Bab 3. Pantaskah?!

...Apakah aku harus putus?...

POV: Arno

Cklek.

Brak!

"Terimakasih pak," ucapku sopan sambil memberikan uang. Aku langsung menuju ke kafe terdekat di daerah dekat kampus. Sesampainya di sana, aku memesan minuman lebih dulu dan memilih untuk duduk menunggu.

Tak lupa aku memberi pesan pada Varesa agar dia menemuiku di samping kampus. Tapi, ada yang aneh.

"Apa nomornya ganti?" tanyaku pada diri sendiri. Pesan itu tidak terkirim, nomor Varesa seperti hilang dari muka bumi. Tak menyerah begitu saja, aku langsung mencoba menelponnya.

Tuut tuut tuut.

Tidak tersambung. Aku menatap kampus kami dengan tatapan cemas. Setelah berpikir lebih dalam, aku memutuskan untuk pergi ke gedung fakultas Varesa.

"Kalau tidak salah, dia mengambil jurusan psikologi," gumamku pelan sambil berjalan. Aku masih melihat ke kiri dan kanan, mencoba mencari petunjuk di sekitar sini.

"Permisi! Apakah kalian tau ...," ucapku yang bertanya pada beberapa orang. Tapi jawaban mereka sama, tidak ada yang mengenal Varesa. Tak peduli berapa banyak orang yang aku tanyai, jawaban mereka sama.

Tidak ada mahasiswa yang bernama Varesa Madea.

4 jam aku mencari tanpa henti, akhirnya aku menyerah dan duduk di bawah pohon dekat kampus. Aku mengusap kepalaku dengan frustasi, bahkan beberapa umpatan aku lontarkan dalam hati.

Meskipun 3 tahun kami berpacaran, tapi aku tidak tau dimana dia tinggal. Selama ini kami bertemu hanya di luar kampus, kafe, dan beberapa tempat wisata. Aku juga tidak pernah mengajaknya ke rumahku, karena aku sendiri juga tidak pernah punya waktu.

Srak!

Sebuah amplop jatuh tepat di depanku. Dengan cepat aku mengambil amplop itu dan mencari dimana orang yang menjatuhkannya. Karena banyak orang yang berlalu-lalang, aku tidak tau mana yang pasti.

Akhirnya aku memilih untuk menaruh amplop itu kembali ke tempatnya.

"Aku tidak mau terlibat dengan hal yang berurusan dengan privasi orang lain, aku biarkan saja di sini," gumamku sambil menaruh amplop itu.

Plak!

Tiba-tiba ada seorang pria dengan jaket dan kacamata hitam datang, dia langsung menepuk tanganku cukup keras.

"Apa kau bodoh atau bodoh? Amplop itu untukmu! Buka!" ucapnya geram sambil menyodorkan amplop itu padaku. Aku jadi menatapnya dengan takut, apa dia salah satu penggemar priaku?

"Aku tidak tega melihat nona seperti itu, hanya kau yang mampu membuatnya kembali seperti semula. Kalau kau memang laki-laki, jadilah seorang yang pemberani, jangan jadi pengecut dan memilih lari," ucapnya lalu berlalu pergi. Aku bahkan tak sempat berbicara satu kata apapun. Akhirnya aku hanya diam lalu memungut amplop itu.

Kreeek!

###

Aku menyobek amplopnya, di dalamnya terdapat surat.

Kalau kau ingin tau dimana keberadaan Varesa. Datanglah ke area Selatan kota ini.

Ini tidak akan mudah, tapi jangan menyerah.

~X

Setelah membaca surat itu, sebuah mobil hitam langsung menerobos kerumunan dan berhenti di depanku. Kaca mobil pengemudinya turun, menampilkan salah satu bodyguard yang aku lihat kemarin malam. Benar, dia adalah bodyguard yang memukulku kemarin.

"Naik." Tegas dan dingin. Aku langsung memantapkan hatiku dan berjalan mendekati mobilnya.

Klak!

...

Klak! Klak!

"Permisi, buka pintunya gimana ya?" tanyaku dengan nada canggung. Pria itu hanya diam sambil menatapku malas.

"Duduk di sampingku saja," ucapnya dengan ekspresi datar.

***

Sepanjang perjalanan, aku duduk diam dengan tangan yang berkeringat. Kami sudah sangat jauh dari pusat kota, ini hampir seperti di pedalaman hutan.

Walaupun jalanannya masih beraspal, tapi di sini tak ada pencahayaan sama sekali. Aku yakin saat malam pasti tidak ada yang berani lewat sini.

"Apakah ... masih lama?" tanyaku tanpa menoleh ke arah pria tadi. Sudah 3 jam aku berada di dalam mobil ini. Dan lebih dari 2 jam aku hanya melihat hutan dan pepohonan. Entah berapa lama lagi kita akan sampai di tempat tujuan.

"Masih cukup lama, kita harus menghindari rute pengeboman," ucapnya dengan nada datar. Aku terdiam saat mendengar sebuah kata yang aneh dari mulutnya.

"Pengeboman?" tanyaku dengan ekspresi shock.

"Harusnya aku tidak boleh membawamu kemari, tapi nona kami mengancam akan bunuh diri jika tidak bertemu denganmu," jelas pria itu lagi. Aku hanya diam melongo mendengar perkataannya.

Varesa sampai mengancam akan bunuh diri?

...

Dia masih sesuka itu padaku?

Kalau begini, apakah aku harus tetap menyerah?

Cklik.

"Hah?" Mataku menoleh dengan cepat ke arah suara itu. Badanku langsung membeku kaku saat melihat ujung pistol yang mengarah ke dahiku.

"Antarannya sampai di sini, berjuanglah." Dia melepaskan kacamatanya, menampilkan mata coklat yang menatapku dengan tajam. Secara insting, aku tau bahwa dia akan menarik pelatuk dari pistol ini.

Buagh!

Dengan cepat aku langsung meninju mata dan sendi sikunya. Aku tergesa-gesa melepaskan sabuk pengaman di tubuhku, sebelum dia memulihkan penglihatan dan sendinya, aku harus keluar dari mobil ini.

Cklak!

BRUGH!

Aku langsung menjatuhkan diriku dari mobil yang melaju kencang. Tentu saja aku tidak bebas dari luka. Rasanya sangat perih dan pusing. Bahkan bahu serta pinggangku seperti terkilir, untuk kugerakkan rasanya sangat sakit.

"Target ditemukan. Segera tembak!"

Crik!

Aku menajamkan indra pendengaranku. Seluruh tubuhku langsung merinding saat aku tau bahwa aku sudah dikepung. Ada begitu banyak orang dengan jas hitam dan pakaian aneh di sini. Mereka sudah siap menembakkan hujan peluru ke arahku.

"Wah, kalian benar-benar tidak membiarkanku istirahat sejenak ya? Bahuku sangat sakit, bisakah kalian beri obat?" tanyaku dengan senyuman di wajah. Mereka hanya diam dan memperhatikan.

DOR! DOR! DOR! DOR!

Aku langsung bangun dan berlari lurus ke arah hutan. Peluru itu terus menghujaniku tanpa henti, dengan jantung yang berdegup kencang, aku mengabaikan rasa sakit di bahu dan pinggangku.

Buagh!

Bruk!

Aku jatuh terbaring saat merasakan sesuatu menghantam kepalaku dari depan. Sekarang kepalaku ikut berdenyut-denyut karena rasa sakit, dan ini membuatku semakin pusing.

"Selamat datang, Arno."

Deg.

Ini adalah suara pria itu. Ayah Varesa.

Aku membuka mataku perlahan, mencoba duduk dari posisi yang masih terbaring. Dia sudah berdiri di depanku dengan knuckle yang terpasang di tangan kanan serta kirinya.

"Sepertinya kau belum putus ya? Apa kau tidak sayang nyawa?" tanyanya dengan senyuman yang mengerikan. Aku menelan ludahku gugup, dengan badan yang lemas, aku mencoba untuk berdiri.

"Anda benar, aku tidak bisa putus dengannya. Dia mencintaiku dengan mempertaruhkan nyawanya, bukankah aku harus melakukan hal yang serupa?" balasku sambil memasang kuda-kuda. Biarpun aku bukanlah seorang atlet maupun profesional, aku pernah belajar taekwondo saat aku SMP, dan SMA dulu.

"Kenapa kau jadi menggunakan bahasa yang sopan?" tanya pria itu dengan seringai khas miliknya. Aku hanya tersenyum lembut lalu menatap mata coklatnya yang mirip dengan milik Varesa.

"Bukankah aku harus sopan pada calon mertua?" balasku.

"Hahaha! Baiklah! Berikan satu pukulan padaku! Aku akan mempertimbangkanmu setelah itu!" tantangnya lalu memasang posisi menyerang.

..."Tunjukkan padaku. Apakah kau pantas bersanding dengan putriku? Anak dari mafia kelas dunia, Amo Rakessa."...

TBC.

Jangan lupa likenya ya guys!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!