Tercipta keheningan antara Daffa dan Vania, kecepatan pun terus ditambah oleh lelaki yang berulang kali menyalakan klakson, demi mendahului setiap kendaraan yang ada di depannya.
Hujan mengguyur tak dipedulikan, begitu pula dengan ketakutan dari perempuan yang terus mencengkeram sabuk pengaman di depan dada. Mata Vania terpejam hebat, dia ketakutan, tapi tidak berani membuka suara sama sekali.
Hingga tiba di rumah karena memang jarak pun sudah tak terlalu jauh, Daffa masih menunjukkan rasa kesal. Dia turun, membanting pintu dengan sangat kuat. Santi keluar tatkala mendengar suara mobil, dia ada di ruang tamu sedari tadi.
“Ya ampun, Sayang. Kenapa bisa basah semua kayak gini? Bukannya kamu bawa mobil, ya?” tegur Santi, melihat sekujur tubuh putranya basah semua. “Alya, ambilin handuk buat mas!” timpalnya menoleh pada putrinya yang mengikuti.
Alya mengangguk, dia berbalik dan memasuki rumah kembali. Santi melihat ke arah Vania, tubuhnya tak jauh berbeda, begitu pula dengan rambut. “Kalian habis dari mana, sih?” terheran Santi.
“Mobilnya macet, Ma. Daffa lihat sebentar, tapi Nia ikutan, makanya basah semua. Di mobil gak ada payung,” kilah Daffa cepat.
Vania mencium tangan mertuanya, tak lama Alya kembali dengan membawakan handuk putih besar. Memberikan pada kakak juga kakak iparnya, tatapan heran pun diberikan olehnya yang tadi mendengar jika keduanya akan makan malam lebih dulu.
“Sekarang cepetan mandi, mama buatin minum hangat!” ucap Santi, diangguki putranya. “Kamu juga, Sayang.” Menatap Vania.
“Sudah gak apa-apa, Mba. Gak usah pentingin lantai, nanti bisa aku bersihin kok.” Alya berucap, melihat kakak iparnya ragu untuk masuk ke dalam.
“Ke kamar tamu saja lebih deket!” kata Daffa, mengayunkan langkah lebih dulu.
Santi mengangguk pada menantunya, keraguan semakin terlihat jelas ketika mendengar sang suami berucap. Sepatu dilepaskan oleh Vania lebih dulu, kemudian mengeringkan sejenak pakaian sebelum ia mengikuti masuk ke dalam.
Alya dan Santi menoleh, lalu saling tatap. “Sudah, kita buatin minum dulu buat mereka.”
“Iya, Ma.”
Ingin untuk Alya mengutarakan keanehan, bahkan juga kecurigaan yang menggelayut nyaman dalam pikiran. Tapi, Santi cepat mencegah tanpa ingin membahas tentang apa yang terjadi sebenarnya.
Daffa memasuki kamar tamu di lantai dasar, langsung ke kamar mandi dan melepaskan semua pakaian dari tubuhnya. Mengguyur dengan air hangat dari kepala hingga ujung kaki, telinga terus saja terngiang setiap kata menyebalkan yang menyesakkan dada.
Dipikir, dia siapa? Beraninya ngomong kayak gitu ke aku! Enteng banget mau deketin istri orang, dasar gak ada otak! Memang dipikir, aku ini siapa? Sopirnya Nia?!
Hati itu terus saja memaki sedari dalam perjalanan, rasanya ingin memukul wajah Arif yang dengan santainya berkata mencintai Vania, tanpa memandang siapa Daffa selaku suami. Terang saja ia sangat kesal, bahkan merasa tak dihargai.
Lebih-lebih, Vania yang hanya diam tanpa menjelaskan apa-apa, itu tak seperti yang diharapkan oleh Daffa sama sekali, dan semakin menambah rasa sesak terlalu menyiksa dalam hati.
Mengarahkan rambut basah terguyur air ke belakang, kedua mata Daffa terpejam. Wajah Vania terlihat sangat jelas, ketika mereka saling berdekatan tadi. Jantung Daffa berubah sangat cepat, tapi telinga pun kembali terdengar suara Arif, yang jelas mengatakan bahwa Vania hanya merasa takut saat bersama dengannya.
Kala Daffa berada dalam segala bayang tak pernah diundang, di kamar sama vania membukakan pintu pada seseorang yang mengetuk dari depan. Itu adalah Alya, mengantarkan pakaian ganti untuk keduanya, yang diambil dari tumpukan belum diletakkan oleh pelayan ke kamar.
“Ini buat mba sama mas, aku ambil dari kamar belakang, tadi di setrika sama bibi.” Alya menerangkan seraya menyodorkan tumpukan pakaian di tangan.
“Makasih banyak ya, Dek. Maaf ngerepotin,” sungkan Vania.
“Enggak repot kok, Mba. Kita kan keluarga,” senyum cantik ditunjukkan Alya. “Mba buruan mandi, nanti sakit loh. Alya pergi dulu,” tambahnya.
Vania mengangguk dan tersenyum, sekali lagi mengucap terima kasih pada adik iparnya. Pintu kamar kembali tertutup, ia meletakkan pakaian di atas ranjang. Mengambil hanya milik Daffa, lalu berjalan ke arah kamar mandi dan mengangkat tangan untuk mengetuk.
Mengurungkan sebelum nada di buat pada pintu di depannya, Vania mengurungkan niat untuk memanggil sang suami dan menyerahkan pakaian ganti. Tapi, ia berpikir tentang Daffa yang harus memakai apa, kemudian membuatkan niatnya.
“Mas,” tegur Vania setelah mengetuk pintu. Tidak ada jawaban kecuali gemercik air terdengar, Vania mengetuk dan memanggil suaminya berulang.
Akhirnya suara itu sampai pada telinga Daffa, menekan saluran air shower dan mematikan. Handuk diraih olehnya, melilitkan pada pinggang. Berjalan seraya menyisir rambut basah ke arah belakang, membuka pintu seketika lebar.
Vania terkejut, pakaian di tangan terlepas begitu saja dan mendarat ke lantai. Tubuhnya mematung, kedua mata tertuju pada kulit putih bersih yang baru kali ini terpampang jelas di depannya.
“Apa?!” tegur Daffa menyentak perhatian Vania.
“A ... mm, i-ini ... mm ...,” kebingungan Vania. Manik mata berkeliaran ke sana-kemari mencari tempat berlabuh, sampai ia menundukkan pandangan dan menemukan pakaian. “Pakaian!” katanya lalu berjongkok cepat.
“A-aku ma-mau antar in-ni!” sambungnya menyodorkan pakaian, setelah ia beranjak.
Daffa menelisik wajah juga tubuh Vania, satu langkah ia mendekat. Vania gemetar ketakutan, tapi matanya tidak bisa diajak bekerja sama untuk berpaling dari wajah terlihat segar. “Ma-mas mau apa?”
“Bukannya kamu suka jalanin kewajiban jadi istri? Harusnya kamu udah tau, aku mau apa.” Daffa menjawab santai, terus saja melangkah mendekat. “Kenapa? Takut?”
Vania menggelengkan kepala, pakaian di tangan ia pergunakan menutupi dada. “Eng-enggak.”
Jari terlihat jelas oleh Daffa, ia meraihnya cepat. “Di mana cincin pernikahan, Kamu?! Kenapa gak ada?!” tanyanya berubah tegas. “Sengaja kamu gak mau pakai, biar semua cowok di luar ngira kamu belum nikah, terus deketin kamu, gitu?!”
“Eng-enggak, Mas. Tapi, mas sendiri yang minta aku buat lepasin cincin itu, karena mas juga gak mau pakai,” lirih Vania.
“Terus, kalau aku minta kamu masuk ke laut, itu juga bakal kamu lakuin?!” tatap Daffa tajam.
“Kalau mas yang minta, aku bakal lakuin semuanya. Aku cuma mau jadi istri penurut kayak apa yang mas mau,” jawab Vania dan segera tangan dihempaskan kasar oleh suaminya.
“Kamu bakal nurutin semua yang aku mau?” menyipit kedua mata Daffa, mengangguk perempuan di depannya. “Oke! Kalau gitu, lepas semua pakaian kamu di depanku sekarang juga! Semuanya, gak ada sisa!” tekannya pada setiap kalimat.
Vania terkejut, melebarkan kedua mata. Daffa menaikkan sedikit kepala, mengisyaratkan sebuah tanya. Saliva menerobos pada tenggorokan Vania kuat, terdengar oleh Daffa seperti apa suaranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Susana
Daffa jahat! Kasihan Vania. 🤧🤧
2023-01-04
0
Nursiah Nursi
daffa tega benar awas aja tar bucin parah sama vania
2022-10-09
0
Daffa kamu kok gitu bangat sih sama Vania,,,
2022-08-05
0