“Ya, halo ...” sapa Grace terlebih dahulu setelah ia menempelkan ponsel ke telinganya.
“Apa benar ini nomor manajernya Zara?” tanya suara pria dari seberang.
“Betul, ini siapa?”
“Nama saya Rayyan, Kak. Orang yang tadi mengantarkan Zara ke rumah sebelum Anda datang menjemput. Zara pasti tahu itu,” jelas Rayyan dengan gamblang agar tak sampai terjadi kesalahpahaman, “apa saya bisa bicara dengan Zara?”
“Bisa, ini orangnya ada di dekat saya,” jawab Grace.
“Ya, benar. Rayyan orang yang nganterin aku tadi,” bisik Zara menambah keyakinan Grace yang ditanggapi dengan anggukkan kepala.
“Bicaralah kamu dengannya,” ujar Grace menyodorkan ponselnya.
“Ray?” ujar Zara menyapanya terlebih dahulu, “makasih karena sudah mau mengamankan ponselku. Apa besok kita ketemu?”
“Bisa. Mau bertemu di mana? Jam berapa?”
“Terserah kamu saja. Kebetulan jadwalku besok nggak terlalu padat. Tapi sebelumnya aku minta maaf karena lagi-lagi aku merepotkanmu.”
“Nggak papa, besok aku share lokasinya.”
Usai panggilan ditutup, Zara tersenyum kepada Grace, “Dia sangat tampan. Biar aku saja yang menemuinya.”
Grace memutar bola matanya dan memeleotkan bibirnya. Tidak biasa-biasanya Zara memuji seorang laki-laki. Selama ini dia memang di dekati oleh banyak pria, baik yang sungguh-sungguh atau hanya panjat sosial terhadapnya. Tetapi tidak pernah ditanggapi karena takut diajak serius. Sebab kontrak kerja selama ini melarangnya untuk menikah, kecuali berpacaran. Terakhir kali ia berpacaran, itu tiga tahun yang lalu sebelum masuk ke dalam manajemen artis sekarang yang sedang menaungi namanya.
“Siapa tahu jodoh, iya, kan?” Sesungguhnya Zara tidak sedang bersungguh-sungguh, ia hanya sedang bercanda saja. Tapi siapa sangka malah mendapat ceramah dari Grace yang melarang dirinya untuk tak mudah jatuh cinta.
“Jangan baper dan jangan gampang naruh hati sama laki-laki. Pastikan dulu, ada yang punya atau enggak? Biar nggak kecewa nantinya. Kamu juga sebagai publik figur harus ekstra hati-hati, takutnya dituduh jadi pelakor,” papar Grace panjang lebar, “jaga ucapan, jaga wibawa dan tindak-tanduk kamu biar nggak timbul prasangka. Dunia entertain sangat rentan, kita harus pandai-pandai dalam berucap biar nggak muncul gosip yang aneh-aneh lagi.”
Bagai kerbau yang di cucuk hidungnya, Zara pun mengangguk dan menuruti semua perkataan manajernya, karena hanya dialah orang yang paling Zara percaya saat ini.
Keesokan harinya, Zara pun menuju ke lokasi tempat yang Rayyan janjikan. Yakni di sebuah Cafe strategis yang terletak di seberang SPBU persis. Dan dia menemukan pria itu berada di sana bersama ketiga orang temannya. Kemungkinan, mereka sedang mengadakan diskusi atau rapat.
Kedatangannya pun menjadi pusat perhatian. Dialah orang paling bening di antara perempuan-perempuan lain—terlebih dengan statusnya. Sehingga orang-orang yang di dekat Rayyan pun ikut menoleh memandangnya. Berikut dengan Rayyan juga, tetapi pria itu hanya tersenyum sekilas dan tampak tak terlalu peduli. Ya, hanya dia satu-satunya pria yang mengabaikannya di saat semua orang mengagumi parasnya, termasuk perempuan sekalipun!
“Sepertinya dia punya kelainan,” gumam Zara yang kelak malah membuatnya semakin penasaran dengan sosok ini.
Tak ingin mengganggu aktivitas mereka, Zara terpaksa duduk menunggu sembari memesan kopi sendiri. Sesekali ia menerima orang yang mendekat dan meminta berfoto dengannya.
‘Di sosial media saja kalian bar-bar. Tapi kalau ketemu begini kalian ajak aku foto bareng. Dasar Detergen!’ maki Zara dalam hatinya. Namun demikian, dia tetap bersabar dan ramah saat menghadapi mereka. Lantaran tak ingin dicap sebagai artis yang sombong. Netizen selalu benar dan tak mau mengerti atau memaklumi sisi kemanusiaannya.
Beberapa saat kemudian, setelah rekan-rekan Rayyan pergi, Rayyan mendekatinya dan memberikan ponselnya yang ia tinggalkan kemarin, “Maaf membuatmu terlalu lama menunggu.”
Zara mendongak dan menjawab setelah ia menerima ponselnya, “Nggak papa.”
“Sama-sama, Kak. Kalau begitu saya pergi dulu,” ujar Rayyan tak bisa berlama-lama melayangkan pandang ke depan karena takut naluri kelelakiannya bangkit melihat bahu putih dan mulus terbuka. Sebab model atasan yang Zara kenakan, cukup mengekspos bagian bahunya. Terlebih, tubuh Zara sangat padat dan berisi. Itu cukup menambah poin lebih. Okelah, pakaian ini akan berbeda jika yang mengenakan hanyalah orang biasa, batin Rayyan memuji gadis tersebut. Seumur-umur, baru kali ini dia melihat keindahan seperti ini secara langsung. Semua wanita yang pernah ia kenal, tidak ada yang seindah dia.
“Ya, sekali lagi terima kasih,” kata Zara sekali lagi, “tapi, apa semalam ada telepon masuk ke sini?”
“Sepertinya ada, tapi aku biarkan karena barang itu bukan milikku.”
‘Ya ampun, hanya seperti itu saja responmu?’
Zara beranjak berdiri dan menjawab, “Ok. Aku juga mau langsung cabut.”
Rayyan mengangguk. Dia mempersilakan Zara untuk keluar dulu sebelum dirinya sendiri yang juga hendak menuju ke mobilnya sendiri.
Namun sebelum ia benar-benar masuk, di depan mobil, ia melihat Zara langsung dikerubungi oleh banyak orang yang meminta foto secara kasar sampai mendorong-dorong tubuhnya. Zara juga sempat berteriak karena ada orang yang hampir kurang ajar terhadapnya.
Rayyan yang melihat itu sontak berlari mendekat dan membantu menyingkirkan tubuh-tubuh manusia tidak tahu diri tersebut—dan refleks menarik tangan Zara masuk ke dalam mobilnya yang posisinya jauh lebih dekat. Entah apa yang mendorongnya untuk melakukan hal demikian. Rasa khawatirnya timbul begitu saja.
Di dalam mobil, Rayyan melihat mata Zara berkaca-kaca karena terlalu syok diperlakukan seperti itu oleh orang tak dikenal.
“Kenapa kamu selalu bepergian sendiri?” tanya Rayyan menoleh ke samping, “setidaknya kamu membawa seorang sopir, minimal untuk melindungimu jika terjadi seperti ini lagi.
“Aku yang minta untuk pergi sendiri.”
Bukan tidak mampu membayar, Zara memang malas untuk menggunakan jasa sopir lagi. Sebab dia bisa pulang sewaktu-waktu dan jamnya pun tak menentu. Dia sudah berkali-kali memperkerjakan sopir dan rata-rata, tak bisa bekerja pada dirinya lebih lama. Zara takut orang lain mengira dia adalah majikan yang kejam atau semacamnya. Dan apabila bepergian jauh ke luar kota, Zara sudah terbiasa menggunakan kendaraan umum. Gadis ini sudah terbiasa mandiri sejak kecil oleh karena keadaan yang memaksakannya.
“Untuk menghindari kejadian seperti tadi, aku akan mengantarmu pulang terlebih dahulu. Nanti kamu bisa menyuruh orang untuk mengambil mobilmu,” kata Rayyan akhirnya memutuskan demi kebaikan gadis ini.
Zara mengangguk. Dia menunduk dan memejamkan matanya karena merasa sangat malu dan tentu saja tidak enak karena lagi-lagi harus menjadi kerepotan satu orang di sampingnya. Beberapa saat kemudian, dia merasakan rasa hangat di tubuhnya. Selembar jaket menutupi dari bahunya ke bagian bawah. Zara mengetahuinya setelah dia sedikit mendongak dan membuka matanya.
“Itu jaketku. Bawalah dan kamu pakai sampai kamu masuk ke dalam rumah,” ujar Rayyan setelah menangkap tatap penuh tanya Zara kepadanya, “kalau belum bisa menutup aurat dengan sempurna, setidaknya pakailah baju yang lebih sopan lagi agar tak mengundang syahwat setiap laki-laki yang melihatnya.”
“Apa termasuk kamu juga?” Zara menyeletuk.
“Sudah kubilang tadi, setiap laki-laki,” jawab Rayyan memperjelas kalimatnya sendiri.
“Syukurlah, berarti kamu normal,” Zara tersenyum, “maaf aku hanya bercanda....”
“Yang kurang normal itu manajermu.”
Zara semakin terkekeh, “Ya, dia memang agak belok. Mohon dimaklumi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
Siti Sarfiah
coba pake baju yg pantas d lihat
2022-06-04
0
FASAD
bener kata grace jangan gampang baper jangan gampang menaruh hati pastikan dulu dia uda ada yg punya apa belom
2022-05-25
0
Nety
syukurlah kamu masih normal
😂😂😂😂😂mau nyoba zar
2022-05-25
0