Satria yang dadanya saat itu masih berdebar saat berjalan mendekati Melisa, perlahan menghentikan langkah kakinya. Ia seperti tersadar akan sesuatu. Ia pun membalikkan langkahnya menuju meja ketua kelas dan meminta ijin untuk pergi ke toilet.
Setelah mendapat ijin dari ketua kelas, Satria bergegas pergi menuju toilet. Di sana ia membasuh wajahnya dengan air di wastafel. Lalu ia memandangi dirinya di dalam cermin.
"aku di sini untuk belajar, aku harus buktikan bahwa aku layak mendapat beasiswa ini. Tak ada waktu untuk jatuh cinta," Satria meyakinkan dirinya.
Setelah jantungnya kembali berdetak normal ia pun kembali ke kelas. Kali ini ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ke arah dimana Melisa tidak terlihat. Setelah sampai di tempatnya, ia kembali menenangkan diri. Nyatanya jantungnya kembali berdetak hebat saat merasakan kehadiran Melisa.
"dari mana?" tanya Melisa, membuat Satria yang sedang melamun seketika kaget.
"hah?"
"dari mana?" ulang Melisa.
"eh... itu, eh... dari toilet," jawab Satria terbata.
Melisa melihat gelagat yang aneh dari Satria. "kau menyembunyikan sesuatu?" tanya Melisa.
Satria hanya menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"hmmm... kau mencurigakan," Melisa menyunggingkan senyuman kepada Satria.
Satria yang melihat itu semakin merasa berdebar. Keringat mengucur dari keningnya. Ia terlihat sangat gugup.
Melisa pun tak tinggal diam, ia yang melihat Satria sangat gugup, datang mendekat. Sangat dekat. Tangan kanannya ditopang di atas meja, dan tangan kirinya di atas sandaran kursi.
"kamu kenapa?" tanya Melisa penuh selidik.
Lagi-lagi Satria tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya dengan cepat, berusaha mengalihkan pandangannya dari Melisa.
Melisa tertawa kecil, melihat Satria yang gelagapan membuat Melisa merasa tertarik.
Merasa dirinya ditertawakan, Satria melihat ke arah Melisa. Ia menatap mata gadis itu. Melisa pun melakukan hal yang sama. Kini mereka berdua saling menatap. Melisa berhenti tertawa. Melihat serius ke arah Satria.
"menarik," ucap Melisa.
Satria tak mengerti maksud Melisa, ia mencoba mencari jawaban dari tatapan Melisa.
"kau benar-benar jatuh cinta padaku?" Melisa berbisik di telinga Satria.
Satria tak merespon, ia seperti terpaku oleh perkataan Melisa. Melisa kembali tertawa kecil dan kali ini ia kembali ke tempat duduknya. tangan kanannya menopang kepalanya di atas meja. Ia melihat Satria sambil tersenyum. Jari-jari ditangan kirinya mengetuk-ngetuk meja. Memainkannya menjadi seperti irama tapak kuda yang berlari.
Satria hanya melirik sekilas, lalu berusaha menghindari tatapan Melisa. Ia mengalihkan perhatiannya dengan membereskan buku-buku dan alat tulisnya, memasukkannya ke dalam tas.
Tak lama bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Satria merasa lega, ia buru-buru bangun dari duduknya dan ingin bergegas pergi. Namun langkahnya terhenti, Melisa ternyata sudah lebih dulu bangun dari duduknya dan mencegat Satria.
"mau pulang bareng?" tanya Melisa.
"engga," jawab Satria. Ia pun menggeser tubuh Melisa ke sampingnya, membuka jalan untuk dirinya agar bisa segera keluar dari situasi ini.
Melisa hanya tersenyum melihat kepergian Satria. Ia merasa sangat tertarik dengan Satria. Sejatinya, baru kali ini ia benar-benar berinteraksi dengan seorang murid di sekolahnya. Biasanya dia hanya diam, tak peduli, dan hanya jadi penonton saat ada orang yang berusaha mengajaknya bicara. Ia jarang membalas lawan bicaranya dengan kata-kata, biasanya ia hanya melihatnya dengan tatapan tajam. Tatapan yang seolah ingin mengatakan, aku tak mau bicara, pergi sana.
Dion yang sedari tadi memperhatikan Melisa dan Satria terlihat sangat serius. "kamu mau membangunkan putri tidur, atau mau mencairkan putri salju?" tanya Dion dalam hati.
...***...
Melisa sudah sampai di kediamannya. Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. mengingat kejadian sebelum pulang sekolah tadi. Saat di jalan, Melisa melihat Satria berjalan menuju halte bus. Ia menepikan mobilnya, menatap Satria dari kejauhan. Hingga laki-laki itu hilang dalam pandangan setelah menaiki bus yang dituju.
"menarik," Melisa tersenyum menatap langit-langit kamarnya.
...***...
Di tempat Lain, Satria yang baru sampai di rumah memberi salam kepada ibunya yang sedang melayani pelanggan. Ia bergegas masuk dan mengganti pakaian sekolahnya. Adiknya Rian berlari kecil menghampirinya.
"gimana kak sekolahnya?" tanya Rian penuh antusias.
"ini hari pertamaku, aku belum melihat perbedaannya dengan sekolah lain. Hanya saja, di dalamnya terdapat banyak anak-anak orang kaya yang tak jarang ku temui di sekolah sebelumnya. Mereka memiliki pakaian, sepatu, tas, juga telepon genggam yang bagus-bagus." Jelas Satria kepada adik tercintanya itu.
Rian hanya mengangguk-angguk, membayangkan suasana sekolah kakaknya itu.
"kau tau? selama di sekolah aku tak berani mengeluarkan gawai milikku," Satria tersenyum pahit. Baru kali ini dirinya merasa minder dengan teman-teman sekelasnya. Dulu, saat bersekolah di sekolah negeri, ia tak merasa minder sama sekali. Meski banyak juga teman-temannya yang sudah memiliki gawai model terbaru, tapi banyak juga yang memiliki gawai model lama.
Gawai milik Satria tak hanya ketinggalan jaman, layarnya pun sudah retak di bagian ujungnya. Satria menatap lekat gawai miliknya, mengingat kembali dengan gawai milik Melisa yang tadi sempat ia pegang. Ia menarik nafas panjang, dan menghembuskanya dengan kasar. Kemudian pergi meninggalkan Rian yang menatap sedih ke arah kakaknya itu.
"kakak mau pakai punyaku saja?" tanya Rian, berlari mengejar kakaknya yang menuju halaman belakang rumah.
"kan sama aja punyamu juga jadul," Satria tersenyum, mengacak-acak rambut Rian.
"paling engga, ya ga retak layarnya," Rian mengeluarkan gawai miliknya, dan menyodorkannya ke arah Satria.
"ga perlu, kakak kan dapat uang saku, nanti kakak kumpulin sedikit-sedikit buat beli yang lebih bagus," Satria kembali tersenyum, mendorong gawai milik adiknya itu, dan pergi meninggalkannya.
Rian tak memaksa mau memaksa Satria, ia tau kakaknya tak akan mau bertukar gawai dengannya. Ia berdiri termenung melihat kakaknya yang sudah berada di halaman belakang, mengangkat baju-baju yang sedang di jemur.
Tadi pagi hujan sangat deras, dan lagi ini hari pertamanya ia masuk di sekolah barunya, jadi ia tak sempat membantu ibunya menjemur pakaian seperti biasa. Sebagai gantinya ia akan menggantikan tugas ibunya menyetrika baju-baju yang sudah menumpuk di keranjang.
Semenjak pindahan, ibunya tak sempat mengurus pakaian untuk disetrika. Banyak hal yang harus dikerjakan ibunya, ditambah ibunya juga masih ingin berjualan. Jadi ibu lebih sibuk bulak balik ke pasar seorang diri. Sementara Satria dan Rian berbenah membereskan barang-barang untuk ditata di tempatnya.
Saat sedang melipat pakaian, pikiran Satria menerawang mengingat peristiwa di sekolah tadi. Mengingat kembali kata-kata Melisa, suaranya, wajahnya, bentuk tubuhnya, tatapan matanya, senyumnya, dan semua itu membuat Satria berdebar.
"Melisa..." ia membisikkan nama Melisa. Lalu sesaat ia menepis pikirannya. Kembali fokus pada baju-baju yang akan disetrikanya.
Satria kembali meyakinkan hatinya, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk jatuh cinta. Ia harus berjuang dan belajar dengan giat, agar bisa lulus dengan hasil yang bagus, dan mendapat beasiswa lanjutan ke perguruan tinggi tanpa harus menambah beban keluarganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 201 Episodes
Comments
Dehan
penjahit cantik mampir kembali
2022-07-20
1
Dehan
semangat satria!
2022-07-20
1
Pujiati
Saling dukung ya kakak. Mampir juga di Ujian Kesetiaan ya kak
Terimakasih
2022-05-28
1