

Alya membunyikan bel rumah. Sampai tiga kali, belum ada juga yang membuka. Lalu, Alya berinisiatif untuk mengetuk pintunya. Saat ingin di ketuk, orang yang punya rumah malah keluar. Alya tidak sengaja mengetuk bagian dada sang pemilik rumah.

"Duh, maaf, Pak. Tadi saya mau ngetuk pintu, nggak bermaksud jahat, kok." Alya panik sekali karena berlaku tak sopan pada tuan rumah. Ia langsung menunduk dan tak berani menatap pria itu.

"Kamu..., Alya, kan?" ucap si pria yang jadi korban Alya.

"Dimas, ya? Ooh, maaf Dimas, kayaknya aku salah rumah. Maaf mengganggu." Alya makin panik saat tahu ternyata ia salah memasuki rumah. Ia kabur secepat mungkin kembali menuju ke mobilnya yang tak jauh dari rumah itu, menemui ayahnya.

"Yah, yang mana sebenarnya rumahnya? Bareng aja, deh. Soalnya, tadi Alya ketemu temen satu sekolah, kayaknya salah rumah, deh," ucap Alya yang agak ngos-ngosan.

"Nggak, Yak, kamu udah bener, kok. Udah sana samperin lagi," ucap Rian, lalu melanjutkan aktivitasnya lagi untuk menurunkan koper Alya.

Alya dengan ragu kembali ke rumah itu dan memencet kembali belnya. Ia sangat malu jika harus bertemu Dimas kembali.

"Halo lagi, Dimas. Kayaknya, aku nggak salah rumah, deh. Ini beneran rumahnya Pak Dika dan Bu Mira, kan?" tanya Alya berusaha sopan, meski aslinya ia masih menahan malu.

"Iya, betul. Itu orang tua aku," jawab Dimas.

"What? Kamu anaknya mereka?" batin Alya sekarang malah terkejut mendengar fakta itu. Karena jika benar, maka mereka akan tinggal di satu atap yang sama.

"Umm..., itu, orang tua kamu ada nggak? Soalnya orang tua aku, Pak Rian, mau ketemu," ujar Alya yang gelagatnya tampak kikuk.

"Ooh, Pak Rian. Ok, sebentar, ya."

"I-iya, nggak papa, kok, Dim."

"Omaigat, aku satu rumah nih sama Dimas? Apa ini cuma mimpi?" batin Alya masih tidak percaya. Lalu, ia menampar pipinya sendiri, ternyata ia merasa sakit, berarti ini bukan mimpi, pikirnya. Ia bingung harus bersikap bagaimana dengan kebetulan semacam ini. Ia bahagia, tapi juga merasa tak nyaman satu atap dengan orang yang ia cintai dalam diam itu.

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!