NONA DIANDRA
"Tuhan, apakah kau tau dimana saat ini Ayah ku berada?"
"Tuhan apakah yang selalu ibu ku katakan itu adalah benar?"
"Apakah benar jika ayah betul - betul sudah meninggal seperti apa yang diceritakan oleh ibu, lalu kenapa ibu tidak pernah memberitahukan dimana makam ayah?"
Pagi ini seperti biasa seseorang gadis berusia dua puluh satu tahun sedang mengatakan hal tersebut di depan cermin kesayangan nya.
Setiap pagi sebelum berangkat ke tempat bekerja Diandra selalu mengatakan hal tersebut di depan cermin.
Sang Ibu yang selama ini selalu mengatakan bahwa ayah nya sudah meninggal namun sang ibu yang tidak dapat menunjukkan makam sang ayah membuat Diandra dari masa kecilnya selalu bertanya apakah yang dikatakan oleh ibu nya itu adalah sebuah kebenaran.
"Diandra, Diandra ayo nak sarapan dulu, nanti kamu bisa terlambat."
Seketika lamunan Diandra langsung pudar ketika Diandra mendengar satu suara wanita paruh baya yang berteriak dan juga mengetuk pintu kamarnya.
"Ya bu, Diandra segera menuju ke meja makan untuk sarapan."
"Baiklah nak, ibu dan kakek menunggu mu."
Diandra yang tidak ingin membuat sang ibu khawatir karena sejak tadi belum keluar kamar, segera mengambil tas, dan kunci motornya yang masih berada di atas tempat tidur.
"Nak ayo sini."
Sesampainya di meja makan sang ibu segera meminta Diandra duduk di sampingnya dan langsung memberikan nasi goreng yang sudah di siapkan di atas meja khusus untuk Diandra.
"Anak ibu harus makan yang banyak, agar nanti bekerja nya semangat."
"Bu, Diandra bukan anak kecil lagi, Diandra tau bu."
Diandra mengatakan hal tersebut sambil mencoba untuk menyingkirkan tangan ibu yang mulai membelai puncak kepalanya.
"Nduk apa yang dikatakan oleh Diandra itu benar, dia bukan anak kecil lagi."
Sang kakek yang sejak tadi memperhatikan langsung mengatakan hal tersebut ketika melihat tingkah ibu Diandra yang sejak dulu tidak pernah berubah dalam memperlakukan Diandra.
"Pak, bagiku Diandra tetap masih kecil, usianya baru dua pulu satu tahun, namun dia sudah menjadi tulang punggung untuk kita semua."
Ibu Diandra langsung mengatakan hal tersebut sambil memandang iba ke arah Diandra.
"Seharusnya anak seusianya saat ini sedang menempuh perkuliahan seperti teman - teman nya yang lain, tapi sekarang dia malah bekerja untuk ibunya yang berpenyakitan seperti aku."
Deg
Perkataan ibu langsung membuat Diandra meletakkan sendok makan dan berhenti untuk mengunyah makanan yang saat ini masih berada di dalam mulutnya.
"Bu, sudah berapa kali Diandra katakan, Diandra mohon untuk ibu tidak mengatakan hal itu lagi, bagi Diandra ibu dan kakek adalah harta paling berharga yang Diandra miliki saat ini."
"Mungkin apa yang dikatakan oleh ibu benar, seharusnya Diandra bisa untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi, namun itu bisa Diandra lakukan nanti bu, buat apa Diandra melakukan itu semua, namun jika pada akhirnya melihat ibu sakit? melihat kakek sakit?"
"Sungguh Diandra tidak akan pernah bisa memaafkan diri Diandra sendiri jika itu benar - benar terjadi di hadapan Diandra."
"Diandra yakin, meskipun Diandra hanya lulusan SMA, namun Diandra yakin berkat yang Diandra terima tidak akan pernah sedikit."
"Karena ukuran berkat yang di terima bukan karena siapa diri kita, bukan karena latar belakang pendidikan kita atau karena apapun, namun berkat yang kita terima berdasarkan bagaimana kita menggelola titipan Tuhan itu dengan baik, jadi ibu dan kakek tidak perlu khawatir dengan masa depan Diandra."
"Diandra akan selalu percaya bahwa Tuhan tidak akan pernah melupakan Diandra, dan bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan Diandra."
Seperti biasa ucapan Diandra yang teduh selalu membuat Ibu dan kakek menjadi tersenyum, sejak dulu pantang untuk Diandra menangis di depan ke dua orang yang paling Diandra sayang.
Diandra akan selalu terlihat ceria, Diandra akan selalu tersenyum dan memberikan penguatan untuk ke dua orang yang paling Diandra cintai tersebut.
"Bu, kek Diandra berangkat bekerja dulu yah."
Selesai mengatakan hal tersebut Diandra segera bangkit dari tempat duduknya, mencium tangan sang ibu dan juga mencium tangan sang kakek.
Semakin lama, punggung Diandra pada akhirnya tidak terlihat dari hadapan ibu dan kakek yang saat ini masih berada di meja makan.
"Nduk, sampai kapan kamu tidak akan mengatakan kebenaran ini kepada putri mu?"
Laki - laki paruh baya yang memiliki tatapan wajah sendu pada akhirnya berani mengatakan hal tersebut kepada putri kecilnya yang kini sudah ikut menua bersama dengannya.
"Pak, Manda belum siap mengatakan kebenaran yang sebenarnya terjadi di masa lalu, jika perlu Manda tidak ingin mengatakan hal apapun terhadap Diandra."
Tatapan sendu seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik, tatapan wanita dengan sejuta kenangan di masa lalu yang sampai saat ini masih belum berani mengatakan hal sebenarnya yang sudah terjadi.
"Tapi nduk, bagaimana pun juga ini merupakan hal yang tidak adil bagi Diandra jika dia tidak mengetahui cerita yang sebenarnya di masa lalu."
"Diandra sudah dewasa nduk, bapak yakin Diandra akan menerima nya dengan baik."
"Tidak pak, Manda belum siap untuk mengatakan kebenaran itu.'
Dengan kuat Amanda Joyodiningrat mengatakan hal tersebut kepada ayahnya.
"Tapi nduk bagaimana jika ini pada akhirnya malah menjadi hal yang negatif untuk Diandra? ketika pada akhirnya dia malah mengetahui semua kebenaran dari orang lain bukan dari keluarganya sendiri?"
Tatapan tajam mata pak Surjono memberikan isyarat kepada Amanda untuk Amanda bisa menceritakan kebenaran yang sesungguhnya kepada Diandra.
"Tidak akan pernah menjadi dampak yang negatif bagi Diandra pak, selama ini Amanda bisa menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk Diandra, dan itu akan terus terjadi sampai tiba saatnya Manda kembali kepada Tuhan."
Hati Amanda yang keras pada akhirnya hanya bisa membuat pak Surjono menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah nduk kalau memang ini sudah menjadi keputusan mu, yang penting bapak sudah mencoba untuk mengingatkan mu, karena bagaimanapun juga sosok seorang ayah bagi anak perempuan itu sangat penting, dan tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan sosok ayah kandung tersebut."
Setelah mengatakan hal tersebut pak Surjono pada akhirnya meninggalkan meja makan dan masuk ke dalam kamarnya.
Kini hanya tinggal Amanda yang masih berada di sana, dengan perlahan ke dua tangannya mengepal dan air matanya mulai mengalir.
"Mas Giandra, kenapa sampai saat ini kau tidak pernah mencari keberadaan ku? apakah bagi mu kami ini sudah tidak penting lagi?"
"Bertahun - tahun aku mencoba menghubungi mu, memberikan kabar kepada mu bahwa kini kau telah memiliki seorang putri yang cantik, namun kau sama sekali tidak pernah menjemput ku untuk kembali, salahkah aku jika pada akhirnya aku memilih untuk tidak menceritakan tentang mu kepada Diandra?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments