..."Lepaskan dia, sebelum kutarik pelatuknya."...
POV: Arno
Aku melongo tidak percaya. Varesa menatap tajam tanpa gentar, tangannya terlihat sangat terbiasa dengan pistol.
Maksudku ... meskipun aku adalah pacarnya, tapi yang dia todong dengan pistol itu ayahnya loh?!
Pria yang disebut ayahnya itu hanya diam lalu tersenyum puas. Tangannya menyentuh ujung pistol Varesa lalu mengusapnya dengan pelan.
"That's my daughter, pretty cool," ucapnya dengan nada bangga. Dia segera berbalik lalu berjalan pergi. Saat sudah di depan pintu, dia berhenti sejenak lalu berbalik dan menatapku.
"Lepaskan saja dia, selama ada putriku, kalian tidak akan bisa menyentuhnya," ucap sang ayah dengan seringaian. Para bodyguard itu menunduk dan mengikuti langkahnya dari belakang. Dalam hitungan detik, ruangan ini akhirnya kosong. Kini tersisa aku dan Varesa di sini.
"Arno! Kau baik-baik saja?" Varesa langsung berlari ke arahku dengan tergesa-gesa. Dia memasukkan pistol itu ke dalam jas hitamnya.
Trak!
Akhirnya Varesa berhasil melepaskan tali yang mengikat tanganku. Aku meringis kesakitan saat merasakan perih di sekitar pipi dan pelipisku.
"Maaf," ucap Varesa. Aku menatapnya pelan, terlihat ekspresi cemas dan khawatir di raut wajahnya.
Tapi tetap saja, aku kecewa kenapa dia tidak memberitauku identitas aslinya? Bukankah 3 tahun adalah waktu yang cukup lama?
"Aku ... tidak tau harus berkata apa," ucapnya lagi lalu mengeluarkan salep dari balik jasnya lagi. Dia hendak menyentuh pergelangan tanganku yang lecet, tapi dengan cepat aku menarik tanganku.
"Aku ... butuh waktu untuk sendiri," ucapku lalu berdiri dan berjalan pergi. Jalanku sedikit sempoyongan karena ada rasa sakit dan pusing di kepalaku.
"Arno!" teriak Varesa dari belakang. Aku berhenti melangkah, hendak mendengar apa yang dia katakan.
"Kita ... jangan putus ya?" tanyanya dengan nada yang sedikit sedih. Mungkin dia menahan tangis. Meskipun aku mendengarnya, tapi aku tidak memberi jawaban apapun. Aku hanya kembali berjalan, tanpa menoleh padanya.
***
Cklek.
"Aku pulang," ucapku saat membuka pintu rumah. Meskipun aku tau di rumah tidak ada siapa-siapa, tapi aku masih terbiasa mengucapkannya.
Bahkan aku pernah membayangkan bahwa kau akan menyambutku jika aku membuka pintu.
Aku segera menaruh sepatuku di tempatnya, lalu bergegas ke kamar mandi.
"Akh!" rintihku saat dinginnya air menyentuh luka di pelipisku. Aku membuka mataku perlahan, mencoba menjernihkan kepala.
Rasanya sangat malas, dan lelah. Aku tidak mau pergi bekerja sekarang. Haruskah aku membuat alasan palsu? Atau membolos saja?
...
Lebih baik aku berbohong bahwa aku sedang sakit.
Setelah cukup lama aku berdiri di bawah shower, aku segera keluar dan mulai mengelap rambutku dengan handuk. Mataku melirik ke sekitar, mencoba mencari dimana keberadaan ponselku.
"Haaah, sial. Sepertinya tertinggal di sana ya?" umpatku kesal saat teringat bahwa ponselku jatuh di tempat yang tadi. Aku langsung mengambil baju dari lemariku secara acak dan memakainya. Begitu juga dengan celana, aku hanya mengambil yang paling dekat dengan tanganku.
Cklek.
Aku mengunci rumahku lagi dan berjalan pergi. Benar, aku berniat mengambil kembali ponselku. Dengan hati yang berdebar karena rasa takut. Aku tetap melangkahkan kakiku di tempat itu.
"Ternyata ini gudang kosong?" ucapku pelan sambil menatap lokasi aku diculik tadi. Mereka benar-benar memilih lokasi yang bagus, daerah ini memang jarang ada petugas keamanan.
Kriet.
Aku membuka pintu, menampilkan ruangan yang gelap. Mungkin karena sudah malam, dan tidak ada listrik di gudang ini. Hanya ada sedikit cahaya rembulan sebagai penerangan di sini. Mataku mencari ke sekeliling, begitu juga dengan kakiku yang melangkah ke setiap sudut ruangan.
"Dimana ya?" tanyaku pelan sambil berjongkok.
Tidak mungkin mereka mengambil ponselku kan? Untuk apa mereka mengambil ponsel padahal mereka sendiri sudah cukup kaya?
Aku yakin pasti ponselku terjatuh! Tapi di mana?!
"Apa kau mencari ini?"
Aku mendengar suara pria yang menculikku tadi. Spontan aku langsung berbalik hingga terjatuh ke lantai. Jantungku langsung berpacu, nafasku mulai tidak beraturan.
Ayolah! Kau sudah pernah melewati situasi yang lebih menakutkan dari ini! Jangan biarkan dirimu dikuasai rasa takut!
Aku mulai berdiri lalu membersihkan celana dan telapak tanganku. Barulah mataku menatapnya, ternyata dia yang membawa ponselku. Tangan kekarnya itu menggenggam ponselku yang sedikit berdebu.
"Benar, terimakasih," ucapku lalu mendekat padanya, saat hendak mengambilnya. Pria itu langsung mencekik leherku.
Grep!
"Uhuk! Ukh!" Aku merasakan nafasku menjadi sempit. Ada rasa sesak di leherku. Dia mengangkat tubuhku dengan satu tangan. Tatapan matanya begitu dingin dan tajam.
"Kau cukup berani juga kembali ke sini, padahal biasanya orang-orang normal akan merelakan ponselnya daripada kembali ke tempat mereka diculik," ucap pria itu dengan senyum yang mengerikan. Aku mencengkram lengan yang dia gunakan untuk mencekikku. Rasanya semakin sesak, aku bahkan tidak sanggup untuk bicara.
"Akan kukatakan tujuanku dengan jelas. Putuskan putriku, dan nyawamu akan selamat," ancamnya tegas.
Bruk!
Dia melepaskanku secara spontan, aku jadi terjatuh ke lantai secara langsung. Sebenarnya dia tidak mengangkatku terlalu tinggi, tapi kakiku sangat lemas setelah dicekik cukup lama.
"This is the last chance, break up with my daughter, tomorrow." Dia langsung pergi setelah mengatakan itu. Dia berhenti sejenak untuk melemparkan ponselku.
Prak!
Ponselku jatuh tepat di hadapanku, layarnya retak parah.
Brak!
Akhirnya dia pergi. Kupikir aku akan mati, ini cukup menyakitkan.
Aku menyentuh leherku dengan pelan, rasanya mati rasa. Aku yakin akan ada bekas saat bangun besok pagi. Aku langsung mengambil ponselku dan mencoba menyalakannya.
"Syukurlah masih bekerja," ucapku lega. Aku langsung mengirim pesan pada atasanku, sebagai izin bahwa aku sedang sakit.
"Lalu bagaimana? Apakah aku harus putus dengan Varesa?"
***
Ciip! Ciip! Ciip!
Sial ... karena memikirkan perkataan ayahnya, aku jadi tidak bisa tidur sepanjang malam!
Aku bangun dengan ekspresi yang tidak enak. Ada lingkatan hitam di sekitar mataku. Setelah cukup lama duduk di atas kasur, aku segera turun dan mulai berjalan ke kamar mandi.
BRAK!
"Aku harus bagaimana arkhhh!" ucapku frustasi sambil menatap kaca kamar mandi. Aku sangat bingung sekarang, beberapa kali aku membasuh wajahku dan mengusap rambutku secara kasar.
BYUR!
Aku langsung memasukkan wajahku ke dalam wastafel.
SPLASH!
"Baiklah, hari ini Varesa ada kelas, kan?" ucapku sambil merapikan rambut basahku. Aku langsung bergegas mandi dan mulai mencari baju untuk ke kampus.
Srak!
Cklak!
Aku mengunci pintu rumahku dan bergegas pergi ke kampus. Karena jarak kampus dengan rumahku cukup jauh, aku harus memesan taksi untuk sampai ke sana.
Tin!
"Ke kampus XX," ucapku sambil masuk ke dalam taksi. Sepanjang jalan, aku hanya diam dan menatap ke luar jendela. Pikiranku dipenuhi kejadian kemarin malam.
...Apakah aku harus putus?...
TBC.
Jangan lupa likenya ya guys!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments