☘️☘️☘️
Miana menunggu sambungan teleponnya terangkat oleh papa. Hingga dering ke enam barulah dapat ia dengar suara berat papa pada sambungan teleponnya.
"Assalamualaikum, Papa,"
"Iya, waalaikumsalam. Kenapa Mia."
"Papa sehat?"
"Iya, papa baik. Ini sudah dalam perjalanan ke kantor di antar Heri. Kamu sehat?"
"Alhamdulillah. Pa, Mia harus bayar uang sekolah untuk tugas proker. Mia mohon, Pa. Bujuklah mama, agar mau memberikan ATM Mia."
Miana sudah lelah membujuk mama untuk meminta kembali ATM miliknya yang di sita oleh Miranti. Hingga jalan akhirnya adalah papa.
Papa mendesah berat, seraya melirik Heri yang masih fokus pada stir dan jalanan. Takut pembicaraan sensitif keluarga ini dapat mengganggunya.
"Jujur. Papa masih kecewa sama kamu. Lima belas juta itu bukan uang yang sedikit. Papa masih tidak habis pikir kenapa kamu bisa menghabiskannya dalam satu waktu."
"Papa masih nggak percaya sama Miana?"
"Kali ini tidak, Mia. Oke, papa akan kirimkan biaya apapun untuk urusan sekolah. Dan jangan kawatir motor akan di urus oleh Agus. Mmm, satu lagi Mia. Anggap saja ini adalah cara kamu menolong papa. Papa sayang sama Mia. Udah, ya. Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam," lirih Mia sedih.
Bisa Miana rasakan rasa kecewanya papa. Apalagi ia telah kehilangan kepercayaan dari papa. Ia bisa saja melacak transaksi ATM miliknya. Namun, sebelum itu ia sudah dapat mengira bahwa ini adalah ulah Sisil. Ia tidak mau memperpanjang masalahnya dengan mengadukan Sisil. Percuma. Miranti akan membela Sisil terlebih Papa yang sangat percaya pada mama.
☘️☘️☘️
Pagi menyapa kepada seluruh alam semesta, dengan keindahan langit cerah hari ini. Miana menggunakan motor matic kesayangannya untuk sampai di sekolah, lebih cepat daripada mereka yang menggunakan jasa grabcar atau taksi.
"Hai, Mia. Tumben muka cemberut kayak baju kusut."
Mendengar ledekan dari Riska, ia melepas pengait helm yang membungkus kepalanya." Iya, lagi bokek gue. Apalagi ada novel bagus yang sudah terbit." Miana memanyunkan bibirnya.
"Oh, kukira sedih karena putus dari Bian."
"Kalau itu udah pasti. Berkali-kali aku hubungin Bian. Tapi malah berakhir nomorku di blok sama dia. Dia udah kecewa baget sama aku, Ris."
Riska mendekati Miana yang sudah melepaskan jaketnya dan memasukkannya ke dalam jog motornya.
"Maafin gue sekali lagi, Mia. Gara-gara gue, kamu jadi bermasalah sama Bian. Nanti aku coba bujuk Bayu, buat bicara sama Bian, ya." Riska merangkul bahu Miana untuk berlalu dari parkiran sekolah menuju ke kelasnya.
Daihatsu Ayla berwarna merah marun melintas di depan Miana dan Riska yang hendak melangkahkan kaki menuju kelasnya. Miana memasang senyumnya kala pemilik mobil itu turun, Aksabian Mahendra. Seorang yang masih amat ia cintai. Namun, senyumnya luntur kala ia melihat pintu lain dari Ayla maruun itu terbuka dan munculah gadis yang sangat ia kenali, Sisil.
Riska yang tanggap segera menarik tangan Miana untuk segera menjauh dari dua orang itu.
Sisil tersenyum tipis melihat Miana berlalu. Ia tidak membuang kesempatan untuk mendekati Bian agar atensi lelaki yang ia sukai itu beralih kepadanya. "Bian, makasih tumpangannya, ya." Sisil memegang lengan Bian. Namun, Bian segera menghindarinya. Membuat Sisil sedikit terkejut reflek mengangkat kedua tangannya "Maaf, Bian. Gu-gue cuma terlalu senang."
Bian melirik sekilas pada Sisil dan berlalu pergi begitu saja.
"Sabarr, Sisil. Kau nggak boleh terlalu agresif. Bisa-bisa, Bian jadi ilfil sama lo,"
Sisil tersenyum seraya melangkahkan kaki jenjangnya menuju kelas. Sesampainya di kelas sapaan receh dari Thea dan Hazel, teman Sisil, terdengar berisik. Tapi Sisil segera memberi kode satu telunjuknya pada bibirnya. Memberi kode pada kedua sahabatnya agar tidak terlalu menyita perhatian. Terutama pada Miana yang terus menatap Sisil.
Kasak-kusuk teman-teman yang lain lantas mengusik Miana dan Riska. Kelas masih akan di mulai sepuluh menit lagi. Jadi, tampilan duduk rapi pada bangku masing-masing belumlah dapat di temui di ruang kelas itu. Masih banyak yang masih duduk di meja, bahkan masih ada yang sedang berbincang di tepi jendela kelas.
"Mia, di bayar berapa, sih, kamu? Sampai kamu tega mencoreng nama baik Bian."
"Bukannya bersyukur punya pacar tajir, good looking dan terkenal. Malah bikin ulah, jalan sama om om."
"Gue denger, ATM Mia di sita sama bokapnya, karena melebihi batas. Jadi yaa, mungkin sang juara kelas kita ini, cari jalan pintas."
Celotehan teman-teman yang menusuk hati Miana membuat Riska geram dan menggebrak meja. "Jaga mulut kalian, jika kalian nggak tahu yang sebenarnya! Jangan seenaknya sendiri menjudge orang tanpa bukti!" Riska berteriak. "Kalian lupa, siapa Bian. Bisa di depak kalian tanpa alasan dari sini dengan mudah jika ngomong yang aneh-aneh tentang Miana."
"Lo, juga lupa, Riska. Bahwa sekarang, antara Bian dan Miana sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi." Sisil berkata sinis pada Riska dan menyapu pandangan pada seisi kelas yang belum semua siswa berada dalam ruangan itu.
"Apa?"
"Mereka putus?"
"Jelas aja Bian, mutusin Mia. Mana mau anak ketua yayasan mau sama barang bekas."
Kembali komentar teman-teman membuat dada Miana bergemuruh dan berusaha menahan genangan air matanya. Ia berlari keluar kelas. Tujuannya adalah toilet untuk meluapkan tangis yang di tahannya.
Di luar kelas, langkahnya terhenti karena menabrak benda liat namun cukup keras membuatnya memejamkan mata karena menjadi terhuyung dan nyaris jatuh. Namun, ia segera membuka matanya karena tubuhnya tidak sakit karena terjatuh membentur lantai. Dia seperti, melayang.
Begitu ia membuka matanya, bahu dan tangannya berada pada genggaman tangan seseorang. Orang asing. Tubuh tinggi dengan alis tegas dengan mata yang menarik dan sangat ... tampan. Orang itu tidak pernah ia lihat sebelumnya. Bukan juga Bian, orang yang masih ia harapkan.
"Ehem."
Suara deheman yang sangat berat itu mengalihkan kesadaran dan pikiran kacau Miana dan juga seorang yang tadi menolongnya.
"P- pak Bambang," pekik Miana pada guru mapel bahasa yang sangat ia segani. Miana tersenyum dan menyelipkan anak rambutnya yang sedikit berantakan karena insiden tadi.
"Sedang apa kamu lari-larian keluar kelas? Padahal, dua menit lagi pelajaran di mulai."
"E, ada urusan sedikit, Pak." Miana meringis bahkan tanpa sadar sudah melupakan rasa sakit akibat celoteh teman-temannya.
"Bubar!"
"Kembali ke kelas masing-masing," titah Pak Bambang pada siswa-siswi yang terlihat berkumpul di koridor depan kelas Miana.
Bukan sedang melihat kekacauan atau suara tegas Pak Bambang, melainkan kebanyakan siswi itu sedang mengagumi sosok yang telah menolong Miana tadi.
Semua siswa menurut untuk menuju kelas masing-masing. Termasuk Miana dan lelaki tadi. Sesekali dari mereka masih memandangi kemana arah langkah lelaki jangkung itu berakhir menjejakkan kaki.
Miana mengikuti langkah Pak Bambang karena memang jam pertama di isi oleh mapel yang diampunya.
Miana juga melirik lelaki tadi yang rupanya juga mengekor langkah pak Bambang, pria paruh baya bertubuh gempal itu.
Seisi kelas yang tadinya sedikit riuh kembali tenang dengan kedatangan siswa-siswi yang baru masuk kelas karena tadi masih berada di luar ruangan. Termasuk Bian dan kawan-kawannya.
Ya, Bian, mantan kekasih Miana itu berada di kelas yang sama dengan Miana. Termasuk juga Sisil, Thea, Hazel dan lelaki tadi yang masih berdiri di depan kelas karena di tahan oleh Pak Bambang.
Murid baru, pikir Miana. Ia kembali pada bangkunya dan mendapat tepukan pelan dari Riska.
"Udah, jangan pikirin lagi omongan teman-teman, yah. Gue selalu ada di samping, Lo." Riska tersenyum.
☘️
..._to be continue _...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
aisyah syasyah
eh, apa aku yg gak nyambung disini ya.?...
itu murid baru yg nabrak miana kah????
2022-05-26
1
aisyah syasyah
apakah mau seperti yg lagi viral....pak gu dan muridnya...?
2022-05-26
1
Dini_Ra
Putus satu tumbuh seribu, Bian hilang angkut yang baru hehe
2022-05-20
1