Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah untukku, karena satu kabar baik datang menghampiriku.
"Ma, tebak ada kabar apa hari ini!" ujarku menyeringai.
"Apa sih Neng, main tebak-tebakan sagala ah!" ketus Mama.
"Ih, Mama! jangan ngambek dulu dong. Aku keterima di Bank BUMN itu Ma, posisi sebagai customer service." Sahutku bahagia.
"Alhamdulillah ... bungsu mama akhirnya kerja juga, selamat atuh ya, semoga berprestasi dan sukses karirnya, tapi pesan Mama satu, jangan pernah lupa kodrat kamu sebagai wanita! omat ya!" Tegas Mama.
"Iya Ma, tenang aja." Sahutku.
Aku sudah mulai training di hari Senin, selama tiga bulan. selanjutnya bekerja normal pakai seragam khas perusahaan perbankan ini.
Aku tidak akan memberitahu Dion soal ini, karena hari ini dia akan datang ke Bandung, ceritanya bakal melewatkan Saturday night bareng ayang.
Biar nanti saja aku beri tahu jika dia sudah datang kemari. Aku mempersiapkan diri bertemu Dion, saat ini dia bukan kawanku atau kakak kelasku lagi, melainkan calon suamiku. Aku berdandan alakadarnya tidak medok, tidak berlebihan layaknya riasan MUA. Hanya memoles sedikit saja supaya tidak terlalu polos, bagaimana pun aku ingin juga tampil menawan di depan Dion. Aku rias wajahku dengan riasan natural saja, jarang-jarang kan aku poles-polesan seperti ini.
Aku menunggu dengan cemas, berharap Dion datang tepat waktu.
"Nyampe mana, Beb?" tanyaku lewat telepon mode loudspeaker
"Di tol Pasteur Hon, sebentar lagi take off di rumahmu." Sahut Dion.
"OK take care ..." Tuturku.
"Siap sayang ..." Pungkasnya.
Aku sudah siap, dengan sepatu sneaker berwarna putih, hijab pasmina berwarna coklat milo dan T- Shirt berwarna putih celana kulot berwarna senada dengan hijab.
Terdengar suara mobil di depan rumah, aku mengintip lewat jendela, ternyata itu mobil Dion. Ah ... senangnya ...
Dion turun dari mobilnya lalu mengetuk pintu. Dia tak menduga bahwa yang membuka pintu adalah aku.
"Assalamualaikum Tan, eh kamu Hon, kamu cantik sekali. You look different honey ..." tutur Dion memandangku tanpa berkedip.
"Ma! Pa! ini ada Dion!" teriakku.
"Iya Neng ... sebentar ..." Mama menghampiri kami.
"Pa! ini Dion. Udah atuh simpen dulu HP-nya meni maen wae HP dari tadi teh, udah tuir juga!" Tukas Mama.
"Enggak apa-apa atuh Ma, Papa kan cuma lihat-lihat berita." Ucap Papa.
"Ya sudah kalian silakan ribut saja berdua ya, kami pamit mau jalan dulu ya Pa, Ma!" Ujarku.
"Da ini Si Papa tah ah, gara-garana." Kata Mama.
"Idih Mama tuh, bisanya nyalahin Papa aja ah." Sahut Papa.
"Iya sok Neng ati-ati yah, Dion omat jaga anak bungsu Mama, ulah sampe ka lecet ya." Tutur Mama.
"Iya tante ... siap!" tegas Dion.
Kami berdua pergi melewatkan malam minggu, seru jalan bareng Dion, karena bersama dia enggak pernah monoton. Saturday night ala kami bukan nonton di bioskop tapi ke toko buku, cari novel-novel, menjajal kuliner seperti ingin menggendut bersama. jalan ke daerah Dago atas sekedar view kota Bandung. dan lain-lainnya.
Setelah lelah menjajal novel dan kuliner. Kami lantas pulang. Dalam perjalanan kami menuju pulang, Dion banyak bercerita tentang banyak hal, termasuk studi kedokteran spesialisnya yang hampir rampung. Katanya dia akan ngebut kejar SKS ( Sistem Kredit Smester ) yang lumayan banyak biar cepat selesai.
"Honey, aku enggak mau pacaran, penginnya ngelamar kamu, ini serius." Tutur Dion yang dari sejak awal kedatangannya memang ingin melamarku.
"Iya tapi masalahnya ... aku dari dulu juga belum tahu bahkan belum kenal orang tua kamu keluarga kamu, enggak seperti kamu yang sudah kenal dengan mama-papa dan kakak-kakakku. kamu curang deh." Kesalku.
"Bukan gitu Hon, orang tuaku kan enggak tinggal di Bandung. Di Bandung cuma om saja, dan selama sekolah aku ikut dengan om bukan dengan orang tuaku.
"Terus ngapain kamu sekolah disini tapi orang tua kamu dimana aku enggak tahu!" Ketusku.
"Awalnya orang tuaku memang tinggal disini dari sejak aku sekolah SD, ketika Aku SMP, karena perpindahan tugas ayah, kami semua pindah ke luar kota, tapi aku menolak untuk Ikut mereka pindah karena aku sudah kerasan tinggal disini. Jadilah melanjutkan sekolahku disini dan ikut bersama Om Basir adik ayah yang memang sudah menetap disini dari sejak lama." Ungkap Dion menjelaskan.
"Kamu tuh aneh ... aku mana bisa hidup jauh dari mama dan papa, nah kamu malah ingin tinggal terpisah dengan mereka." Sahutku.
"Ya udah, karena kamu sebentar lagi bakal jadi istriku, aku jujur aja sama kamu ya Hon, biar enggak ada yang dirahasiakan diantara kita." Ujarnya.
"Sejujurnya aku dengan ayah memiliki hubungan yang kurang harmonis, tidak seperti kamu dengan papa yang begitu akrab. Ayahku orangnya otokrat, segala sesuatu harus sesuai kehendaknya, termasuk kuliah kedokteranku sekarang yang sebenarnya aku tuh enggak minat, aku penginnya arsitektur tapi ayah melarang. Dari berbagai ketidak cocokkan, aku lebih memilih tinggal bersama Om Basir yang justru jadi sosok panutan untukku." Ujarnya lagi.
Dalam hati Liona bergejolak rasa takut itu yang kembali menyeruak di otaknya.
"Beb, jika aku jalan sama kamu apa ayah kamu enggak akan masalah?" Tanyaku.
"Masalah apa sayang, apa yang bakal ayah koreksi dari diri kamu! kamu smart, kamu cantik, kamu dari keluarga baik-baik, kamu juga taat beribadah, soal sifat dan karakter semua orang kan juga punya kekurangan, begitu juga aku, enggak akan ada manusia yang sempurna, Sayang." Tuturnya antusias.
"**-tapi bagaimana jika ayah kamu membenci aku?" tanyaku.
"Kamu kejauhan mikirnya sayang, bicara yang baik-baik dong. Sudah yah, enggak usah bahas itu. Bagiku, kamu enggak bermasalah sama sekali." Pungkas Dion
Mengapa tiba-tiba pikiran ini berburuk sangka dengan ayahnya Dion. Dan bagaimana jadinya jika Dion sudah dijodohkan dengan orang lain atau malah Ibunya ikut tidak merestuiku? Mengapa disaat aku sudah mulai jatuh cinta yang sesungguhnya, kekhawatiran itu tiba tiba menggelayuti pikiranku. Sudahlah, apa yang dikatakan Dion ada benarnya, aku berpikir terlalu jauh.
"O ya Beb, aku keterima kerja, yang tempo hari aku ceritain ke kamu itu lho. Padahal aku udah pesimis karena banyak saingan, tapi takdir baik berpihak padaku Alhamdulillah ..." ujarku menyembunyikan kegalauan dengan kebahagiaanku.
"Alhamdulillah ... great, congratulation Honey, kenapa baru bilang ayo!" ujar Dion.
"Aku pengin kasih surprise kan ke kamu ..." Sahutku merajuk.
"Really ? bagus Honey kerjaan itu kan sesuai dengan keinginan Kamu." Ujarnya lagi.
"Iya ... dan aku bahagia akhirnya punya kerjaan sekarang." Jawabku.
"Oya, kamu ditempatkan di posisi apa, Honey?" tanya Dion
"Customer service, Beb." Sahutku.
"Wah bahaya nih, posisi itu kan menghadapi customer, awas ya jangan baper kalo ada yang godain kamu, apalagi kalo ada yang ngajak nikah sama kamu, aku bakal murka!" ujarnya menggodaku.
"Apa sih Beb, kejauhan deh mikirnya." Tukasku.
Sampai sudah kami di rumahku ... kami turun dari mobil, dan aku tidak seperti Cinderella yang menunggu pangeran membukakan pintu untuk keluar, cukup turun sendiri buka pintu sendiri, lebay amat mesti dibukain.
Dion menggenggam erat jemariku sejak turun dari mobil hingga di depan pintu, kami saling menoleh, netra kami beradu pandang, kami tersenyum bahagia.
Dion tidak mau buru-buru pulang, dia pengin menikmati dulu teh manis hambar yang hangat buatanku.
"Tunggu disitu, atau mau masuk, Beb?" tanyaku.
"Disini saja sayang, adem bisa lihat Bintang dan Bulan, enak banget malam-malam disini." Sahutnya.
"OK, kalo gitu aku ke dalam dulu ya, bikin Teh manis untuk kamu." Jawabku.
"Iya sayang jangan lama ... lama ya ..." pungkas Dion.
Aku buka pintu, kuletakkan handbag-ku di sofa ruang tamu, kulihat papa tertidur di surpet dengan TV yang menyala tanpa penontonnya. Mungkin papa menunggu aku pulang sampai ketiduran. Padahal ini baru jam 20.30, papa sudah pulas saja tidurnya.
Kutengok mama di kamar, rupanya sama juga sudah tertidur pulas. Biarkanlah ... mereka mungkin lelah. Aku pergi ke dapur membuatkan teh manis untuk Dion.
Teh manis sudah selesai kubuat kan, aku berjalan menuju teras, tempat ngademnya Dion dari sejak dulu. Di depan teras ada taman kecil dan kolam ikan yang terdapat air terjun buatan disana. Sehingga suara gemericik airnya membuat nyaman suasana.
Aku letakkan secangkir teh manis hangat di meja. Dion turun lesehan di taman melihat Ikan. Aku juga Ikut duduk bersamanya tepat disampingnya. Kami berdua duduk bersila, Dion menggenggam lagi jemariku.
"Sayang ... tahu enggak, pengin rasanya aku hidup bahagia dengan kamu segera seperti Mama dan Papa kamu. Jarang bertengkar ... Kamu ngerasa yang sama enggak sayang?" tanya Dion.
"Iya ... tapi kamu curang, aku enggak punya mantan lho, sementara kamu ada tiga mantan bertengger di list dear mantan kamu!" Candaku.
"Masa sih idola pria kok gak pernah pacaran." ledek Dion
"Kalo aku nya enggak mau gimana dong." Sahutku
"Bangganya aku punya calon istri yang masih orsinil gak pernah pacaran, masih disegel!" Bisiknya ketika mengatakan masih disegel.
"Ih Kamu rese banget!" Kesalku.
"Liona meskipun kamu keras kepala, kekanak-kanakan, dan manja juga galak, tapi everything about you aku suka." Gombal Dion.
"Mulai ... ngerayu ..." Ledekku.
"Enggak, ini beneran kok." Tukas Dion.
"Dion, jangan sakiti aku ya, kamu cinta pertamaku, kekasih pertamaku dan aku berharap kamu jadi suamiku kelak." Lirihku.
Dion mendekapkan kepalaku di dada bidangnya. Aku balas pelukannya, dia mengusap kepalaku, tak terasa tirta dari netraku menetes di bajunya.
"Kenapa, kamu menangis sayang? Aku gak akan meninggalkan Kamu, atau bahkan menyakiti kamu. Itu enggak mungkin kulakukan, secara aku sudah punya rasa sedari dulu sama kamu, perasaan itu enggak pernah berubah, malah bertambah semakin bertambah." Jelas Dion seraya menyeka tirta di netraku.
"Kamu enggak usah berjanji, just do it OK, Beb!" Sahutku mendongah ke wajahnya yang lebih tinggi dariku.
"OK Honey, I'll try and I will do the best for you." jawab Dion.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments