"Kenapa setelah sekian lama kamu baru muncul lagi di hadapanku Dion? muncul membawa misi yang berbeda!" ujarku ketus pada Dion.
"Aku sedang mengumpulkan kekuatan untuk bertemu lagi denganmu, tidak mudah bagiku tiba-tiba datang dengan seperti ini, padahal sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya. Aku sungguh mencintai kamu Liona, tapi aku juga tahu tidak semudah itu mendapatkanmu, dengan semua prinsip dan keyakinanmu yang kukuh, membuatku berpikir bagaimana cara menjadi bagian dari hidupmu." Ungkap Dion.
"Kini ... aku sudah percaya diri, aku tahu kamu juga mencintaiku ya kan!" ujar Dion.
"Jangan terlalu yakin dan PD!" bentakku.
"OK, terserah kamu, tenangkan diri kamu, pulang ke rumah dan pikirkan baik-baik, OK?" sahut Dion.
"Ya sudah, antar aku pulang, aku ingin ketemu mama, aku sudah janji sama papa mau kasih kado bareng!" Lirihku berkaca-kaca.
"Ayo aku antar kamu pulang sekalian aku pengin ketemu Mama sama Papamu." Tukas Dion.
"Aku memang pernah mencintai kamu Dion, tapi itu dulu, mungkin saat itu cuma cinta monyet, entahlah dengan hari ini, semuanya begitu mengejutkanku." Lirih Liona.
"It's OK santai saja, aku memakluminya, kamu sedang bingung saat ini ... aku enggak akan mendesakmu." Ujar Dion.
Sampai di rumah...
"Assalamualaikum..." salamku dan Dion.
"Waalaikumsallam," sahut Mama dan Papa.
Mama membuka pintu.
"Ini ... siapa ya ... aduh lupa-lupa ingat nih, Mama." Tutur Mama terus mengingat-ingat
"Dion, Ma." Sambungku.
"Nah ... iya bener, dulu sering kan kesini, kerumah bareng temen-temen nya Liona, ya kan?" kata Mama.
"Iya Tante." Ujar Dion.
"Silakan duduk dulu, Di." tuturku.
Dion duduk manis menunggu di ruang tamu ditemani Mama. Sementara aku dan papa sibuk membenahi kado dan cake yang sudah dipersiapkan sejak tadi.
"Ayo Pa, kita action, ini kadonya Papa ... cepet kasih mumpung Mama lagi di ruang tamu bareng Dion." Ajakku.
Papa menghampiri mama yang sedang duduk di ruang tamu, lantas Papa duduk di dekatnya.
"Ma, coba buka ini apa?" ucap Papa menyodorkan kotak perhiasan berudru berwarna hitam.
"Waaah ... ini kalung inceran Mama kan Pa, Kok bisa?" Ujar Mama terkagum-kagum.
"Bisa dong, Ma. Selamat ulang tahun Mama, terima kasih udah setia sama Papa dan mengurus anak-anak dengan baik." Tutur Papa mencium kening Mama.
"Thank's Papa ... Papa memang yang terbaik." Sahut Mama memeluk Papa berderai air mata haru.
"Dan ... ini cake nya Mama, cake pilihanku untuk Mama, hadiah dari Dion lho Ma!" Ucapku menyodorkan cake lembut dan mewah itu.
"Terima kasih Dion baru ketemu udah direpotin ..." sahut Mama tertawa kecil.
"Sama-sama Tante, no problem." Kata Dion.
Dion menatapku, seolah memberi kode, ingin bicara privasi denganku. Aku bawa dia ke teras, dan duduk di kursi rotan yang sepasang itu. Aku bawakan dia secangkir teh manis hambar kesukaannya. Teh celup yang tidak terlalu pekat dengan sedikit gula.
"Teh manis kesukaanmu, Di." Ucapku menyimpan teh nya di meja.
"Makasih, Li." Ucap Dion meminum seteguk teh buatanku, seperti tes rasa.
"Kamu masih bisa bikin Teh manis seenak ini untukku, rasanya enggak berubah." Ujar Dion.
"Kebetulan aja kali, ga usah GR!" bentakku.
"Kamu tuh, masih aja keras kepala dan galak." Ucap Dion tersenyum tipis.
"Terserah aku dong kalau kamu enggak suka ya udah!" sahutku.
"Nah ... kan ngambek, lesung pipit sebelah kamu itu jadi kurang manis kalau cemberut." Jawab Dion.
"Mulai deh gombal!" Ucapku tersenyum menoleh ke arahnya.
"Liona, jawab aku, kenapa saat itu kamu ngalah sama Rida? kenapa kamu enggak pernah tanya perasaanku, aku enggak ada perasaan sama dia, akhirnya hubungan kami berantakan dan putus karena mau dipaksakan seperti apa pun, aku tetap enggak bisa jalan sama dia, padahal kala itu aku berharap kamu jawab 'Ya aku mau jadi someone special kamu Kak Dion'." Sesalnya menyandarkan badannya ke kursi rotan itu sembari melihat cahaya Bintang.
"Mmm, maaf aku udah maksain kamu jalan bareng Rida, soalnya dia memohon sama aku untuk ngalah sama dia, dia bilang aku harus tolak cinta kamu, terdengar klise memang tapi itu kenyataannya, bukan cerita film lho!" sahutku menjelaskan kesalah fahaman di masa lalu.
"Terus giman dong, sekarang ... apa kamu masih kekeuh dengan pendirian kamu?" tanya Dion menoleh padaku yang berada di sebelah kirinya.
"Sebenarnya ... waktu itu, ada rasa takut juga untuk jawab ya sama kamu, pertama... aku takut mama dan papa marah besar, kedua aku merasa masih bocah SMA yang gak mungkin jalanin hubungan beneran, maksudnya serius jadian. Banyak hal yang jadi pertimbangan kala itu. Maafin aku Dion." Ucapku menyodorkan jari kelingkingku untuk kutautkan pada Dion layaknya bocah yang bertengkar terus baikan.
Dion membalas menautkan kelingkingnya padaku, suasana sudah tak horor lagi, gunung es sudah mulai mencair. Aku sudah mulai open minded .
"Aku memang kadang kekanak-kanakan tapi percayalah aku juga sedang berproses. Situasi dan kondisi yang tak lagi sama tidak mungkin berlaku solusi dan tindakan yang sama juga Dion." Ujarku lagi.
"Saat itu aku masih gadis ABG, saat ini aku sudah menjadi seorang perempuan dewasa, yang sedang menjajal karier. Sehingga aku tak ingin suatu hubungan akan merubah tujuanku." Ungkapku lagi.
"Kamu ambisius, Li!" sahut Dion.
"Aku memang punya ambisi, tapi tidak ambisius, apa salah? bukankah setiap orang memiliki ambisi dalam dirinya? aku hanya ingin hidupku tidak membebani kedua orang tuaku dan calon suamiku kelak, aku harus mandiri secara finansial agar tidak menyusahkan orang lain, malah mungkin bisa membantu orang lain." Beberku menjelaskan semua uneg-uneg pada Dion.
"Kamu benar sekali Liona cantik ... tapi menikah juga kewajiban, bagaimana mungkin kamu hidup berkecukupan, kariermu bagus, tapi kamu hidup sendiri tanpa pasangan yang akan support kamu!" Ungkap Dion salah faham.
"Pikiran mu terlalu sempit Dion, aku bukan tidak akan atau tidak mau menikah. Aku hanya sedang fokus mencari pekerjaan, dan kalaupun seseorang ingin menjalani hubungan denganku maka aku harus memastikan hubungan itu serius menuju pernikahan, bukan main-main agar waktuku tidak sia-sia, menghabiskan hidupku untuk meratapi kegagalan cinta." Ungkapku menjelaskan lagi.
"Berarti kamu selama ini defensif, menjaga pertahanan dari ancaman, kamu takut sakit hati? aku tidak ingin menyakitimu Liona." Kesal Dion.
"Kamu benar aku memang defensif, dan ya, aku takut akan sakit hati, aku tidak mau nasibku seperti kakakku yang tiba-tiba ditinggalkan ketika sudah bertunangan. Perlu waktu yang cukup lama baginya menyembuhkan luka itu, dan kamu ... apa kamu bisa menjamin masa depan? kenapa kamu mendahului Tuhan, apa kamu bisa menjamin keadaan tetap sama sehingga sebegitu yakinnya kamu tidak akan menyakiti aku?" Tegasku lagi.
"Iya ... iya ... sudah cukup bicaramu jadi melebar kemana-mana, aku memang tidak tahu alur hidupku kelak tapi aku mencintai kamu dan ingin menikah denganmu, Liona!" Bentaknya memegang pundakku dan menggerakkannya dengan tangannya yang kekar.
"Baiklah, Dion. Jika itu maumu, aku akan memikirkannya mulai saat ini. Aku tidak akan abai lagi dengan semua yang kamu katakan. Syaratnya ... aku yang akan menjawab sendiri tanpa kamu tanyakan!" tegas ku.
"OK ... I'm agree." Jawab Dion bersemangat.
"OK sekarang sudah selesai, anda boleh pulang, sudah larut malam Dokter Dion, enggak baik diam di rumah perempuan lama-lama!" Ucapku menggodanya.
"Iya ... Li, aku pulang sekarang, bawa aku di mimpimu sayang." Ucap Dion membisikkan kata-kata gombalnya.
"Dasar gombal, dari dulu enggak berubah!" Sahutku memukulnya dengan bantal kursi.
Dia hanya tertawa terbahak-bahak, melihat tingkahku. Setelah semua obrolan privasi yang seru dia pamit hendak pulang kembali ke Jakarta. Dia jauh-jauh, sengaja datang kemari hanya ingin berbicara itu saja padaku.
Dion ... semoga kamu adalah laki-laki hebatku yang akan mampu menjadi sosok pelindung seperti Papa, tidak gengsi membantu Mama melakukan pekerjaan rumah, selalu bersahaja, dan tidak pernah kasar pada Mama.
Aku memang tak harus menyamakan calon suamiku layaknya Papa, tapi terus terang Papa adalah Idolaku.
-------
Pagi yang indah ... disambut gerimis hujan yang turun, Pelangi muncul menampakkan wajahnya yang terbentur Matahari.
Ku seduh minuman coklat favoritku, mmmmh ... aroma coklat yang nikmat menggoda indra penciumanku, aku ambil setangkup Roti Jhon ala Mama yang nikmaat sekali.
Terima kasih Tuhan ... atas nikmat yang Kau beri. Kubuka ponselku lalu, kubuka notifikasi yang masuk melalui surat elektronik di akunku.
Senangnya! aku dapat kabar baik. permohonan lamaran kerjaku memenuhi qualifikasi. Aku dipanggil untuk wawancara dan beberapa tes di kantor pusat besok.
"Ma! aku dapat panggilan wawancara dan tes, di Bank BUMN itu. Besok jam 8.00 pagi. Ingetin aku ya, Ma!" kataku.
"Alhamdulillah ... Mama seneng dengernya ... semoga berlanjut diterima ya sayang ..." doa Mama.
"Aamiin ... aamiin, Ma." Sahutku memeluk Mama.
Keesokan harinya ...
Selepas mandi dan solat Subuh, aku bersiap menyambut interview dan tes, aku sibuk memilih pakaian formal mana ya ... yang bagus untuk kukenakan hari ini? hmmm ...
Aku coba semua pakaian formal dari kemeja hingga blazer ... hingga di atas ranjang penuh dengan pakaian-pakaianku yang sudah kucoba.
Pada akhirnya pilihan jatuh di blazer kotak-kotak berbahan wol dan rok plisket berwarna coklat lengkap dengan handbag berwarna senada dengan rok, sepatu boot berwarna cream. Aku mematut diri di cermin, mmmh ... not bad.
"Mau diantar Papa Neng ...?" tanya Mama.
"Enggak Usah Ma, aku pergi sendiri aja pakai Si Skuter andalanku." Sahutku.
"Baiklah ... Neng Liona cantik, sarapan dulu biar enggak gemeteran pas ditanya nanti hehe ..." titah Mama sambil menggodaku.
Emak ... emak satu ini emang suka bercanda, dan sebagai emak ... emak Mamaku ini termasuk emak gaul. Dia selalu aja tahu yang lagi trending topik.
Skuter andalan kupanaskan dulu supaya lancar mengantarku sampai tempat tujuan tanpa hambatan yang berarti.
Bismillah...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments