Aku bukan musuhmu...

DUK! DUK! DUK!

“Lee Seung Hoon, berhenti memantulkan bolamu!”

Seketika Seung Hoon melepaskan earphone-nya dan berhenti memantulkan bola baseball ke dinding. Keningnya berkerut usai mendengar teriakan Sang Ibu dari lantai dasar rumah mereka.

BUK!

Seolah belum cukup merusak suasana hatinya, sebuah bantal tiba-tiba melayang tepat menghantam wajah Seung Hoon dan membuat seorang gadis manis yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya tersenyum geli.

“Bayi kecilku,” goda gadis itu sambil mencubit kedua pipi Seung Hoon setelah masuk dan mengacak-acak rambutnya.

“Ya, Lee Soul!” teriak Seung Hoon.

Alih-alih marah, gadis bernama 'Lee Soul' itu malah tersenyum manis dan tak acuh pada Seung Hoon yang beranjak kesal ke meja belajarnya. Sedangkan, dia dengan santai berbaring di tempat tidur dan mengambung-ambungkan bola baseball Seung Hoon.

“Ibu menegurmu lagi?” tanya Soul sambil tetap aktif dengan kegiatannya.

“Hmm,” sahut Seung Hoon yang sudah sibuk dengan buku pelajarannya.

“PR-mu sudah selesai?” kembali Soul bertanya.

“Sedang kuteliti,” sahut Seung Hoon ketus.

“Jika bisa dilahirkan kembali, kau ingin jadi seperti Seung Woon atau Kak Saran?” tanya Soul tanpa sedikitpun mempedulikan kekesalannya.

“Tidak keduanya. Selama bisa menjadi diri sendiri, aku tak tertarik dan peduli pada kehidupan siapapun di dunia ini,” jelas Seung Hoon sambil mulai mengerjakan tugas matematikanya.

“Kalau aku, ingin seperti Kak Saran. Tidak serius, juga tidak terlalu santai. Tapi, segalanya terorganisir dengan baik,” ujar Soul dengan kening berkerut.

Seung Hoon yang masih fokus pada tugas rumahnya lebih memilih bungkam, walau telinganya tetap mendengarkan semua ocehan Soul yang kemudian diam sesaat.

“Hei, kau bilang setelah lulus SMA ingin pergi ke Seoul. Untuk apa ke sana? Jadi artis? Lebih baik jangan terlalu memaksakan diri. Aku tahu, kau berbakat dan pasti akan diterima agensi manapun. Tetapi masalahnya, apa kau bisa mengatasi Ayah? Ayah menyuruhmu jadi seorang Insinyur dan Seung Woon jadi Dokter,” ujar Soul yang kembali berceloteh.

Kakak keduaku ini adalah satu-satunya anak orangtua kami yang tidak memiliki kata 'letih' dalam kamus hidupnya. Dia akan terus berbicara tanpa henti dengan penuh semangat sejak dia mulai membuka mulut. Kecuali…

“Sooouul…bantu Ibu memindahkan tanaman!” teriak wanita dari halaman.

Soul segera beranjak dan berlari kecil menuju balkon kamar. Dia menengok ke bawah dan memperhatikan seorang wanita paruh baya bertopi motif bunga yang tengah sibuk mengisi pot kosong dengan tanah. Tanpa kata, ia berbalik dalam sekejap dan berlari gusar keluar kamar.

BRAK!

Dia membanting pintu dengan kuat sementara, Seung Hoon hanya melirik sinis dan melanjutkan kegiatan sebelum kemudian pintunya terbuka lagi.

“Jangan ke mana-mana. Aku akan kembali selesai membantu Ibu,” ujar Soul cepat.

BRAK!

Lagi, pintu itu dibanting kuat dan Seung Hoon yang tetap tak acuh sekarang mulai sibuk dengan mp3 kecil dari saku jaketnya. Dia memasang earphone lalu kembali melanjutkan tugas rumahnya sambil bersenandung kecil.

Kau mengajakku bertemu hanya untuk menemanimu membaca buku fashion. Kenapa kau tidak ke kebun binatang saja? Setidaknya, di sana tidak akan ada yang mengerti bahasamu…

Di kamarnya, Seung Woon yang sedang duduk melamun di kursi meja belajar tampak tersenyum geli mengingat kekesalan Aeka sebulan lalu. Sampai sebuah bantal mendarat di wajahnya dan buat dia tersentak. Rasa kesal sempat menyelimutinya tatkala melihat Sang Adik kini berbaring santai di tempat tidur sambil mengambung-ambungkan bola baseball yang dia bawa.

“Kau benar akan menjadi Dokter?” tanya Seung Hoon tanpa peduli dengan apa yang sudah dilakukannya.

“Ayah dan Ibu berharap banyak tentang hal itu,” sahut Seung Woon.

Kegiatan Seung Hoon terhenti dan membalas pandangannya dengan senyum sinis.

“Lihat mataku!” perintahnya ketika menatap lekat Sang Kakak.

“Untuk apa?” tanya Seung Woon yang lalu berusaha mengalihkan pandangan.

“Lihat mataku jika kau memang ingin menjadi Dokter,” pinta Seung Hoon seraya beranjak dan duduk di tepi ranjang, “buktikan kalimat yang tadi kau ucapkan!” perintahnya dengan suara sedikit meninggi.

“Kau hanya ingin mencari dukungan untuk menjadi pembangkang,” ujar Seung Woon sembari tersenyum penuh arti dan terus menghindari tatapannya.

“Kubilang, lihat aku, Lee Seung Woon!”

Teriakannya yang dipenuhi amarah pun buat Seung Woon menghela napas pelan dan lalu menuruti keinginannya.

“Apalagi yang kubutuhkan selain bisa jadi anak yang sempurna untuk Ayah dan Ibu,” ucapnya datar tanpa mempedulikan Seung Hoon yang terlihat semakin kesal, “waktu kita masih banyak. Jadi, lebih baik kau gunakan masa SMP ini untuk mempersiapkan diri sebelum menjadi murid SMA yang akan memulai masa depannya,” tambahnya yang sekarang menatap tajam Sang Adik.

Mendengar semua penjelasan yang sangat tidak ia harapkan, Seung Hoon pun beranjak dan keluar dengan membanting pintu.

“Aku Kakakmu, bukan sainganmu. Berhentilah menganggapku sebagai musuh,” ucap Seung Woon pelan sambil memandangi pintu yang telah tertutup rapat, “aku hanya ingin menjadi yang terbaik untuk Lee Seung Hoon,” tambahnya dan lalu membenamkan kepala dalam lipatan tangannya di atas meja.

Sementara itu, Seung Hoon sudah berlari keluar rumah tanpa peduli pada Sang Ayah yang melihatnya heran saat ia melewati ruang tamu.

“Hooni, eodiga?(Hooni, kau mau ke mana?)” teriak Ayahnya.

Begitu juga yang terjadi ketika dia melintasi halaman rumah.

“Hooni, kau mau ke mana?” teriak Ibunya yang juga bingung melihat dia terburu-buru.

“Kau sudah selesaikan PR-mu? Hei, Anak Nakal!” teriak Soul menambahi.

Seung Hoon diam bersama seluruh amarah yang menyelimuti. Dia berlari setelah membanting pintu pagar rumah dan dari balkon kamar, tatap kosong Seung Woon tertuju padanya yang sekarang menaiki tanjakan komplek.

...◇◇◇...

“Yeoboseyo(Halo{percakapan telepon}),” sapa suara kecil dari seberang.

Sang Penelepon hanya diam usai mendengar sapaannya.

“Ige nuguseyo?(Ini siapa?)” kembali terdengar suara kecil dari seberang.

“Nan, Lee Seung Hoonieyo. Mianhaeyo(Aku, Lee Seung Hoon. Maafkan aku),” sahut Sang Penelepon dengan suara bergetar.

“Lee Seung Hoon, nu…(Lee Seung Hoon, sia...)”

TUUUT…TUUUT…TUUUT…

Telepon terputus, Seung Hoon melangkah keluar dari kotak telepon dengan seragam sekolah yang berantakan seperti biasa. Dia duduk di tepi trotoar sembari melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 4.00 sore.

“Icheon onyeon sameol sipsayeyo. Haepi hwaithe dei, Gongju~ya(14 Maret 2005. Happy White Day, Tuan Putri),” ucap Seung Hoon seraya menghela napas keras dan tertunduk lesu, “kenapa aku jadi bingung? Setelah tujuh bulan berlalu dan sampai detik ini belum bertemu lagi. Aku rasa, dia masih percaya kalau hanya ada satu 'Lee Seung Woon' di dunia ini.”

“Lee Seung Hoon?”

Dia tetap menunduk dan memandangi sepatu anak yang menyapanya.

“Oi! Lee Seung Woon, berhenti menguntitku,” ujarnya kesal.

Seung Woon yang selalu terlihat rapi dengan ransel hitam di punggung pun berjongkok dan memperhatikan Adiknya sambil tersenyum manis.

“Aku rasa pertarungan sebenarnya baru dimulai sekarang,” ucapnya lembut.

Seung Hoon segera mengalihkan pandangan padanya yang masih tersenyum.

“Cepat atau lambat daging sapi korea harus berganti nyawa, kan?” tanya Seung Woon polos.

“Kita mungkin sama secara fisik. Tapi, tidak kukira kau sangat licik,” sindir Seung Hoon yang lalu beranjak meninggalkan Kakaknya.

Seung Woon berdiri bersama senyum yang perlahan memudar dan menatap punggung Sang Adik yang tertutupi ransel birunya.

“Adikku!”

Seung Hoon bungkam dan terus melangkah semakin jauh tanpa mempedulikan teriakannya.

“Lee Seung Hoon, haruskah mulai sekarang kita jadi rival?!” tambahnya yang berteriak lebih keras.

Dan kali ini, langkah Seung Hoon seketika terhenti. Dia berbalik dan menatap tajam padanya yang sudah kembali tersenyum manis.

“Hanya karena kau Adikku, bukan berarti aku akan menyerahkannya dengan mudah. Kita sudah tahu pasti siapa yang menarik perhatiannya di awal pertemuan. Dan aku tahu, kau bisa melihatnya dengan sangat jelas ketika di Kafe Baca. Satu peraturan, dilarang menguntit pesaingmu,” jelas Seung Woon sedikit menyindir.

Rahang Seung Hoon menguat usai mendengar semua ucapan Sang Kakak yang kini tersenyum sinis dan perlahan mendekatinya.

“Walaupun harus dengan nyawa, aku akan tetap menjaganya sampai takdir menjawab siapa yang bisa bertahan hingga akhir,” bisik Seung Woon datar, lalu kembali tersenyum sambil menepuk-nepuk pundaknya yang semakin membisu, “kita pulang, Ibu pasti sudah menunggu,” tambahnya seraya berlari riang.

Tubuh Seung Hoon tiba-tiba bergetar dengan kedua tangan mengepal dan sorot tajamnya mengarah tepat ke punggung Seung Woon sesudah kembali berbalik. Dia menatap penuh amarah sampai saudaranya itu berbelok di persimpangan jalan.

“Kenapa kau jadi Kakakku? Kenapa kau harus jadi kembaranku, KALAU HANYA INGIN HIDUP SEBAGAI MUSUH?!” teriaknya di akhir kalimat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!