Hujan mengguyur kembali dengan sangat deras, pandangan mata Daffa terbatas di tengah hujan juga langit menggelap. Tak berani untuknya melanjutkan perjalanan demi keselamatan, lagi pula Vania juga terlihat ketakutan setiap kali suara petir menyambar dengan kencang,
Mobil dihentikan olehnya di depan sebuah kafe, melepaskan sabuk pengaman dan bersiap turun. “Makan dulu, aku laper.” Katanya, lalu membuka pintu.
Vania belum sampai menjawab, tapi lelaki itu sudah turun dan berlari menuju teras kafe dengan menutupi kepala menggunakan telapak tangan. Vania menyusul, ia meninggalkan tas di dalam mobil karena terbuat dari kanvas dan di dalamnya ada beberapa buku yang ditakutkan menjadi basah.
Berlari pelan ke arah teras kafe tampak ramai, Vania terpeleset begitu tiba. Daffa refleks meraih lengan Vania, menarik dengan satu tangan lain menyentuh pinggang. “Hati-hati dong!” katanya.
“Ma-maaf, Mas.” Vania berusaha memindahkan manik mata dari wajah sang suami.
Daffa belum melepaskan tubuh Vania yang menempel pada tubuhnya, menelisik pada bagian kaki sejenak. “Ada yang sakit?” tanyanya, gelengan kepala diberikan pelan oleh Vania tanpa mengangkat pandangan.
Melepaskan tubuh istrinya, Daffa berbalik tubuh dan membuka pintu kaca kafe. Di sana memang cukup ramai, mungkin sama sepertinya yang sengaja datang dan menunggu hujan reda. Daffa menoleh pada Vania, meminta agar ia masuk juga.
Seorang pelayan laki-laki menghampiri, Daffa mempertanyakan tentang meja kosong dan diantarkan oleh pelayan berseragam hitam merah itu. Menghubungi sang ibu untuk mengatakan jika dirinya akan pulang terlambat karena cuaca yang tak mungkin diterjang, Daffa mengabaikan tentang perempuan yang kini berjalan dengan sangat pelan.
Santi berniat menghubungi putranya untuk meminta berhenti lebih dulu, namun Daffa sudah berinisiatif. Ia bersama Alya menanti dalam kecemasan di rumah, karena Bagas juga belum kembali dari kantor, sedangkan hujan dengan petir semakin menjadi di luar.
Daffa mengakhiri panggilan setelah memberi kabar, menu sudah diberikan oleh pelayan. Ia hendak membuka, tapi mencari keberadaan Vania lebih dulu, sampai mendapati jika ada seorang laki-laki menghampiri tak jauh dari pintu.
Bergegas Daffa berdiri, kaki mengayun lebar ke arah istrinya, meraih pergelangan tangannya cepat. “Ngapain?!” tatapan tajam diberikan pada sang istri yang terkejut.
“Maaf, Pak. Saya hanya ingin membantu saja, karena melihat Vania seperti kesakitan.” Lelaki berkaos navy itu menjawab lebih dulu.
“Terima kasih!” sinis Daffa, menarik lengan Vania untuk mengikuti langkahnya. Memercing kesakitan dan terus mengimbangi langkah, kaki Vania terasa sangat sakit dan sepertinya itu terkilir akibat terpeleset tadi.
Daffa duduk dengan kasar, membuka menu makanan lalu memesan asal, agar pelayan segera pergi dari mejanya. “Kalau ditungguin itu, cepetan! Bukan malah ngobrol kayak gitu!”
“Maaf, Mas. Itu salah satu anak dari donatur panti, gak enak kalau langsung pergi.” Vania menjelaskan.
“Akrab banget ya kamu sama semua donatur panti? Pacar kamu emangnya? Kenapa pegang-pegang tangan segala? Sudah sering?” cerca Daffa memasang raut wajah tak enak.
“Bukan gitu, Mas. Tadi mas Arif juga cu-,” terpotong penjelasan hendak diberikan.
“Mas?! Kamu manggil kayak gitu ke dia?!” potong Daffa, menyipitkan kedua mata penuh curiga.
“Itu cuma panggilan ak-,” sekali lagi ucapan dari bibir Vania terhenti.
“Ah udahlah, gak usah jelasin apa-apa! Gak penting juga kamu mau manggil apa ke siapa, ada hubungan apa, bukan urusan aku juga!” sarkas Daffa. "Kita pisah aja, bisa gila aku lama-lama kalau kayak gini! Itu juga baik buat kamu, bisa jalan sama siapa aja, bebas!" timpal Daffa.
Vania bungkam, selalu saja kalimat itu dilontarkan oleh Daffa padanya. Surat cerai memang sudah diberikan, lengkap dengan tanda tangan Daffa melengkapi. Tapi, hingga saat ini Vania belum menandatanganinya, masih menyimpan di dalam laci meja kamar.
Lelaki yang tadi menegur Vania, kini menghampiri dengan membawa sebuah handuk kecil di tangan. Berdiri di samping tempat Vania, tatapan Daffa tajam ke arahnya sebelum ia memalingkan. "Pakai handuk ini, kamu bisa sakit nanti kalau terus ngebiarin rambut basah." Arif menyodorkan handuk sengaja diambilkan.
"Enggak apa-apa, Mas. Nanti juga kering sendiri," sahut Vania setelah melirik suaminya sebentar.
"Nia, air hujan itu kotor, kamu bisa demam. Keringin aja dulu, kamar mandi ada di sebelah sana!" kata Arif.
Lelaki yang tak lain adalah pemilik tempat itu, melihat wajah ketakutan dari Vania. Dia menoleh pada Daffa, kemudian meraih tangan Vania meletakkan handuk. "Keringin dulu, pelayan bakal antar kamu ke kamar mandi!" katanya.
Arif melambaikan tangan pada seorang pelayan perempuan, meminta agar mengantarkan Vania ke kamar mandi begitu ia menghampiri. Ragu perempuan memang tengah ketakutan itu berdiri, wajah Daffa terlihat sangat ingin marah. "Permisi," pamit Vania.
Tak ada jawaban diberikan oleh Daffa, rahangnya mengerat kuat. Arif masih berdiri di dekat meja, memastikan untuk Vania ikut bersama pegawainya. "Saya hanya ingin membantu Vania, jadi jangan memarahinya."
"Apa hak Anda ikut campur? Dia istri saya, jadi terserah saya mau apa!" tegas Daffa, mengejutkan Arif. "Jangan pernah dekati istri saya lagi!" peringkatnya tajam.
"Maaf, tapi saya tidak tahu kalau Vania sudah menikah. Lagi pula, dia juga tidak memakai cincin pernikahan, jadi bukan salah saya kalau masih ingin mendekatinya." Arif menepis rasa terkejut, berkata dengan santai.
Daffa bagai tersambar petir ketika mendengar, sampai senyum tipis ditunjukkan seraya berpaling wajah. "Mendekati," lirihnya meremehkan.
"Saya mencintai Vania dari lama, dan saya akan terus mendekatinya. Lagi pula, saya tidak melihat hubungan kalian baik-baik saja, Vania juga lebih terlihat ketakutan saat bersama Anda, bukan seperti istri yang mencintai suaminya. Saya permisi!"
Arif pergi setelah mengatakan apa diinginkan, meninggalkan Daffa yang semakin menunjukkan amarah. Kilatan mata berapi-api sanggup dilihat oleh Arif sebelum ia pergi, bahkan kepalan tangan di atas meja pun tak luput dari pengamatannya. Lelaki yang memang menaruh hati pada Vania itu, tidak bermain-main dengan ucapannya, walau itu terdengar sangat tenang.
Vania kembali setelah dirasa cukup untuk mengeringkan rambut dan blusnya, Daffa menghampiri lalu menarik pergelangan tangan. Meninggalkan tempat di mana ia meletakkan tiga lembar uang seratus ribuan di atas meja, nafsu makan sudah tidak ada lagi, begitu pula dengan ketakutan atas pandangan terhalang hujan.
"Masuk!" tegas Daffa membukakan pintu mobil. "Aku bilang masuk!" teriaknya menambahkan.
Tak sabar menunggu sampai Vania masuk sendiri, Daffa mendorong istrinya dan membanting pintu. Tubuh dibiarkan olehnya basah, memutar langkah menuju kemudi.
Mesin mobil dinyalakan, meninggalkan lokasi kafe di mana sepasang mata mengamati dari kejauhan. Arif memang memantau dari teras kafe, mengikuti keduanya saat tahu Vania diperlakukan kasar sekali lagi.
Dapat merasakan jika Vania ketakutan tanpa berani menolak, rasa ingin untuk melindunginya perempuan dikenalnya sangat lembut itu pun, semakin kuat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
arif rebut aja Vania dari Daffa biar tau rasa dia dua kali ditinggal
2022-08-05
2
Ernata 15
ini part mengandung full irisan bawang 😭😭😭😭😭😭
2022-08-03
0
Ning cute
dah lah sama Arif aja..🥺
2022-07-28
1