Nata merenggangkan tubuhnya setelah duduk selama lima jam. Perempuan itu menghela nafas kasar, tubuhnya terasa kaku dan pegal. Wajar saja, selama lima jam dirinya harus berkutat dengan berkas-berkas. Di hari pertamanya, Darren sudah memberikan dirinya tumpukan berkas.
Nata melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Perempuan itu segera bangkit dari duduknya, dirinya berniat untuk pergi ke kafe depan kantor untuk membeli makan siangnya. Dia pergi seorang diri, mengingat dia belum memiliki teman.
"Nata!"
Langkah kakinya terhenti saat mendengar suara Darren yang memanggil namanya. Perempuan itu dengan cepat membalikkan tubuhnya. Nata menatap Darren dengan pandangan penuh tanya lantas menundukkan kepalanya dalam.
"Kenapa, Pak?" tanyanya pelan.
"Kamu mau ke mana?"
Nata menaikkan satu alisnya pertanda dirinya bingung dengan pertanyaan Darren. Ini sudah waktunya makan siang, jelas dirinya ingin makan siang. Nata menatap Darren heran, perempuan itu lantas berdehem dengan pelan.
"Mau makan siang, Pak. Ada hal yang bisa saya bantu?"
Dia menggeleng. "Tidak ada. Setelah kamu makan siang, tolong siapkan berkas untuk rapat siang ini," titah Darren.
"Baik, Pak."
Melihat Darren yang melenggang pergi membuat Nata kembali melanjutkan langkahnya. Beberapa pasang mata menatapnya tak suka, mengingat Nata berpakaian cukup sederhana. Sedangkan, DA Company merupakan perusahaan besar. Nata menghela nafasnya kasar, dirinya tak nyaman dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.
Sabar, Nat! Sabar!
...***...
Nisya menginjakkan kakinya di sebuah mall yang berada di tengah kota Jakarta. Dirinya tak datang sendiri melainkan dengan Lina yang saat ini tengah memiliki waktu luang. Dua perempuan cantik itu berniat untuk membeli sebuah tas dan sepatu, jangan lupakan skincare.
Mereka berjalan beriringan di dalam mall. Keduanya sama-sama terdiam dengan pandangan terfokus pada sekitarnya. Nisya yang tampak anggun dengan balutan dress berwarna peach dan Lina yang nampak anggun dengan kaos yang berpadu dengan celana jeans dan cardigan miliknya. Mereka sama-sama mencuri perhatian sekitarnya.
Nisya menoleh ke Lina yang saat ini berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Perempuan itu menepuk bahu Lina pelan membuat atensi Lina teralih. Lina memandang Nisya dengan satu alis yang terangkat, perempuan itu sedang tak ingin banyak bicara.
"Kenapa?"
"Kita beli tas dulu?" tanya Nisya.
"Heem, ayo."
Sesampainya di toko tas, keduanya segera memilih tas sesuai selera mereka. Kedua perempuan cantik itu terlihat fokus pada deretan tas yang harganya cukup fantastis. Namun, bagi mereka itu tak ada artinya, terpenting adalah kebutuhan mereka terpenuhi.
Atensi Lina teralih pada tas berwarna hitam dari brand ternama. Dengan perlahan tangannya mengambil tas tersebut, Lina memandang tas tersebut dengan pandangan menilai. Setelahnya perempuan itu tersenyum sangat tipis.
"Not bad."
Di sisi lain, Nisya tengah asik memilih-milih sebuah tas. Perempuan itu berulang kali mengerutkan keningnya. Dirinya bingung ingin memilih yang mana, deretan tas di hadapannya tampak indah semua. Dia menghela nafasnya pelan, dirinya selalu dilanda kebimbangan saat membeli sesuatu.
"Sudah?" Nisya menoleh ke belakang, dirinya menunjukkan cengirannya pada Lina.
"Kenapa?" tanya Lina heran.
"Hehe ... Bingung," sahut Nisya sembari cengengesan tidak jelas.
Lina yang mendengar itu menepuk keningnya. Tatapannya beralih pada deretan tas di hadapan Nisya. Tatapannya menelisik satu-persatu tas yang berada di hadapannya, perempuan itu meletakkan telunjuknya di dagu pertanda dia tengah berpikir. Perempuan itu lantas menjentikkan jarinya sembari tersenyum puas.
"Yang warna putih, cantik dan elegan!"
...***...
Darren saat ini tengah berada di sebuah restoran yang cukup mewah. Malam ini, dirinya berniat akan melakukan dinner bersama Devan dan teman lamanya. Iya, mereka tidak berdua melainkan berempat. Namun, di antara keempatnya hanya Darren dan Devan saja yang sudah menikah mengingat mereka yang paling tua.
Sudah empat puluh lima menit Darren menanti kehadiran sahabatnya, tetapi ketiganya tak juga memunculkan batang hidungnya. Pria itu berdecak kesal, jam Indonesia adalah jam yang cukup tidak berguna baginya. Bagaimana tidak berguna, jika janjian pukul 19.00 wib dan baru bersiap pukul 19.00 wib. Sangat mencerminkan kesantaian yang luar biasa.
Darren meminum kopinya hingga tandas. Pria iru sudah sangat lama menunggu, tetapi ketiga temannya tak juga tiba. Dia berulang kali menghela nafasnya dengan kasar berharap rasa kesalnya mereda.
Ck, Indonesia people!
"Sorry telat, tadi Yana larang pergi."
Suara dari Devan itu membuat Darren menghembuskan nafasnya lega. Tak berselang lama kedua teman lamanya akhirnya tiba juga. Mereka datang dengan senyum tak berdosa yang terpatri di wajahnya.
"Gua kira tinggal di Amerika buat lu pada jadi disiplin sama waktu," sindir Darren dingin.
Devan yang mendengar itu hanya terkekeh pelan. Dirinya sangat tahu sifat Darren yang selalu tepat waktu itu. Pria itu tak pernah membuat orang lain menunggu, tetapi dirinya yang selalu menunggu.
"Ya, maaf namanya juga Jakarta, macet!" sahut pria dengan kaos biru.
"Alasan lu basi," ceplos Devan.
"Berisik!" celetuk seorang pria dengan nada tak suka.
"Duduk lu berdua. Sampai kapan mau berdiri?" ujar Darren setelah usai mengunyah kentangnya.
Kedua pria itu akhirnya duduk berhadapan dengan Darren dan Devan. Keempatnya nampak masih tampan di usia mereka yang tidak musa lagi, bahkan mereka masih nampak menggoda walau usianya sudah jauh dari angka 20 tahun. Paras rupawan, harta melimpah, dan kejayaan yang mereka miliki, sangat sempurna.
"Apa kabar Refan dan Leon?"
Refano Alaskar, pria berusia 33 tahun itu selalu menampilkan raut dinginnya. Refano atau yang kerap disapa Refan itu memang terkenal dengan sifat tak acuhnya. Dirinya merupakan seorang pengusaha yang bergerak di bidang properti. Refan saat ini masih melajang, pria itu memang sangat sulit untuk diluluhkan.
Leonathan Gabriel, pria yang dikenal sebagai casanova itu memang memiliki sifat yang ramah. Leon sapaannya, pria dengan sejuta perempuan cantik dan seksi di sekitarnya. Di usianya yang sudah menginjak 34 tahun itu tak membuatnya berpikir untuk menjalin hubungan serius. Pria itu bahkan semakin memperbanyak jumlah perempuannya.
"Baik," sahut Refan dan Leon serempak.
"Gimana di Amrik?" tanya Devan sembari meminum jusnya.
"Biasa aja," sahut Refan tanpa minat.
Dia terkekeh pelan. "Elu masih betah jadi buaya?" tanya Darren pada Leon.
Leon menyugar rambutnya ke belakanf. "Oh, tentu saja!"
Ketiga sahabatnya yang mendengar itu hanya menggelengkan kepalanya heran. Kelakuan Leon memang sudah tak asing bagi mereka. Pria itu berubah menjadi laki-laki yang senang merayu saat dihianati oleh kekasihnya dulu. Semua hal ada penyebabnya begitu juga dengan sifat playboy yang melekat dalam diri Leon.
"Hati-hati karma lu," cetus Devan.
"Enggak takut gua," sahut Leon angkuh sembari menyesap batang rokoknya.
"Dih sok-sokan elu! Ntar nemu cewek yang beda dari yang lain terus lu jadi bucin, gua mampusin lu!" pekik Darren.
"Semua cewek itu sama aja, penghianat!" ceplos Leon.
"Dendam masa lalu," celetuk Refan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments