Penyelamat

Sepertinya Alya akan pulang sekolah cukup telat hari ini dari jam normalnya. Karena ada kerja kelompok, yang dimana mereka ada yang kerja dan berkelompok, jadi, pulangnya cukup sore, bahkan sudah satu jam lagi menjelang waktu maghrib tiba. Alya memang sering sekali mengalami problem ini jika disuruh untuk kerja kelompok oleh guru. Tidak ada teman yang ingin didatangi rumahnya untuk mengerjakan di sana, jika pun ada, mungkin ada anggota kelompok lain yang tidak bisa datang full team. Solusinya, ya, jadikan sekolah sebagai tempat untuk mereka bekerja kelompok.

"Kebiasaan, nih, kalau udah kayak gini, pasti yang kerja cuma satu orang. Mana belum siap, lagi. Selalu aku yang jadi korban. Sementang aku yang paling pintar di antara anggota kelompok, tapi nggak gini juga, kan?" Alya menggerutu kesal saat tinggal dirinya saja yang tinggal di kelas. Semua teman sekelompoknya sudah pulang duluan. Sebagian ada yang berdalih di jemput, sebagiannya ada yang sudah di suruh pulang, lalu sisanya buru-buru pulang karena takut terkena macet di jalan.

"Sekolah udah mau di kunci. Kamu pulang sekarang." Satpam sekolah yang berkeliling untuk memeriksai keberadaan murid menemukan Alya di kelasnya.

"Udah mau tutup banget, ya, Pak? Saya masih dikit lagi, nih, siapnya," nego Alya pada satpam itu.

"Ini udah peraturan sekolah. Silahkan keluar dari lingkungan sekolah," ucap satpam itu tegas.

"Tapi, Pak, Bentaaaar, aja. Sepuluh menit lagi, deh," Alya tetap berusaha.

"Bisa aja, sih. Tapi apa kamu mau gantiin pekerjaan kami untuk ngunciin dan memeriksa semua kelas? Sekolah ini besar, lho," si satpam tak mau kalah rupanya. Karena Alya tak menyanggupi syaratnya, akhirnya ia mengalah dan memutuskan untuk melanjutkannya di rumah saja.

Saat Alya sudah keluar dari kawasan sekolah, ia memutuskan untuk duduk di dekat tembok gerbang sekolah. Jarak kelasnya menuju ke gerbang cukup jauh. Apalagi adanya barang bawaan untuk kerja kelompok nya yang tidak sedikit, membuat Alya harus mengistirahatkan diri sebentar.

"Ya Rabbii..., jalan segitu doang udah ngos-ngosan. Ya ampun, capek banget," keluh Alya seraya mengibaskan tangannya untuk membuat kipas angin alami.

Setelah cukup ia rasa istirahatnya, ia kembali berdiri untuk memesan ojol. Sepertinya ia salah tempat untuk berdiri. Tempat ia berdiri sekarang adalah tempat tongkrongan geng sekolah yang banyak anak IPS bandelnya. Ia merutuki dirinya karena berdiri di salah tempat. Saat segerombolan geng mereka menghampiri Alya, Alya langsung gemetar ketakutan. Pasalnya, geng ini terkenal suka melecehkan wanita. Segera Alya membaca ayat-ayat Allah untuk melindungi dirinya.

"Neng, sendirian aja? Baru pulang sekolah, ya? Mau abang anterin, nggak?" Segerombolan geng mereka mulai beraksi. Mereka menatapi Alya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Diantara mereka ada yang berbisik pada sesamanya. "Woi, ini Alya primadona kelas 12 IPA 12. Menang banyak kita hari ini," ucapnya.

Alya hampir di sentuh dagunya. Refleks Alya langsung menghindar dengan memundurkan langkahnya.

"Eh, nggak, deh. Makasih. Nanti cowok aku marah." Alya berbohong, bermaksud untuk menyelamatkan dirinya. Ia membuat kebohongan yang payah, sebab, Alya terkenal tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun.

"Wiih, udah ada cowoknya, ya? Aduh..., takut deh. Hahahaha." Mereka ramai-ramai menertawakan Alya, meremehkannya.

Alya melihat sekitar, kiranya ia dapat menemukan pahlawannya untuk menyelamatkannya.

"Eh, itu dia," ujar Alya seraya menunjuk seseorang yang baru keluar dari gerbang sekolah menggunakan motor gede yang sempat Alya puji itu.

"Dimas? Woi, dia ceweknya Dimas ternyata," ucap salah seorang dari mereka terkejut.

Alya memanfaatkan momen datangnya Dimas menuju arahnya. Ia berhenti di pinggir jalan yang akan dilalui Dimas, membuat Dimas harus berhenti saat itu juga.

"Dimas, kamu kok lama banget, sih? Aku udah capek nih, nungguin kamu. Lihat tuh ada anak IPS yang godain aku. Aku kan, udah punya kamu," ucap Alya tiba-tiba manja nadanya. Membuat Dimas mengernyitkan dahi keheranan.

Dimas heran memandangi Alya. Tiba-tiba saja, tangan Alya malah sudah menggandeng tangan Dimas, yang membuat Dimas makin heran lagi. Ia harus bersiap untuk keheranan berikutnya.

"Tolongin aku dari mereka, please," ucap Alya pelan yang hanya bisa di dengar oleh Alya dan Dimas saja.

Alya secara santai naik ke motor Dimas. Memegang pundak Dimas dan berkata, "Ayo jalan, Sayang."

Dimas hanya mengikuti alur saja. Ia membawa Alya bersamanya. Saat motor sudah berjalan, Alya memindahkan tangannya untuk beralih memegang pinggang Dimas. Dan itu sukses membuat segerombolan geng anak bandel itu panas. Habisnya, dua primadona sekolah ternyata berpacaran, meski itu hanya kebohongan yang baru saja di buat hari ini oleh Alya.

Saat mereka sudah tak terlihat lagi keberadaannya, Alya menurunkan tangannya dari pinggang Dimas. Kemudian, menyuruh Dimas untuk menurunkannya di pinggir jalan, tepat di depan toserba.

"Maaf banget, ya, udah ngelibatin kamu. Aku terpaksa banget sampai harus pegang pundak dan pinggang kamu untuk meyakinkan mereka. Sebenarnya aku nggak suka di goda kayak gitu. Kamu benar-benar penyelamat karena datang di saat yang tepat. Makasih banyak udah anterin aku sampaikan sini. Aku bisa lanjut naik ojol, kok. Sekali lagi, makasih banyak ya, Dimas, atas pertolongannya." Alya berucap tidak enakan karena merepotkan Dimas.

"Rumah kamu emangnya di mana?" tanya Dimas.

"Di daerah sini juga, sih. Biasanya cuma sepuluh menit naik ojol. Emang kenapa?" jawab Alya.

"Ya udah, sekalian aja aku anter. Aku nggak mau nolongin orang separuh jalan," tawar Dimas sukarela. Alya seketika langsung berbunga-bunga.

"Beneran?" tanya Alya yang tak dapat menyembunyikan ekspresi bahagianya.

"Iya, ya udah naik lagi. Tapi, pegangannya jangan ke pinggang aku lagi, ya. Ada tuh pegangan yang di belakang, itu aja yang kamu pegang," jawab Dimas terlihat serius.

"Iya, Dimas. Aku juga ngerti, kok. Aku juga kalau nggak terpaksa banget nggak megang pinggang kamu, kok. Maaf ya aku seenaknya aja."

"Udah, nggak usah di bahas. Cepat naik."

"I-iya, Dimas."

"Dim, panggil aja gitu kalau mau disingkat. Jangan panggil mas, walaupun namaku Dimas. Aku nggak suka, walaupun aku juga anak pertama dan orang jawa."

"Oo, oke, Dim. Bakal aku ingat, kok."

"Bagus."

Perjalanan mereka diisi dengan suara klakson yang bising. Tidak enak juga membuka suara di tengah kemacetan seperti ini.

Tak terasa, waktu sepuluh menit pun berlalu. Alya sudah tiba di depan rumahnya. Sekali lagi ia berterimakasih kepada Dimas dan meminta maaf telah merepotkannya.

Dimas segera melesat kembali setelah menanyakan di mana letak masjid dekat rumah Alya. Kalau menunggu sampai rumah, takutnya maghribnya tidak terkejar. Benar-benar imam idaman sekali Dimas ini.

"Ya Allah..., mimpi apa aku semalam sampai bisa di selametin, di anterin juga sama Dimas? Duh..., aku nggak berhenti deg-degan sampai sekarang. Padahal, Dimasnya udah pergi. Ya ampun..., kamu baik banget, sih, Dimas. Aku makin jatuh cinta sama kamu, nih," ucap Alya gembiranya minta ampun. Ia meluapkan segala perasaan yang ia tahan saat Dimas menolongnya. Hari ini adalah hari yang tak akan pernah Alya lupakan seumur hidup.

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!