“Jadi, dua minggu lagi kita bertemu dengan semua tugas musim panas kalian,” kata seorang wanita di salah satu ruang kelas SMP Haeundae.
“Iya, Guru Hong,” sahut seluruh siswa dalam kelas itu.
“Baik, selamat menikmati liburan kalian,” ujar wanita yang tak lain adalah Guru Wali ruang kelas 8-1 tersebut sebelum dia keluar.
Semua murid mulai sibuk memasukkan buku pelajaran mereka yang berhambur di atas meja tidak terkecuali, Seung Woon yang duduk di kursi paling depan. Sementara itu, Seung Hoon yang duduk di kursi paling belakang dekat pintu keluar, sudah menggendong ranselnya dan beranjak setelah menepuk pundak teman sebangkunya, Jang Il Hoon.
“Kau tidak pulang bersama Seung Woon?” tanya Il Hoon.
“Dia punya kaki sendiri, tidak perlu kugendong,” sahut Seung Hoon datar.
“Mungkin hanya perasaanku. Tapi, kadang kalian terlihat sangat berbeda.”
Ucapan Il Hoon yang tiba-tiba langsung membuat niat Seung Hoon untuk pergi pun terurung. Dia menatap lekat Il Hoon yang saat itu tengah memandangi Kakaknya.
“Anak-anak di sekolah juga tahu, lebih banyak orang menyukai Seung Woon karena sifatnya yang ceria. Dan entah benar atau tidak, hampir semua orang mengatakan jika anak kembar jarang ingin menjadi berbeda. Walau hanya hal kecil namun, kalau itu membuat keduanya terlihat mirip, mereka pasti akan sangat bahagia. Sebab mereka berbagi jiwa yang sama,” jelas Il Hoon dengan kening berkerut.
Seung Hoon terpaku usai mendengar pernyataannya tersebut. Dan sekarang, tatap kosongnya mengarah pada Seung Woon yang tampak tersenyum ramah ke teman sebangkunya.
Iya, kita sama. Karenanya kau harus bisa mencapai cita-citamu. Aku ingin melihatmu berjalan di catwalk dan menonton konserku ketika nanti menjadi penyanyi terkenal. Dan kadang aku juga berharap, ada dua Gongju di dunia ini.
Dia membatin tanpa sadar akan Seung Woon yang baru saja selesai merapikan peralatan sekolahnya, kini membalas tatapannya dengan tulus.
Seung Hoon~a, uljima. Nan arasseo(Seung Hoon, jangan menangis. Aku mengerti).
Batin Seung Woon, seakan mengerti arti tatapan Sang Adik yang seketika tersentak dan bergegas keluar.
“Shin Won Oppa?!(Kak{pengutara perempuan untuk laki-laki} Shin Won?!)” teriak Aeka pada seorang pria berseragam Taekwondo yang sedang memukuli samsak.
Kegiatan Shin Won terhenti tatkala pandangannya teralih pada Aeka yang sudah berlari dari pintu masuk gedung beladiri dan langsung memeluknya erat.
“Anak Nakal, kenapa kembali? Bukankah sedang tidak ada pertandingan,” tegur Shin Won setelah melepaskan pelukannya dan mengacak-acak rambut Aeka.
“Hehe, hanya ingin berlibur. Aku boleh menginap dan berlatih di sini sampai dua minggu ke depan, ya?” ujar Aeka yang terdengar memohon dengan senyum penuh arti.
“Tentu saja. Di sini, kan, rumahmu juga,” ujar Shin Won tulus, “tapi, apa kau datang sendiri?” tanyanya heran.
“Iya. Pulang sekolah aku langsung ke bandara dan terbang kemari,” sahut Aeka penuh semangat.
“Kau tidak berlibur ke Indonesia?” tanya Shin Won semakin heran.
“Kata Ibu, selama liburan musim panas aku boleh menghabiskan waktu di sini,” kembali Aeka menyahut dengan sangat bersemangat.
“Ya, sudah, kalau begitu pergilah ke kamarmu. Istirahat sebentar, lalu turun makan malam,” perintah Shin Won lembut dan di jawab dengan anggukan singkat oleh Aeka yang kemudian melangkah pergi.
...◇◇◇...
“Ini Pasar Raya?” tanya Aeka sambil membayai langkah Seung Hoon.
“Binggo!” seru Seung Hoon yang masih berpura-pura menjadi kembarannya, “apa kau belum pernah ke tempat seperti ini sebelumnya?”
“Aku tidak suka tempat ramai,” sahut Aeka setelah menggeleng pelan.
“Kau pasti lebih suka pergi ke department store dan supermarket besar lainnya?”
“Tidak juga, tergantung. Tapi, aku memang tidak suka pergi ke tempat ram…akh!”
Langkah keduanya terhenti seketika karena seseorang tanpa sengaja menyenggol Aeka dengan kuat.
“Kau baik-baik saja?” tanya Seung Hoon khawatir.
Aeka mengangguk walau raut kekesalan tampak jelas di wajahnya.
“Kau…mau pulang?” tanya Seung Hoon ragu dan hanya di jawab gelengan singkat oleh Aeka, “maaf, aku tidak tahu jika kau tidak suka ke tempat seperti ini,” tambahnya penuh sesal.
Menyaksikan Seung Hoon tertunduk lesu dan merasa sangat bersalah, Aeka pun meraih tangannya yang berjemari panjang dan buatnya kembali menatap dia yang sudah tersenyum.
“Entah department store ataupun Pasar Raya. Sebenarnya lebih tepat di katakan, jika aku tidak suka tempat penuh sesak dan ramai. Tapi, kalau aku boleh menggandeng tanganmu, bisa di pastikan semuanya akan baik-baik saja,” ucap Aeka tulus.
Ucapnya tentu langsung membuat Seung Hoon bersemangat dan tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi yang rapi. Dia kemudian menggenggam erat tangan Aeka sebelum mereka melanjutkan perjalanan menyusuri Pekan Raya Musim Panas Kota Busan.
“Kau jadi memancing boneka kucing untukku, kan?” tanya Aeka riang.
Kening Seung Hoon berkerut tatkala raut kebingungan terukir di wajahnya.
“Sepuluh bulan lalu sepulang kita dari Kafe Baca. Tanggal 11 Agustus, kau berjanji akan memancing boneka kucing untukku di Pekan Raya. Ini bahkan belum setahun, apa kau tidak ingat?” jelas Aeka yang memandangnya penuh tanya.
Hening sesaat antara mereka yang masing-masing diselimuti rasa heran. Sampai akhirnya, Seung Hoon dikejutkan Aeka yang tiba-tiba berhenti melangkah dan menghempaskan tangannya.
“Pembohong! Kau sama saja seperti yang lain, hanya ingin memanfaatkanku untuk mendapat perhatian semua gadis di akun blog-mu. Tidak pernah ada anak laki-laki yang menyukaiku karena badan yang besar dan gendut ini!” teriak Aeka dengan seluruh amarahnya dan lalu pergi meninggalkan Seung Hoon.
Tetapi, tidak butuh waktu lama untuk Seung Hoon menyadari penyebabnya dan bergegas mengejar Aeka.
“Seung Woon bodoh! Kenapa tidak beritahu aku tentang janjimu? Baru pertemuan kedua dan aku kena sial lagi. Kenapa hidupku begitu sulit?” maki Seung Hoon sambil terus berlari.
Ketika sebuah drama akan menyajikan seorang pria yang pasti akan langsung menemukan wanitanya. Hal itu sangat tidak berlaku bagi Seung Hoon yang harus rela berhenti di depan sebuah etalase toko sepatu dan duduk di tepi trotoarnya karena kehilangan jejak Aeka dalam keramaian Pasar Raya yang penuh sesak malam itu.
“Aeka~ya, neo eodiga?(Aeka, kau di mana?) Hah, hah, hah,” ujarnya dengan napas tersengal.
Cukup beberapa menit dan Seung Hoon yang memang tidak ada niat berlama-lama duduk pun segera beranjak. Dia berusaha jalan dengan tenaganya yang sudah setengah pulih. Sorot matanya yang tajam terus memindai ke sekitar untuk menemukan Aeka.
Hampir putus asa namun, tiba-tiba terdengar suara lemah yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Dia berbalik dan mengerjap ketika menyadari sosok gadis dengan badan berisi yang terisak di dekat salah satu gerobak penjajak kue ikan.
“Hei, Anak Baik, jangan menangis. Tidak apa-apa, kau sudah aman sekarang.”
Pernyataan pria paruh baya bersuara lantang itu terdengar jelas di telinga Seung Hoon walaupun sekeliling mereka begitu ramai. Dia melangkah dengan tatapan kosong, seolah tidak percaya jika telah berhasil menemukan gadis yang satu jam lebih dicarinya. Jantung Seung Hoon berdebar kencang saat berdiri di belakang Aeka yang tidak menyadari akan kehadirannya dan sejenak terpaku memandangi dia penuh rasa iba.
“Aeka~ya?” tegurnya pelan.
“Seung Woon~aaa…” teriak Aeka yang kembali menangis setelah berbalik.
Entah apa yang kupikirkan sampai tega menjadikannya sebagai taruhan. Jantungku mungkin hampir meledak karena tidak sanggup menahan debarannya ketika gadis kecil di balik badan anak SMP ini menangis dan memeluk pinggangku erat. Tapi, aku tidak bodoh untuk menyadari jika dia milik Seung Woon dan bukan daging sapi korea yang sekarang kuinginkan…
“Apa dia saudaramu?” tegur Sang Penjajak Kue Ikan.
Seung Hoon tersentak usai melamun beberapa saat dan langsung mengalihkan pandangan pada pria paruh baya yang berdiri di depannya. Dia melepaskan tangan Aeka yang sempat melingkar pada pinggangnya dan menggenggam tangan kanannya dengan erat sebelum kemudian membungkuk penuh hormat.
“Iya, dia Adikku,” sahut Seung Hoon setelah kembali berdiri tegak.
“Aku menemukannya berdiri dan menangis di tempat biasa kami menyimpan gerobak,” jelas Sang Penjajak yang sesaat tampak iba, “aku bawa Adikmu kemari karena khawatir. Selain sepi, tadi dia juga sempat di tahan anak-anak nakal yang memang sering berkumpul di sana,” tambahnya sambil menunjuk lorong gelap yang cukup jauh dari tempat mereka bertemu saat itu.
“Terima kasih, Paman,” ujar Seung Hoon sesudah membungkuk lagi.
“Iya, sudah, tidak apa-apa. Lebih baik ajak Adikmu pulang. Kasihan, dia pasti masih takut makanya menangis terus,” perintah Sang Penjajak sambil menyerahkan satu plastik penuh kue beras pedas pada Seung Hoon, “bawa ini dan makan bersamanya,” tambahnya tulus.
Senyum riang terukir di wajah Seung Hoon sebelum dia lagi-lagi membungkuk lebih dalam.
“Terima kasih banyak, Paman,” ucap Seung Hoon penuh semangat, “ayo, kita pergi,” ajaknya sambil menggandeng tangan Aeka.
Keduanya berjalan ke salah satu tempat duduk yang tersedia di Pekan Raya. Sesudah duduk dengan nyaman, Seung Hoon pun mulai sibuk membuka bungkus kue berasnya. Dia lalu menusukkan dua buah kue ikan dan meniupnya untuk sedikit mengurangi rasa panas.
Sedangkan, Aeka yang masih sesenggukan hanya memandangnya datar. Hingga dia mengisyaratkan agar mengambil kue beras tersebut dan sempat ragu namun, kemudian Aeka pun menerimanya.
“Makanlah, jangan menangis lagi,” ucap Seung Hoon tulus sambil menyentuh pipi Aeka untuk menghapus sisa air matanya.
Aeka tersenyum, lalu mengangguk cepat dengan mata sembab dan menikmati kue berasnya bersama.
“Sehabis ini kita pancing boneka kucing,” ujar Seung Hoon setelah menelan kue berasnya.
Lagi, Aeka mengangguk cepat seraya tersenyum riang.
“Maaf, aku tidak bermaksud melupakan janji. Hanya saja, tadi aku memang tidak ingat,” jelas Seung Hoon usai meniup kue beras yang ia tusukkan lagi untuk Aeka.
Aeka menggeleng cepat sembari meraih bungkusan kue beras di tangan Seung Hoon dan tentu buatnya tersenyum geli.
“Kucing besar ini…” batin Seung Hoon sambil memandangi Aeka yang mulai memperhatikan sekitar di sela acara makannya, “…bahkan sebelum Seung Woon melakukannya. Aku pasti akan membunuh diriku sendiri jika sesuatu terjadi padamu.”
“Habis!” seru Aeka sambil menyerahkan bungkus plastik yang hanya menyisakan sedikit saus di dalamnya.
Seung Hoon tersadar dari lamunan dan langsung menyambut bungkus plastik yang diserahkan Aeka lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Ayo, kita pancing kucingnya,” ujarnya sambil menggenggam erat tangan Aeka.
Bahkan walau itu Lee Seung Woon, sampai akhirpun tidak akan kulepas. Kecuali, jika segalanya mulai terasa menyakitkan bagimu…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments