happy reading
rate 18+
Valeria laruna, 25 tahun. Anak semata wayang dari pasangan nyonya Alice dan tuan Hartawan Rajasa, penyuka warna ungu dan pink. Tidak suka makan ikan, kaki ayam dan kepala ayam, juga makanan yang berbau amis. Ayahnya telah meninggal satu tahun lalu, bertepatan di hari pernikahannya.
Nama suaminya Devano Aldebaran 27 tahun, pemilik restoran cepat saji di jalan Kamboja.
Nona Valerie belum memiliki anak. Dan dia seorang desainer, ia juga memiliki sebuah butik bernama Dandelion's, yang terletak di jalan Lily.
Aku dengar kemarin, dia berada di apartemen Cempaka untuk memergoki suaminya yang berselingkuh. Nyonya Valerie juga sudah melayangkan surat gugatan cerai ke pengadilan. Tapi, suaminya menolak untuk menandatangani surat tersebut.
Rendi membacakan biodata milik Valerie, dengan panjang lebar dan lengkap sesuai dengan instruksi bosnya.
Gerald bertepuk tangan untuk Rendi, karena baru tiga jam yang lalu ia memberi perintah. Tapi, Rendi dengan cepat menyelesaikan tugasnya. Pujian pun dilontarkan oleh Gerald pada sekretaris pribadinya.
"Woah kau hebat, Ren. Kinerjamu berkembang sangat pesat … itu keren," puji Gerald pada Rendi, membuat hidung pria berkepala plontos itu nyaris terbang.
"Anda terlalu berlebihan tuan."
Puk...
Rendi dengan refleks memukul bahu tuannya. Membuat tuan besarnya itu menatap dengan tajam tapi, tidak lama mereka berdua kembali tertawa.
🌼🌼🌼🌼
Dandeleon's Boutique.
Seorang gadis cantik, masuk kedalam butik sambil bersenandung riang. Ia menyimpan tas dan perbekalan makan siangnya di atas meja. Tapi, tiba-tiba saja nyanyiannya terhenti dan berganti jadi teriakan dikala dirinya melihat sesosok perempuan dengan penampilan menyeramkan muncul di bawah meja.
"Arghhh!" teriak Nadia sembari menutup kedua matanya, mulutnya terus komat Kamit membaca doa agar makhluk itu pergi dari hadapannya.
"Nadia! berisik tau," tegur wanita menyeramkan itu sambil meregangkan tangannya.
"Ya ampun, Mbak Valerie … hampir aja jantungku copot," dengus Nadia, mengusap dadanya yang berdebar kencang akibat terkejut.
Ya, setelah pulang dari club. Valerie memutuskan untuk menginap di butik miliknya, rasanya terlalu sakit jika ia harus kembali ke rumahnya. Dimana rumah itu dipenuhi dengan sejuta kenangan yang cukup indah bersama Devano.
"Ya, maaf," ucap Valerie merapikan rambutnya yang berantakan.
Nadia yang merupakan asisten Valerie, memindai wanita yang ada di hadapannya. Make-up yang luntur, rambut acak-acakan dan mata yang sembab juga kantung mata mirip seperti panda.
Semalaman, Valerie terus mendesain beberapa gaun. Ia meluapkan semua amarah dan kesedihannya melalui tinta yang tergores di atas sebuah kertas.
Deraian air mata yang kian deras mengalir melewati kedua pipi tirusnya, membuat riasan tebal di wajah Valerie menjadi luntur.
Wanita itu terlihat sangat berantakan, mungkin jika dirinya pergi ke luar orang-orang bisa mengiranya orang yang tidak waras atau mungkin seperti yang dikira oleh Nadia yang melihatnya persis seperti mbak Kunti.
"Mbak tidur di sini?" tanya Nadia pada wanita yang sedang menguap itu.
Valerie mengangguk, sambil membuka paper bag yang dibawa oleh Nadia.
"Kenapa, mbak?"
"Aku males, kalau lihat wajah mas Vano," ketus Valerie. Ia memakan bekal makan siang milik asistennya itu, membuat si pemilik makanan menatapnya sambil menelan ludah.
"Oh, iya mbak kemarin mas Vano datang ke sini nyariin mbak, emang mbak kemana?" Nadia melontarkan kembali pertanyaan.
"Aku pergi ke klub," jawab Valerie singkat.
"Klub? ngapain mbak? tumben banget mbak kesana … mbak lagi ada masalah?" Nadia, mengerutkan dahinya penasaran apa yang telah terjadi pada pemilik butik tempatnya bekerja.
Valerie menarik napasnya dalam.
"Kamu inget nggak? dulu kamu pernah bilang, kalau kamu liat mas Vano jalan sama cewek di sebuah mall," tanya Valerie, lalu menyesap habis jus orange milik Nadia.
Gadis itu mengangguk.
"Awalnya aku nggak percaya tapi, setelah aku menyuruh seorang detektif buat ngikutin kemanapun Mas Vano pergi, dan melihat bukti-bukti kalau mas Vano main api di belakang aku … sekarang aku percaya," seloroh Valerie, dengan mata yang berkaca-kaca.
"Dan kamu tau Nad, apa yang lebih parah dari itu?"
Nadia menggelengkan kepalanya.
"Aku memergoki mas Vano lagi main gila sama perempuan lain di apartemen," lirih Valerie, bulir beningnya kembali menetes di sudut matanya.
Nadia yang mendengar cerita dari wanita yang sudah ia anggap seperti kakaknya itu merasa terkejut, ia ikut merasakan betapa sakitnya hati Valerie ketika harus menyaksikan orang yang dicintainya berhubungan intim bersama wanita lain di depan matanya.
Nadia Pun memeluk Valerie dengan hangat dan memberikan semangat pada bosnya agar ia tidak larut dalam kesedihannya.
"Yang sabar ya Mbak, aku yakin Tuhan sedang menyiapkan rencana yang jauh lebih baik buat mbak. Mungkin Mas Vano bukan yang terbaik buat mbak sehingga tuhan dengan cepat membuka kedok Mas Vano," tutur Nadia mengusap punggung Valerie.
"Iya, Nad. Mungkin saja seperti itu tapi, aku beruntung aku bisa melihat kebusukan mas Vano sebelum aku memiliki anak," ucap Valerie memeluk kembali asistennya.
Setelah Valerie merasa tenang, ia melepaskan pelukannya dan melihat jam tangan yang melingkar di lengannya.
"Sebentar lagi butik buka. Aku mandi dulu ya, Nad," pamit Valerie. Wanita berambut panjang itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
🌼🌼🌼🌼
Kantor polisi
Devano duduk di sebuah sudut ruangan sempit. Ruangan yang dikelilingi oleh jeruji besi itu, dihuni oleh beberapa orang yang terkena kasus kejahatan. Wajahnya yang babak belur akibat di pukuli anak buah Gerald terlihat sangat memprihatinkan.
"Devano Aldebaran," panggil seorang sipir yang bertugas, di sel tersebut.
Orang-orang yang terlihat menyeramkan itu dengan serempak melirik ke arah Devano yang tertunduk. Devano berjalan dengan malas menghampiri sipir yang memanggilnya.
"Ada tamu yang ingin menjenguk anda," ucap sipir. Pria dengan seragam polisi itu membuka pintu sel dan membawa Devano keluar untuk menemui tamu yang tadi ia sebut.
"Apalagi yang kau inginkan dariku!" sergah Vano, pada pria yang sedang menatapnya dengan senyum bahagia di bibirnya.
"Aku hanya ingin kau tanda Tangani surat ini, setelah itu aku akan membebaskanmu dari tempat ini," seru Gerald, menyodorkan sebuah surat ke hadapan Devano.
Vano melihat surat itu, sekilas.
"Surat apa itu!" ketus Vano.
"Ini surat perpisahan mu dengan Valerie, aku ingin kau menceraikannya sekarang juga," ucap Gerald dengan wajah tanpa bersalah.
Kedua tangan Vano kembali mengepal, jika saja kedua tangannya tidak diborgol mungkin pria itu sudah melayangkan sebuah tinju pada pria yang ada di hadapannya.
"Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menceraikan Valerie! apa lagi melepaskannya untuk pria bajingan sepertimu, cuih," hardik Vano sembari meludah ke hadapan Gerald.
Bugh
Sebuah tinjuan kembali mendarat di pipi Devano, kali ini yang menyumbang tinjuan itu adalah Rendi.
"Heuh, meskipun kau membunuh ku. aku tetap tidak akan menandatangani surat itu, dan sampai kapan pun aku tidak akan pernah melepaskan istriku untukmu … kau ingat itu brengsek!!"
Bugh.
Lagi-lagi Rendi meninju Devano, di bagian perutnya membuat pria itu mengerang kesakitan.
"Hentikan, Ren. Ingat kita sedang berada di kantor polisi sehebat apa pun kita … kita harus tetap menghormati peraturan kantor polisi ini," tegur Gerald, yang berbicara dengan sombong.
Gerald, menarik napasnya panjang. Ia melihat jam tangan yang melingkar di lengannya.
"Hem, waktu kita sudah habis Ren, ayo kita pulang. Dan kau–," Gerald menunjuk ke arah Devano dengan sorot mata tajam.
"Selamat menikmati, indahnya hotel prodeo ini," pungkas Gerald, yang melambaikan tangan sebagai tanda selamat tinggal pada pria yang sedang memberontak minta dilepaskan pada sipir.
"Dasar pria gila! sampai kapan pun aku tidak akan pernah membiarkanmu mendekati istriku!!!" teriak Devano, pada orang yang sudah hilang di balik pintu.
.
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments