Bersikap Sinis

Itulah awal pernikahan yang begitu berat bagi Vania, namun ia masih bertahan hingga dua setengah bulan berlalu, dengan sikap dingin suaminya juga kata-kata pedas menembus hati.

Dari hari itu pula, Daffa tak pernah lagi tinggal satu kamar dengan Vania. Perempuan itu yang bersedia pergi ke kamar lain, tepat di samping kamar pribadi Daffa yang tak pernah lagi dimasuki.

Menyiapkan makan dan minum masih terus dilakukan Vania, meski itu tak pernah disentuh sama sekali. Ya, tetap perempuan berkulit putih yang sudah kembali mengajarii anak-anak panti itu tak menyerah, walau terus diacuhkan.

Sore ini, Vania duduk diam di sebuah kursi depan panti asuhan. Hujan baru saja mengguyur dengan sangat deras, tak bisa bagi Vania kembali pulang. Tidak ada sopir, karena Vania menolak merepotkan.

Dia menggunakan motor untuk menunjang setiap kegiatan, di mana ia juga harus mengajar di sebuah taman kanak-kanak ketika pagi hari, lalu melanjutkan ke panti asuhan untuk membantu di sana sebelum mengajari semua anak dalam pendidikan masing-masing yang tak dipahami.

Sinta mengizinkan menantunya, yang jelas ia juga meminta agar Vania meminta izin pada Daffa lebih dulu sebelum memulai kembali aktivitasnya di luar rumah. 

Jawaban acuh pun diberikan oleh sang suami, membebaskan perempuan yang kini menghirup segarnya udara usai hujan itu, melakukan apa diinginkan.

"Kamu udah hubungi suamimu, Nak?" terdengar suara wanita, beriringan dengan tangan menyentuh pundak. "Hubungi dulu, bilang kalau hujan biar gak ada salah paham."

"Udah, Bu. Tadi pas hujan, Nia udah hubungin mas Daffa kok." Senyum merekah darinya yang memang telah coba menelepon, hingga SMS yang dikirimkan karena panggilan tak dijawab.

Bu Rina duduk pada kursi samping Vania, menatap ke arah rerumputan yang juga dihiasi beberapa genangan air. "Nak, sebelumnya ibu minta maaf. Tapi, ibu mau nanya sesuatu ke kamu, boleh?" 

"Tanya aja, Bu. Nia pasti jawab kok kalau emang bisa," tatap Vania.

"Nak, apa kamu gak bahagia sama pernikahanmu? Kenapa ibu ngerasa, kalau kamu gak bahagia?"

Vania tersentak, tapi dia mengulas senyuman. "Nia bahagia kok, Bu. Mas Daffa sama keluarganya baik sama Nia, mama juga perlakuin Nia kayak anak kandung sendiri. Kenapa ibu bisa ngerasa gitu?"

Wanita berusia empat puluh lima tahun itu memegang punggung tangan Vania, terasa begitu hangat di tengah dinginnya udara. "Mata kamu, Nak."

Vania menundukkan pandangan, tapi senyum masih tak luntur menghiasi wajah cantiknya. Ingin sekali-kali menumpahkan apa dirasakan dalam hati yang terluka, tapi Vania tidak ingin mengatakan dan menjadikan sang suami ternilai buruk.

Bagaimanapun sikap Daffa, ia tak ingin mengumbar pada siapa pun dan terus menutupi. Ibu kepala panti mengusap lembut punggung tangan Vania, dia tidak ingin melanjutkan dan cukup tahu melalui binar mata sendu diamati setiap kali bertemu.

Senyumnya terpasang, namun mata tak sanggup menipu dan telah begitu lantang menceritakan suasana hati. Telah lama bu Rina memendam, hingga akhirnya berani mempertanyakan.

Hening tercipta dari keduanya, sampai suara mobil berhenti memancing perhatian. Vania mengetahui siapa pemilik mobil mewah hitam itu, dia berdiri dan berjalan beberapa langkah. Bu Rina pun turut berdiri dari tempatnya, menatap lelaki yang baru turun dari mobil masih menggunakan setelan kerja.

Daffa membungkuk dan mencium tangan ibu kepala panti, lalu menegapkan tubuhnya menatap Vania. "Pulang bareng sama aku, di rumah hujan petir. Tadi Alya telfon."

"Iya, Mas. Aku ambil tas dulu di dalam," jawab Vania menundukkan pandangan tanpa berani menatap.

"Ibu buatin minum dulu," kata bu Rina.

"Enggak usah, Bu. Tadi udah minum teh di kantor," cegah lelaki berkemeja hitam panjang itu.

Bu Rina tidak tahu harus membahas apa, Daffa pun tak memulai percakapan hingga Vania datang menenteng tasnya. "Nia pulang dulu ya, Bu. Besok Nia ke sini lagi," pamitnya mencium tangan.

"Iya, Nak. Hati-hati," sahut bu Rina membelai ujung kepala Vania.

Mengangguk dan tersenyum, dia pergi bersama lelaki yang turut berpamitan setelah dirinya. Bu Rina tak beranjak dari teras panti, dia memata-matai kedua orang yang masuk ke dalam mobil sendiri-sendiri.

Tuhan, Engkau mengetahui apa yang tidak aku ketahui, jaga Nia di sana dan buatlah dia bahagia.

Hati memanjat doa tanpa rencana, berharap akan kebahagiaan menyentuh perjalanan hidup Vania. Jika ingin membandingkan, semua memang terasa jauh berbeda, tentang sikap Daffa pada Vania dan juga sikapnya pada istri pertama yang sering membuat ibu panti turut merasa senang.

Seakan tak ada perhatian, bahkan tangan yang dulu sering menggenggam Nessa untuk berjalan, membukakan pintu kendaraan, itu tak didapati oleh seorang wanita yang telah menganggap Vania seperti anak kandung sendiri.

Hatinya tergores perih, melihat pernikahan yang berlangsung mendadak tanpa persiapan juga perkenalan itu tak menyiratkan bahagia. Bahkan saat ia mendapati Vania mengalihkan pandangan mata, tersirat ketakutan dari ekspresi wajahnya.

Ya, itu memang yang terjadi dan bukan hanya perasaan dari bu Rina saja. Karena sekarang, Vania masih menurunkan kelopak matanya. Tangan di atas pangkuan memegangi tas, dia tidak berani menegur meski sangat ingin.

Peringatan dari sabuk pengaman terdengar berisik, Daffa melihat ke arah perempuan di sampingnya. "Pakai sabuk pengamannya!" tegas Daffa, tersentak Vania.

"I-iya, Mas!" jawabnya, celingukan mencari-cari. Daffa mengembuskan napas kasar, lalu menepi.

Tak menggunakan kata-kata lagi yang pasti tak akan dipahami dan membuang lebih banyak waktu, Daffa langsung mencondongkan tubuh ke arah Vania dan menarik seat belt tersedia.

Terkejut bukan main Vania, napasnya seakan terhenti seketika, meski jantung berdetak begitu cepat. Menegapkan tubuh duduknya, tapi hidung mancung dimiliki masih sanggup mencium aroma maskulin dari lelaki yang terlalu dekat dengannya untuk pertama kali.

Daffa menoleh ke arah Vania, kedua mata mereka saling beradu dalam jarak sangat dekat, bahkan ujung hidung Daffa hampir sanggup menyentuh sisi wajah mulus yang juga baru kali ini diamati dalam jarak dekat.

Cepat ia menjauhkan diri, memulai kembali untuk melanjutkan perjalanan. Vania masih tertahan dengan napasnya, sengaja Daffa menginjak rem untuk menyadarkan agar perempuan itu bisa bernapas.

"Mama yang minta aku jemput!" kata Daffa segera, agar tak ada kesalahpahaman dan pengembangan pikiran dari perempuan yang sangat terkejut hingga tubuh maju.

"I-iya, Mas." Jawabnya gugup. "Ter-terima kasih banyak."

"Gak usah makasih! Kalau bukan mama yang minta, aku juga gak mau ngelakuin! Aku gak pengen mama mikir aneh-aneh terus sakit lagi!" sinisnya.

Daffa menoleh tatkala mendengar nada gugup terlontar padanya, menelisik pada Vania yang memainkan kedua tangan di atas pangkuan. Wajah bersemu merah pun sanggup ditemui olehnya dengan sangat jelas.

Terpopuler

Comments

RahaYulia

RahaYulia

AMIN

2022-10-22

0

Eva Karmita

Eva Karmita

Bu Rina tau apa yang dirasakan Vania 😔😔
hati dan perasaan seorang ibu tak bisa dibohongi
meskipun Vania tak terlahir dari rahim Bu Rina namun kasih sayang Bu Rina tulus ke Vania seperti anaknya sendiri 😔❤️🤗🤗

2022-07-23

2

Zulfatul Latifah

Zulfatul Latifah

=

2022-07-20

0

lihat semua
Episodes
1 Tidak Bisa Mencintai
2 Jangan Lakukan Apa-apa!
3 Bersikap Sinis
4 Ingin Merebut Vania
5 Nurutin Semua?!
6 Kok Merah?
7 Laki-laki Normal
8 Siapa Jodoh Vania?!
9 Jangan Periksa!
10 Kemarahan
11 Murka Daffa
12 Tak Ingin Menyalahkan
13 Menggarapnya Kembali
14 Mengamati Diam-diam
15 Nomor Vania
16 Gugup
17 Nama Sama yang Menjengkelkan
18 Suka Tindakan, Bukan Omongan
19 Salah Tingkah
20 Kedatangan Arif
21 Tak Berniat Membentak
22 Pertemuan Kali Pertama
23 Pak Johan?
24 Rumah Sama
25 Kepolosan Vania
26 Memasak Untuk Vania
27 Kata Polos Mengundang Tawa
28 Kecemburuan Vania
29 Seksi!
30 Cemburu Lagi
31 Memata-matai?
32 Kakak?
33 Membawa Kabur
34 Suami Utuh
35 Jawaban Polos Mengundang Tawa
36 Penyesalan Daffa
37 Pamer Suami!
38 Menikah Lagi
39 Hukum Tabur Tuai
40 Bendera Perang
41 Program Kehamilan
42 Ketakutan Daffa
43 Melamar Langsung
44 Berhenti Menghubungi dan Menemui
45 Mencari Tahu
46 Identitas Berbeda
47 Tak Semua Bisa Jujur
48 Terbuat Dari Apa?
49 Apa Ini?
50 Cucian Kotor
51 Nanti Panuan!
52 Telefon Dari Linda
53 Seperti Saudara Kembar
54 Tidak Mungkin!
55 Perusak Suasana
56 Campur Tangan Tuhan
57 Bersemu Merah
58 Bukan Bodoh
59 Ingin Bersama
60 Cintai Aku, Mas!
61 Rencana Alya dan Bagas
62 Menikah Rasa Duda
63 Ingin Vania Berubah
64 Me VS Master (Noveltoon)
Episodes

Updated 64 Episodes

1
Tidak Bisa Mencintai
2
Jangan Lakukan Apa-apa!
3
Bersikap Sinis
4
Ingin Merebut Vania
5
Nurutin Semua?!
6
Kok Merah?
7
Laki-laki Normal
8
Siapa Jodoh Vania?!
9
Jangan Periksa!
10
Kemarahan
11
Murka Daffa
12
Tak Ingin Menyalahkan
13
Menggarapnya Kembali
14
Mengamati Diam-diam
15
Nomor Vania
16
Gugup
17
Nama Sama yang Menjengkelkan
18
Suka Tindakan, Bukan Omongan
19
Salah Tingkah
20
Kedatangan Arif
21
Tak Berniat Membentak
22
Pertemuan Kali Pertama
23
Pak Johan?
24
Rumah Sama
25
Kepolosan Vania
26
Memasak Untuk Vania
27
Kata Polos Mengundang Tawa
28
Kecemburuan Vania
29
Seksi!
30
Cemburu Lagi
31
Memata-matai?
32
Kakak?
33
Membawa Kabur
34
Suami Utuh
35
Jawaban Polos Mengundang Tawa
36
Penyesalan Daffa
37
Pamer Suami!
38
Menikah Lagi
39
Hukum Tabur Tuai
40
Bendera Perang
41
Program Kehamilan
42
Ketakutan Daffa
43
Melamar Langsung
44
Berhenti Menghubungi dan Menemui
45
Mencari Tahu
46
Identitas Berbeda
47
Tak Semua Bisa Jujur
48
Terbuat Dari Apa?
49
Apa Ini?
50
Cucian Kotor
51
Nanti Panuan!
52
Telefon Dari Linda
53
Seperti Saudara Kembar
54
Tidak Mungkin!
55
Perusak Suasana
56
Campur Tangan Tuhan
57
Bersemu Merah
58
Bukan Bodoh
59
Ingin Bersama
60
Cintai Aku, Mas!
61
Rencana Alya dan Bagas
62
Menikah Rasa Duda
63
Ingin Vania Berubah
64
Me VS Master (Noveltoon)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!