Bab 4. Ujian?

..."Tunjukkan padaku. Apakah kau pantas bersanding dengan putriku? Anak dari mafia kelas dunia, Amo Rakessa."...

POV: Arno

Tantangan dari Amo membuatku lebih bersemangat. Entahlah, aku juga tidak tau kenapa aku merasakan hal seperti ini. Apakah ini perasaan bersemangat karena memasuki dunia yang asing bagiku? Atau karena memang aku saja yang nyaman dengan perasaan dunia ini?

Apapun itu, aku tidak ingin mundur sekarang.

Dash!

Aku berlari maju sambil memperhatikan posisi Amo, dia sudah melemparkan senjatanya. Sekarang dia hanya berdiri dengan tangan kosong.

Tap!

Aku melompat sambil berlari, di udara aku memutar badanku untuk memperkuat dampak dari tendangan yang akan kulancarkan.

Duagh!

"Tck!" Aku berdecak kesal saat ini tak berjalan sesuai yang kuharapkan. Pasti karena aku sudah jarang berolahraga, tendanganku sangat lemah.

"Nice try, tapi harusnya kau menendang dengan lebih kuat," ucap Amo sambil menahan tendanganku dengan tangan kanannya.

Saat menatap mataku, dia menyeringai.

"Harusnya seperti ini."

BUAGH!

Sebuah tendangan lurus langsung mendarat di daguku. Bahkan tanpa ancang-ancang yang sempurna, kekuatan serangannya sudah sebesar ini. Bagaimana jika dia menguasai tendangan berputar yang tadi kulakukan? Mungkin aku sudah gegar otak.

Bruk!

Aku duduk terjatuh, daguku terasa nyeri dan perih. Aku menutup mataku sejenak sambil mengusap daguku yang terluka.

Wush!

Aku tersentak kaget saat melihat Amo sudah berada di depanku, dia sudah siap melayangkan sebuah bogem tepat ke arah wajahku.

Apakah aku harus menahannya? Bagaimana jika kakiku patah? Apa yang harus kulakukan?!

Tentu saja menghindar dasar bodoh!

Aku langsung menunduk sambil melindungi bagian belakang kepala. Saat tinju Amo sudah meleset, aku menggunakan tanganku sebagai tumpuan dan langsung melayangkan tendangan dengan tumit kakiku di depan wajahnya.

Buagh!

"Kau cerdik juga, tapi ini masih kurang," ucap Amo sambil menahan tumit kakiku yang hendak mendarat di wajahnya.

BUAGH!

Dia memegang kakiku dan melayangkan tendangan ke arah pinggangku.

"Argh!" ucapku menahan rasa sakit. Aku langsung mencoba sadar kembali, dan menangkan kaki Amo di depan wajahku.

Greb!

"Hah? Itu tidak akan berguna," ucap Amo lalu mengibaskan kakinya. Bersamaan dengan itu, dia melepaskan genggamannya di kakiku, jadi aku langsung terhempas dan terseret di tanah hutan yang kasar dan penuh semak belukar.

"Sial ... ini lumayan perih," gumamku pelan sambil melihat kulit lenganku yang sudah mulai mengeluarkan darah. Aku menatap Amo yang masih berdiri kokoh, menatapku dengan sorot mata yang meremehkan.

Aku langsung mencoba berdiri lagi, dan bersiap untuk menyerang.

Aku tau, cara yang sama tidak akan bekerja dua kali.

Dash!

Aku melesat maju sekali lagi, sambil berlari, aku membuka kancing kemeja yang sedang kupakai.

Srak!

Tepat di depan wajahnya, aku melemparkan kemejaku. Kakiku mencoba berhenti dan menapak tepat di atas tanah hutan itu. Mencari posisi dan ancang-ancang yang tepat untuk melayangkan tendangan.

Buagh!

Tendanganku tidak berhasil lagi, meskipun aku sudah menutup pandangan Amo, dia malah bersiaga dengan kedua tangan yang melindungi sisi kepalanya.

"Seranganmu terlalu mudah ditebak, kau tidak punya serangan yang lebih variatif ya?" tanya Amo saat kemejaku sudah hilang dari hadapannya. Aku hanya tersenyum miring dengan posisi kakiku masih di sebelah kepala Amo.

"Kau benar, karena aku hanya belajar bertarung dengan kaki, aku tidak punya kombinasi dengan tangan," ucapku sambil bersiap menendang sekali lagi dengan kaki satunya.

"Kau tau itu tidak akan berguna, kan?" ucap Amo sambil bersiap menahan tendanganku. Aku tersenyum kecil melihat Amo yang termakan jebakanku.

DUAGH!

Aku membenturkan kepalaku tepat ke dahi Amo. Meskipun sekarang kepalaku berdenyut sakit, tapi syaratnya sudah cukup. Aku hanya perlu melancarkan serangan satu kali kan?

Cklik.

Aku terdiam kaku saat seorang pria menodongkan pistol ke keningku.

"Berani-beraninya kau melukai bos?" ucapnya dengan nada dingin. Aku hanya diam dan memperhatikannya. Sesekali kulirik ke arah Amo yang masih mengusap dahinya pelan.

"Hentikan. Kalian mengotori pertarungan ini, aku sudah kalah. Ini faktanya," ucap Amo lalu segera berdiri. Dia membersihkan tangannya dengan sapu tangan yang diberikan oleh bawahannya.

"Bawa dia ke markas." Amo menatapku tajam. Dalam hitungan detik, beberapa orang langsung menggotongku dan membawaku masuk ke dalam mobil.

***

I-ini serius markas mereka?

...

Bukankah ini terlalu mewah?

Kukira mereka tinggal di sebuah bunker bawah tanah yang suram dan lembab. Layaknya seorang kriminal.

Tapi ini ... lebih cocok disebut mansion megah daripada bunker.

Ini sangat mewah dan megah.

Aku hanya terdiam melamun saat menatap mansion yang megah layaknya istana raja. Entah berapa banyak emas dan permata yang dibuat sebagai hiasan di rumah ini. Cahayanya bahkan sangat terang seperti pasar malam.

"Turunlah," ucap Amo yang berada di depan pintu mobil. Aku segera membuka pintu dan turun.

"SELAMAT DATANG BOS!"

Ratusan pria maupun wanita dengan jas hitam, sudah berbaris rapi dan menundukkan kepala. Mereka membuka jalan di tengah barisan itu, seolah memberi jalan bagiku dan Amo.

Aku menelan ludahku gugup, lalu melirik ke arah Amo.

Deg!

Kenapa dia tersenyum miring?! Apa lagi yang dia rencanakan?!

"Ada satu hal yang mau aku katakan," ucap Amo tenang, tapi sangat berwibawa. Seluruh orang di sana langsung diam, tak ada satupun yang bergerak apalagi bersuara.

"Dia adalah pacar putriku," ucap Amo lagi. Meskipun tidak ada yang bersuara, tapi aku tetap merasakan malu hingga ke ujung kepalaku.

"Dia adalah orang biasa. Jadi ... dalam satu bulan ini, latihlah dia jadi mafia yang sebenarnya. Kalian boleh menggunakan metode apapun, bahkan jika dia terbunuh ... itu tidak masalah, selamat bersenang-senang." Setelah mengucapkan itu, Amo pergi sambil tertawa. Meninggalkanku berdiri kaku layaknya patung.

Jadi ... sekarang aku harus bertahan hidup di mansion ini ... satu bulan penuh?

DOR!

Belum selesai aku melamun, sebuah peluru melesat cepat, dan hampir mengenai kepalaku.

"Hehehehe, pelajaran pertama. Jangan sampai mati dalam minggu pertama ya," ucap seorang perempuan dengan rambut dikucir kuda. Dia memakai jas hitam, serta menggenggam pistol di tangan kanannya.

DUAR!

Tiba-tiba sebuah bom dilemparkan tepat di tengah barisan orang-orang berkas hitam itu.

"Siapa bilang ... kalian boleh menyentuh pacarku?"

Deg!

Suara ini, Varesa?!

Aku menoleh dengan cepat ke belakang, di sana ... berdiri Varesa yang siap untuk melempar bom yang selanjutnya.

"Aku tidak peduli apa perintah Daddy, tapi jika pacarku terluka sedikit saja. Kalian akan mampus di tanganku," ucap Varesa sambil menggerakkan tangannya dari kiri ke kanan.

"Ayo! Ikut aku, Arno!" Varesa langsung menarik tanganku, menjauhi kerumunan itu. Tak banyak dari mereka yang pingsan karena ledakan, dan mungkin juga ada yang mati.

...Yah, ini benar-benar dunia yang kejam. ...

TBC.

Jangan lupa likenya ya guys!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!