...Yah, ini benar-benar dunia yang kejam. ...
POV: Arno
Sekarang aku berada di sebuah kamar, Varesa bilang ini adalah kamar yang akan kugunakan mulai sekarang. Ini tidak buruk, maksudku ... ini bahkan ratusan kali lebih baik daripada rumahku.
...
Dan masalahnya di sini adalah, kenapa Varesa hanya diam dan menatapku sedih dar pojok kamar?
Aku menghela nafas pelan lalu menatap ke arahnya. Matanya terlihat sendu dan mungkin ... lelah? Yang jelas, ruam hitam di bawah matanya itu terlihat semakin tebal dari waktu ke waktu.
"Ada apa?" tanyaku dengan lembut. Varesa hanya diam, dia menatapku tanpa bahasa. Matanya hanya fokus ke arahku, tanpa berpaling sedikitpun.
"Kalau kamu tidak bicara, aku tidak tau apa yang sedang kamu pikirkan," ucapku sambil mencoba untuk berdiri.
Tuk!
Apa?
Aku merasakan lututku yang tiba-tiba menjadi lemas. Saat aku mulai terhuyung ke depan, aku bisa melihat Varesa yang berlari dengan cepat ke arahku.
Grep!
"Astaga! Hati-hati! Duduk saja!" ucap Varesa dengan sedikit marah. Aku hanya tertawa kecil dan duduk lagi di pinggir kasur. Varesa segera pergi keluar kamar, dan kembali sambil membawa peralatan untuk pengobatan.
"Hmm, lukamu sangat banyak. Apakah aku harus memperban seluruh tubuhmu?" tanya Varesa saat melihat luka di sekujur tubuhku. Aku hanya diam sambil menatapnya yang tulus mengobatiku.
"Tidak apa-apa! Itu hanya goresan kecil, aku akan sembuh dalam beberapa hari!" ucapku yakin. Tapi Varesa sepertinya tidak senang dengan jawabanku itu. Dia hanya diam dan terus membersihkan lukaku.
"Kenapa kamu kesini?" tanya Varesa dengan suara yang sedikit pudar. Aku masih diam dan memperhatikan, mengolah kata-kata di dalam kepala sebelum aku mengeluarkannya.
"Karena aku ingin memberi jawabanku padamu," ucapku. Varesa menghentikan kegiatannya, dan mendongak untuk menatapku.
"Aku tidak mau putus denganmu," ucapku tegas. Mendengar kalimat itu, Varesa langsung berdiri dan mencengkram kerah bajuku.
"Dasar bodoh! Harusnya kau tidak boleh ke sini! Harusnya kau tetap hidup normal seperti sebelumnya! Hanya karena aku? Diluar sana ada ribuan gadis yang lebih sempurna dariku! Gadis yang cocok dengan standar kehidupan normalmu!" Varesa berteriak dengan nafas yang terengah-engah. Perlahan aku mulai menggenggam tangannya yang sedang mencengkramku.
"Tapi di antara ribuan gadis itu, tidak ada kamu. Aku tidak butuh yang sesuai standar normalku, aku tidak butuh yang mirip sepertimu. Aku hanya butuh kamu," ucapku dengan tatapan lembut. Aku mengecup tangan yang mencengkram kerahku, lalu menjauhkannya dari tubuhku.
"Kalau memilikimu harus mempertaruhkan nyawaku, maka itu tidak berarti apapun bagiku. Aku sudah pernah kehilangan orang yang berharga, hanya karena aku tidak tahan dengan kehidupan mereka. Karena itu ... aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama lagi," ucapku serius. Varesa yang awalnya terlihat marah dan kecewa, berubah menjadi pandangan haru dan sedih.
"Apakah ini tentang orangtuamu?" tanya Varesa. Aku mengangguk pelan.
"Orangtuaku tiada, karena kecelakaan mobil. Aku yang salah, harusnya aku tidak kabur dari rumah. Agar mereka tidak mengejarku dengan mobil. Yah, tapi itu sudah terlambat," ucapku dengan senyuman di akhir kalimat. Penyesalan yang dulu kurasakan, tidak ingin kurasakan lagi kedua kalinya. Varesa langsung memelukku erat, bisa kurasakan tetesan air matanya di bahuku.
"Kehidupanmu akan sulit di sini. Aku tidak bisa melindungimu setiap waktu, perintah ayahku berada di atas perintahku," ucapnya di samping telingaku.
"Aku tau, kamu tidak perlu melindungiku. Karena nanti, aku yang akan melindungimu," balasku sambil tersenyum yakin. Tidak ada jalan yang mudah, dan aku juga tidak berniat untuk menyerah.
Aku akan menulis sendiri akhir dari kisah ini.
Tok tok tok!
"Siapa?" tanya Varesa sambil melepaskan pelukannya. Dia mengusap air matanya, agar tidak meninggalkan bekas di sana.
"Nona, sekarang sudah lewat waktu makan malam. Apakah saya harus mengantarkan makanannya ke sini?" tanya seorang pria dari balik pintu. Varesa melirik ke arahku, aku mengangguk sebagai tanda setuju.
"Ya, antarkan makannya ke sini," ucap Varesa lagi.
Cklik.
Pintu besar itu terbuka, menampilkan beberapa pria dengan jas hitam yang membawa sekeranjang makanan. Mulai dari makanan pembuka, menu utama, hingga makanan penutup.
"Saya sudah menyediakannya sebanyak dua porsi, untuk nona dan pacar nona, saya pamit pergi," ucap pria itu sambil membungkukkan badannya. Varesa mengangguk, gerombolan orang itu langsung keluar dan meninggalkan makanan serta keranjang makanan itu di dalam kamarku.
"Kamu mau makan apa dulu?" tanya Varesa sambil membawa sebuah piring. Aku masih melihat-lihat makanan mewah di depanku. Sungguh, dengan gajiku sekarang, sepertinya aku hanya bisa makan ini setahun sekali.
"Oh! Aku mau ini!" ucapku semangat dan hendak mengambil makanannya.
TAK!
"ADUH! Ada apa?" teriakku kaget sambil mengusap tangan kananku. Varesa tiba-tiba menepis tanganku yang hendak mengambil makanan.
"Ayah sialan! Dia memberi racun! Jangan makan dulu!" ucap Varesa dengan marah. Dia lalu pergi keluar dan memanggil beberapa orang. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Varesa kembali ke arahku dengan wajah marah.
BRAK!
Tidak, dia tidak berjalan ke arahku. Dia berjalan lurus ke jendela besar di samping kasur tidurku, lalu membuka jendela itu dengan kasar.
Krang!
Varesa lalu mendorong keranjang makanan itu dan melemparkan semuanya keluar dari jendela. Tentu saja aku langsung terkejut dan berlari ke arahnya.
"Astaga! Bagaimana kalau ada yang terkena piringnya?!" ucapku panik sambil menjauhkan Varesa dari jendela. Ini berada di lantai 3, jika kena piring dari ketinggian seperti ini ... otaknya bisa hancur.
Aku mengintip ke bawah jendela. Di sana, berdiri Amo yang sedang berbicara dengan bawahannya. Dia hanya tersenyum sambil menatapku dingin.
"Putriku sangat kejam ya," ucap Amo dengan senyuman aneh. Ternyata Varesa menjatuhkan makanan beracun itu tepat ke arah Amo.
Astaga, sebenarnya hubungan mereka ini seperti apa?! Amo jelas punya peran sebagai ayah yang sangat sayang padanya. Tapi Varesa? Kenapa dia jadi seperti anak durhaka ya?
Tapi aku juga ikut bingung harus membela siapa ... Amo mau meracuniku, dan Varesa membantuku. Tapi ... ah sudahlah aku bingung!
"Haaah! Sabar ya? Aku sedang minta agar mereka membuatkan makanan yang baru," ucap Varesa lalu duduk di pinggir kasur. Aku diam dan lalu ikut duduk di sebelahnya. Tapi Varesa sangat hebat, bagaimana dia bisa tau bahwa di sana ada racun?
"Sejak kecil, aku sudah diincar oleh orang-orang yang berbahaya, racun, pistol, bom, benda tajam. Semua itu sudah jadi makananku sejak kecil. Karena itu, indraku jadi peka kalau ada bahaya di sekitar," jelas Varesa yang seolah tau apa yang kupikirkan. Ternyata hidupnya juga berat, tidak ... mungkin lebih berat dari hidupku.
TBC.
Jangan lupa likenya ya guys!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments