CHAPTER 5

...***...

Saka Satria saat ini berhadapan dengan orang-orang suruhan Juragan Mugeni, tuan tanah yang berkuasa di daerah ini. Karena mereka semua tidak senang, dengan apa yang dilakukan oleh Saka Satria. Pemuda itu dianggap telah berani mencampuri urusan mereka.

"Kurang ajar!. Hei!. Siapa kau!. Berani sekali kau ikut campur!."

"Aku akan ikut campur, karena kalian telah menganiaya seorang wanita. Benar-benar orang yang tidak berguna. Hanya bisa menghadapi wanita lemah tak berdaya. Aku tidak akan mengampuni kalian semua."

"Banyak bicara!. Habisi dia!."

Saka Satria berhadapan dengan mereka semua. Ia tidak akan membiarkan mereka melukai dirinya. Dengan jurus-jurus yang ia miliki, dan ia berhasil melumpuhkan mereka semua. Sedangkan wanita itu, dengan kesadarannya yang hampir menghilang, ia mencoba untuk melihat, siapa pemuda yang telah membantunya itu?. Apakah ada orang baik yang menyelamatkan dirinya?. Apakah tuhan masih sayang pada dirinya?. Sehingga masih ada yang mau menolong dirinya yang tidak kuat lagi menahan penderitaan di dunia ini?.

Sementara itu, juragan Mugeni yang tidak terima anak buahnya dikalahkan, ia juga ikut bertarung menghadapi Saja Satria. "Hei!. Siapa kau?. Jangan sok jagoan dihadapanku!. Kau pikir kau siapa hah?. Sepertinya kau bukan orang desa ini. Sebaiknya pergi kau!. Jangan membuat masalah di desa ini."

"Aku tadinya tidak punya masalah. Tapi saat aku melihat kau ingin mengadili wanita tidak bersalah itu, hatiku tidak terima. Kau sepertinya hanya mencari-cari alasan untuk menyalahkan dirinya. Karena dia mengatakan bahwa jika mereka tidak boleh menjual hasil panen padamu terlalu banyak, musim kemarau panjang akan segera tiba."

"Diam kau!. Dari mana kau mendapatkan kabar itu hah?. Tidak akan aku biarkan kau keluar dari desa ini dalam keadaan hidup. Hyaaaaaa!." Juragan Mugeni benar-benar marah, bagiamana bisa orang luar mengetahui masalah yang akan dihadapi desa ini?. Juragan Mugeni terus menyerang Saka Satria. Sepertinya ia ingin menghabisi Saka Satria. Sayangnya ilmu kanuragan yang mereka miliki tidak lah seimbang. Apalagi syair yang dilantunkan oleh Saka Satria.

"Hei kau!. Yang merasa kuat dan berkuasa atas segalanya. Dengarkan kobaran api yang menyelimuti diriku. Serta suara jeritan ditengah kobaran api dendam yang membara. Suara yang memekakkan telinga sampai ke dalam. Begitu menyakitkan untuk didengar hati yang lara. Jangan abaikan suara jeritan yang mendengung itu. Karena suara jeritan kobar kobaran api itu, mengundang kepedihan, serta penderitaan yang mendalam."

Juragan Mugeni dan anak buahnya merintih sakit, sambil menutup kedua telinganya. Seakan ia memang mendengarkan suara kobaran api disertai rintihan yang memekakkan telinga. Mereka tidak tahan lagi dengan suara yang mereka dengar itu. 

"Ilmu kalian masih cetek. Jadi jangan sesekali kalian berani membuat aku marah. Dasar orang-orang tidak berguna!." Saka Satria segera membebaskan wanita malang itu, dan membawanya dari sana. Karena ia tidak tega sama sekali melihat keadaan wanita itu. Ia pergi membawa wanita malang itu dari sana. Kemana ia akan membawa wanita itu?. Temukan jawabannya.

...***...

Sementara itu, Di Istana.

Sidang baru saja dimulai, sidang yang langsung dipimpin oleh Prabu Laksamana Pandan. Mereka semua yang hadir menyimak perkara yang akan membuat terduga mengakui semua perbuatannya. Perbuatan yang sangat meresahkan rakyat kota raja.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh."

"Hadirin sekalian. Hari ini diadakan sidang pertemuan, untuk membahas tempat hiburan malam miliki paman Jenar rupa. Laporan itu masuk dari beberapa kalangan yang tidak menyukai tempat itu. Tempat yang dulunya hanya sebagai tempat sanggar tari. Tapi mengapa malah menjadi tempat penginapan, serta menjadi tempat perzinahan. Mohon ampun gusti prabu. Bagaimana tanggapan gusti prabu?."

"Masalah itu sungguh tidak bisa dimaafkan. Sudah seharusnya mendapatkan teguran yang sangat keras dari kita semua." Raja muda tersebut melihat ke arah Jenar Rupa, merupakan pemilik dari tempat hiburan malam tersebut. "Maaf paman. Benarkah itu yang terjadi?. Mengapa laporan buruk seperti itu sampai ke telinga saya?." Nada bertanya sang Prabu terdengar menghakimi Senopati Jenar Rupa. "Bukankah sebelumnya paman baik-baik saja?. Apakah paman tidak takut dengan azab Allah SWT?." Prabu Laksamana Pandan mencoba mengingatkan, atau lebih tepatnya memberikan pandangan pada Senopati Jenar Rupa. "Bukankah paman memiliki seorang anak perempuan?. Bagaimana  jika anak paman dipekerjakan seperti itu oleh orang lain?. Jika memang itu laporan yang salah, tapi Allah SWT adalah saksi yang sangat adil. Maka jika paman keberatan dengan laporan itu, maka paman bisa membela diri paman. Saya akan mendengarkan keluhan, atau bentuk protes yang paman rasakan."

"Mohon ampun gusti prabu. Hamba mengakui semua kesalahan yang telah hamba perbuat. Hamba benar-benar tergoda dengan hasil yang menjanjikan. Sehingga hamba tidak lagi memikirkan baik-buruk yang akan terjadi."

"Astaghfirullah hal'azim paman. Hasil yang menjanjikan sementara itulah yang nantinya akan menjerumuskan paman ke dalam dosa yang yang lebih besar. Allah SWT memperbolehkan manusia mencari rezekinya di muka bumi ini. Tapi janganlah kamu menjadikan yang haram sebagai yang utama. Ingatlah. Azab Allah SWT sangatlah pedih paman."

"Sungguh maafkan hamba gusti prabu. Hamba tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi."

"Meskipun paman telah menyadari perbuatan paman itu salah. Paman harus tetap mendapatkan hukuman. Paman juga harus menutup tempat hiburan malam untuk sementara. Dan saya tidak mungkin menutupi rezeki orang lain. Jika paman masih mau melanjutkan usaha tersebut, saya harap tidak ada kejadian seperti itu terulang kembali."

"Hamba berjanji gusti prabu. Terima kasih atas kebaikan gusti prabu terhadap hamba. Maafkan atas segala kesalahan yang telah hamba lakukan."

"Alhamdulillah hirobbil'alamin, jika paman mengakui semua kesalahan paman. Karena kesalahan datang dari kita sendiri, maka kita sendiri juga yang harus memperbaikinya ke arah yang lebih baik lagi." Prabu Laksamana Pandan merasa lega, karena ia tadi takut akan ada perlawanan dari Senopati Jenar Rupa. "Dan kalian yang menjadi saksi. Kalian telah mendengarkan apa yang telah dikatakan oleh paman jenar rupa. Jika beliau mengulang kembali. Bukan hanya hukuman denda saja. Melainkan hukuman penjara 5 tahun yang akan beliau terima." Lanjut sang prabu. "Aku harap kalian lebih berhati-hati lagi dalam bertindak. Kita ini adalah umat yang beragama yang baik. Bersyukurlah karena kita terlahir dari keluarga yang baik. Jadi jagalah diri dengan baik, supaya terus menjadi baik. Aku harap kalian tidak melakukan kesalahan yang sama."

"Sandika gusti prabu."

Sidang telah selesai diadakan. Mereka semua meninggalkan balai persidangan, kecuali Patih Praba Rahardyan berbincang-bincang dengan Prabu Laksamana Pandan.

"Sebelumnya dia sangat menolak ingin disidang. Bahkan membantah keras dengan apa yang dituduhkan padanya. Akan tetapi ia tadi memang mengakui apa yang terjadi. Sungguh aneh sekali rayi prabu."

"Sudahlah raka patih. Untuk saat ini ia telah mengakuinya. Bahwa ia memang melakukan apa yang telah dilaporkan. Rasanya kita harus berhati-hati dengan orang-orang yang seperti itu. Jika kita menggunakan kekerasan, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa."

"Ya, rayi prabu benar. Memang orang-orang seperti itu harus diingatkan secara halus, namun tetap langsung mengena ke hati."

"Raka Patih benar. Tapi aku harap, kita semua mampu mengatasi masalah yang seperti ini. Karena aku takut, negeri ini akan mendapat bencana. Jika rakyat atau pemimpinnya berlaku lalim."

"Kita sama-sama menjaga negeri ini dengan baik. Karena itulah rayi prabu. Jangan merasa terbebani dengan kejadian seperti ini."

"Terima kasih, karena raka Patih mau membantu ku untuk menjalankan tahta pemerintahan kerajaan ini."

"Sama-sama rayi prabu."

Mereka hanya berharap negeri ini akan selalu aman dari yang seperti itu. Karena bencana yang menimpa sebuah negeri berasal dari sikap penduduknya. Apalagi karena pemimpinnya, karena itulah mereka sama-sama mengingatkan, agar tidak lepas dari jalur yang seharusnya.

...***...

Di suatu tempat.

Saka Satria berhasil menemukan dimana tempat tinggal wanita malang itu. Di sebuah gubuk kecil terpencil di hutan. Ia tinggal bersama seorang wanita yang telah rentan. Lukanya juga berhasil diobati, meskipun belum sadarkan diri, tetapi setidaknya wanita malang itu berhasil diselamatkan dari ancaman kematian.

"Den ayu hidupnya sangat menderita sekali den mas. Rasanya saya tidak sanggup lagi untuk menyaksikannya. Sudah puas saya menangis darah, mengatakan pada mereka, bahwa den ayu hanya memiliki keistimewaan."

"Memangnya apa yang ia lakukan?. Sehingga diperlakukan seperti itu?. Apakah orangtuanya tidak ada untuk melindunginya?. Sungguh keterlaluan sekali apa yang telah mereka lakukan padanya."

Wanita setengah baya tersebut menangis sedih. Mengingat nasib malang wanita muda itu. "Kedua orangtua den ayu sudah lama meninggal. Sejak den ayu masih bayi, den ayu sama sekali tidak bertemu dengan kedua orangtuanya."

"Memangnya apa yang membuat mereka meninggal nyik?. Apakah karena sakit?. Atau dibunuh?."

Air matanya mengalir membasahi pipinya, rasanya ia tidak sanggup untuk menceritakan pada Saka Satria. Bagaimana kisah sedih yang telah terjadi, menimpa keluarga kecil itu. "Mereka dibunuh oleh orang-orang suruhan juragan mugeni. Orang yang juga berniat membunuh den ayu. Karena den ayu memiliki memiliki kemampuan yang dimiliki kedua orangtuanya. Yaitunya dapat melihat ramalan masa depan."

"Dapat melihat masa depan?. Memangnya ada kepandaian seperti itu nyik?. Aku tidak mengetahui perihal seperti itu sebelumnya"

"Pertama kali memang saya tidak percaya den mas. Akan tetapi, memang ada kepandaian seperti itu. Saya sangat terkejut sekali."

"Jadi begitu?. Sungguh aneh. Dan agak membuat bingung." Saka Satria tidak pernah menduga akan ada kepandaian seperti itu. Selama ini yang ia ketahui hanyalah ilmu kanuragan, tenaga dalam, kadigdayaan atau lebih ke arah fisik. Dan yang ia ketahui dari gurunya adalah syiar. Rangakaian kata bernada, dilambari dengan tenaga dalam. Kekuatan kata yang bisa menyakiti, atau menarik perhatian orang yang mendengarnya. Tapi tergantung suasana hatinya saat ia melanjutkan syair tersebut.

Dan hari itu Saka Satria mendengarkan kisah sedih dari Nyai Warsih, pembantu wanita malang itu menceritakan semua kesedihan yang dialami oleh tuannya. Sehingga Saka Satria terbawa suasana. Apakah yang akan ia lakukan?. Temukan jawabannya.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!