Bukan Hangat, tapi Dingin

Waktu berjalan begitu cepat. Alya yang ingin satu kelas dengan Dimas tidak pernah tercapai. Motivasinya untuk sekelas dengan Dimas kalah dengan motivasi belajarnya. Dan dapat sekelas bersama Dimas rasanya hanya sebuah angan belaka karena dirinya sekarang sudah menginjakkan kaki di kelas terakhir, kelas 12 IPA 12, ya di kelas yang sama. Ia masih berada di kelas terakhir yang dijuluki kelas siswa gagal oleh siswa kelas lain.

Hari-hari berbicara dengan Dimas juga tidak dapat terwujud. Kelas IPA 1 berisi manusia kutu buku, jarang keluar kelas dan terbilang cukup anti sosial. Tidak ada kesempatan Alya untuk bertemu apalagi berbicara. Ia hanya sekilas bertemu Dimas di parkiran atau saat Dimas akan memasuki kelasnya. Dan disitulah ia memanfaatkan waktu untuk melihat Dimas diam-diam dan memandangnya dalam-dalam dari kejauhan. Ia hanya mengagumi Dimas diam-diam dan meminta Dimas diam-diam pula dalam sepertiga malamnya.

"Cepat banget di kabulinnya. Bisa ketemu Dimas di musholla. Padahal baru aja doa pas duha."

Selain meminta kelancaran rezeki saat doa shalat duha, rupanya Alya meminta untuk bertemu langsung dengan Dimas. Kebetulan, jam istirahat pertama dimanfaatkan untuk sebagian murid sekolahnya shalat duha. Alya terbilang jarang shalat duha di jam istirahat pertama. Sebab, ia tidak mau membiarkan waktu istirahatnya terganggu. Toh, guru yang masuk ke kelasnya selalu telat masuk, manfaatkan saja celahnya untuk melaksanakan shalat duha.

Jika tahu akan menemui Dimas di musholla seperti ini di jam ini, ia akan mengorbankan waktu istirahatnya.

"Dim, kamu sama aku tadi disuruh sama Bu Lita untuk bantu angkat barang." Terlihat seorang teman menghampiri Dimas. Tatapan Dimas seperti tidak senang dengan kehadirannya. Padahal, teman itu menyampaikan pesan dari seorang guru.

"Nggak bisa, nih. Soalnya udah mau bel, aku nggak mau ketinggalan jam pelajaran. Sampaikan maafku ke Bu Lita, ya." Dimas menolaknya dengan sopan, meski hati sudah sumpek dengan kehadirannya.

"Ooh, gitu, ya? Sayang banget, padahal kamu murid kesayangannya Bu Lita. Ya udah, deh, aku duluan, ya." Anak itu langsung pergi saat ajakannya ditolak oleh Dimas.

Sedari anak itu pergi, Dimas terus membuntutinya dengan menatapnya terus. Terlihat memang, ia berlari ke kantin bersama rombongan anak lain yang menjadi gengnya, bukan malah ke ruangan Bu Lita untuk membantu dan menyampaikan maaf Dimas.

"Aku tahu yang disuruh itu bukan aku. Dasar, mau lari dari tanggungjawab. Seenaknya lempar tanggung jawab ke aku. Aku tahu, pasti dia bermaksud nyuruh aku duluan ke ruangan Bu Lita, terus dia tinggal enak nggak usah ikut bantuin. Dasar! Lagian, Bu Lita tahu kalau aku paling nggak bisa ketinggalan jam pelajaran, apalagi bolos." Dimas menggerutu kesal. Ia tak sadar sedari tadi ada yang terus menatapinya.

"Dimas bisa buat wajah kesal juga ternyata," gumam Alya.

Dimas akhirnya merasakan seperti ada orang yang terus meliriknya diam-diam. Ia cari keberadaannya datang darimana. Menelisik sekitaran mushalla, sampai pandangannya bertemu dengan orang yang menatapnya, Alya.

"Gadis itu menatapku?" tanya Dimas dalam hati seraya mengernyitkan dahi.

Alya yang kepergok langsung menutup wajahnya dan kabur dari sana. Jika sudah begini, tampak betul Alya memang benar-benar menjadi tersangkanya. Untung saja ia cepat menutupi wajahnya saat mata Dimas mulai menatapnya, jika tidak, mau taruh di mana wajahnya? Seandainya Alya bersikap biasa saja saat ketahuan, itu malah lebih bagus. Namun, saking paniknya dilihat oleh orang yang ia kagumi itu, ia mati gaya dan refleks menutupi wajahnya.

...----------------...

Hari-hari berlalu. Tak disangka, semakin Alya menatapi Dimas diam-diam, semakin tak dapat terbendung lagi perasaannya itu. Seperti saat ini misalnya. Saat melihat Dimas sebentar saja, hatinya serasa berbunga-bunga. Senyumannya tak di sangka terlukis begitu saja.

"Alya, kamu suka sama Dimas, ya?" Dena, seorang teman sebangku Alya tiba-tiba bertanya saat melihat Alya sedang menatap keluar kelas. Dilihat disana ada Dimas yang baru saja lewat dengan temannya membawa beberapa buku dari kantor guru.

"Ee..., nggak, kok, Den. Kamu ada-ada aja, deh," sangkal Alya. Ia kelihatan panik saat teman dekatnya itu menebak dengan benar. Sudah sejak kelas 10 mereka duduk bersama, tapi masalah perasaan Alya tak pernah ketahuan sekalipun oleh Dena. Ia terkejut, sekarang malah ketahuan oleh teman dekatnya itu.

"Kelihatan banget, lho, Al. Udah, deh, ngaku aja. Kamu lihatin keluar pas ada Dimas, pake senyum-senyum tipis gitu, lho. Masih mau ngelak?" goda Dena yang membuat pipi Alya merona.

"Aa.., kamu, ih. Sebenarnya bukan suka dan pengen pacaran, Den. Aku cuma kagum aja sama dia."

"Apa yang membuat kamu kagum sama dia? Dia itu terkenal dingin, arogan dan sangat nggak peduli soal cewek. Di otaknya yang ada cuma belajar mulu. Okelah kalau kamu suka sama dia, tapi kamu harus tahu diri dulu kamu berada di kelas mana."

"Ih, Dena..., nggak boleh sembarangan nilai orang, tahu. Kita kan nggak terlalu dekat sama dia. Jangan menilai orang dari tampangnya."

"Lah, kamu sendiri nilai dia dari mana duluan, coba? Dari tampangnya, kan?" Dena tepat sasaran sekaki lagi. Membuat Alya terdiam sejenak untuk berpikir.

"Nggak mungkin aku bilang iya, apalagi aku suka lihat motornya. Tapi, bukan itu poin yang buat aku jatuh cinta pandangan pertama sama Dimas. Kehangatan yang ia tunjukkan saat menolong orang kesusahan membuat aku langsung kagum. Perilaku baik yang ia tunjukkan tidak mau orang lain tahu, benar-benar seorang yang rendah hati dan tak suka pamrih."

"Tuh, kan, kamu diam. Berarti benar tebakan aku."

"Nggak, kok. Aku suka lihat kebaikan hatinya, kerendahan hatinya, kehangatannya saat menolong orang. Itu yang buat aku suka sama dia."

"Kamu bilang dia hangat? Hangat darimana? Dingin yang ada."

"Iih, aku lihat sendiri tahu."

"Okelah kalau kamu lihat langsung. Tapi, itu cuma sebagian kecil dari yang kamu lihat. Awas lho kalau kamu udah tahu sifat aslinya. Siapin mental aja, jangan terlalu terkejut nanti. Soalnya, anak-anak sekolah ini memang banyak yang suka sama Dimas, tapi Dimas terkenal dingin dan susah di dekatin. Pas ngungkapin cinta, eh, malah dijawab, 'udah ngomongnya? Aku mau balik ke kelas' bikin kena mental nggak tuh? Masak langsung digituin? Ditolak mentah-mentah gitu aja."

"Kamu tahu darimana rupanya?"

"Ya ampun, kamu ditulikan sama cinta, Al. Udah jelas-jelas itu gosip hangat di sekolah kita. Aku nguping dari orang-orang, dan dari sumber yang terpercaya soalnya ada yang lihat langsung kejadiannya."

"Kasihan banget, ya. Padahal udah memberanikan diri untuk ngungkapin perasaan."

"Makanya itu, Al. Kamu nih, awas jatuh cinta dan jadi korban dia selanjutnya."

Diperingatkan begitu pun, tidak akan mengurangi kadar cinta Alya untuk Dimas. Malah, ia semakin penasaran dengan pribadi Dimas yang sebenarnya, setelah mendapat pengetahuan baru soal Dimas dari Dena.

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!