"Cell!"
Panggilan itu, itu panggilan dari Darren. Cellyn yang tengah bersantai di kamarnya, segera bangkit dari kasurnya. Dirinya melirik jam yang bergantung di dinding, sudah jam makan malam. Pantas Darren memanggil dirinya.
Cellyn segera turun ke bawah, tepatnya ruang tamu. Cellyn tak ingin membuat sang Ayah menunggu dirinya terlalu lama. Setibanya Cellyn di ruang tamu, bisa ia lihat Darren tengah mengobrol dengan seorang pria yang sekiranya seumuran dengan Darren. Ia mengamati pria itu baik-baik, seperti tak asing, pikirnya. Daripada membuatnya semakin penasaran, Cellyn memilih menghampiri dua pria itu.
Eh? Papa manggil aku bukan buat makan malam?
"Kenapa, Pa?" tanyanya pada Darren saat tiba di hadapannya.
Darren mendongak guna menatap putrinya. "Sini, Sayang," ujarnya sembari menepuk sofa di sebelahnya.
Dirinya memandang Darren lamat lantas mengganguk. Pikirannya masih melayang jauh pada pria yang kini duduk di sebelah dirinya. ia seperti pernah menghabiskan waktu dengannya, tak hanya itu Cellyn seperti tak asing dengan wajahnya. Diliriknya Darren yang tengah menyeruput kopi hitamnya, sadar akan lirikan Cellyn, Darren menoleh menatap anaknya.
Ia berdehem sejenak. "Owh, iya. Cell, ini Om Devan. Kamu masih ingat dia?" tanya Darren.
Cellyn tak langsung menjawab, ia masih terdiam dengan pikiran yang melayang entah kemana. Memori otaknya mencoba mengingat tentang pria yang berada di hadapannya. Cellyn memandangi pria tersebut dengan intens, ia bahkan mulai mencoba mengenali aroma parfumnya. Matanya mendelik saat berhasil mengingat siapa pria yang sedari tadi berbincang dengan ayahnya.
"Om Devano Brawirya!" pekiknya tak sengaja.
Darren terkekeh sembari mengelus surai Cellyn. "Hahaha ... akhirnya kamu ingat juga, hm?" Cellyn mengganguk singkat sebagai jawaban.
"Bagaimana kabarmu, Cell?" tanya Devan.
Pandangannya kini sepenuhnya teralih padanya. "Baik, Om. Om sendiri gimana?" ujarnya diselingi senyum kecil.
Dia mengganguk sekilas. "Baik juga. Ternyata kamu sudah besar, ya."
Cellyn terkekeh mendengar ucapan Darren. Ah, dia makin tampan saja, mirip seperti Sugar Daddy, pikirnya. Cellyn segera menepis pikirannya yang mulai berkeliaran kemana-mana. Dapat ia rasakan, Devan memandangi dirinya dengan intens dan itu sukses membuatnya grogi.
Seperti yang kalian tahu, dia Devano Brawirya, teman Darren semasa duduk di bangku SMA. Devan lah yang sudah membantu Darren dalam mengurusi Cellyn dulu. Devan juga yang selalu menemani kemana pun dirinya pergi. Dia sudah seperti Om kandung saja bagi Cellyn. Mengingat Ayah dan ibunya anak tunggal.
"Tidak mungkin dia kecil terus, Dev," kekeh Darren.
Cellyn tersenyum canggung. "Kata Papa bener, Om. Masa Cellyn kecil terus. Btw, Om udah nikah, ya? Pasti udah punya Anak."
Dia mengganguk pelan. "Sudah lima tahun yang lalu. Anak saya baru dua tahun, Cell," sahutnya.
Cellyn menggangukan kepala pertanda mengerti. Tatapannya tanpa sengaja menangkap cincin yang melingkari salah satu jari Devan. Jadi, dia benar sudah menikah toh. Baguslah, setidaknya dia tak kesepian. Pasti perempuan itu beruntung mendapatkan seorang Devano Brawirya, pikir Cellyn.
"Kamu gimana? Sudah menikah?" Darren menggeleng keras mendengar pertanyaan Devan dan hal itu membuat Cellyn mendengus kasar.
"Hahaha ... Bagaimana putri semata wayangku akan menikah, Dev? Jika, otaknya hanya berisi stetoskop, jarum suntik, infus, dan masih banyak lagi," gurau Darren.
"Papa!" rajuk Cellyn yang dibalas kekehan.
"Kamu Dokter?" tanya Devan, dapat Cellyn lihat jelas raut terkejutnya.
"Iya, Om."
"Wah, sudah cantik, Dokter pula."
***
Refan saat ini tengah berada di rumah orang tuanya, dirinya memang tinggal di rumahnya sendiri. Pria itu akan berkunjung ke rumah orang tuanya dua kali sehari. Jika, dia tidak pulang maka sang Ibu akan mengancam dirinya. Refan hanya bisa pasrah jika Ibu Negara yang sudah angkat bicara.
Pria itu tengah menikmati kopi buatan sang Ibu. Dia sangat menyukai rasa dari kopi yang ibunya buat, rasanya berbeda dari kopi lainnya. Tidak hanya kopi, Refan pun menyukai masakan sang Ibu. Pria itu menyeruput kopinya sembari menatap sang Ibu yang tengah memasak makan malam.
"Gimana kerjaan kamu, Fan?" tanya Diana.
Diana Ashari, seorang janda berusia 62 tahun. Suaminya meninggal karena keracunan saat Refan masih kuliah. Setelah diselidiki Polisi, Almarhum suaminya meninggal karena diracuni oleh sahabatnya sendiri. Semenjak kematian sang Suami, Diana hidup sebagai janda. Dirinya tak ingin kembali menikah.
Diana, sosok Ibu yang pengertian. Merawat Refan seorang diri saat Refan berusia 21 tahun. Wanita itu terlatih menjadi kuat, dirinya selalu berusaha memenuhi kebutuhan Refan. Dulu, mereka bukanlah keluarga berada seperti sekarang. Berkat kerja keras Refan, mereka dapat hidup berkecukupan.
"Lancar aja, Bu." Refan memandang Diana dengan senyum.
Tangan wanita itu dengan lihat memotong sayur-sayuran. "Kamu gak mau nikah, Fan? Usiamu udah tua itu," ucap Diana.
Dia menghela nafas. "Enggak sekarang, Bu. Refan belum nemu perempuan yang tepat," jawabnya lembut mencoba membuat Diana mengerti.
"Yo, tapi jangan kelamaan, Fan. Karatan punyamu nanti." Refan mendengus kasar mendengar ucapan sang Ibu.
"Sakarep Ibu ajalah!"
***
Alika memandang sang Ayah dengan senyumannya. Dirinya saat ini tengah mencoba membujuk sang Ayah untuk mengembalikan semua fasilitasnya. Iya, fasilitasnya sudah sering disita oleh ayahnya dikarenakan hal yang menurut Alika tak penting.
Sang Ibu menghela nafas saat melihat Anak semata wayangnya tengah mencoba membujuk ayahnya. Dia tak habis pikir dengan kelakukan Alika yang jauh dari kata anggun. Wanita itu sering kali dibuat pusing oleh kelakuan Anak semata wayangnya.
"Ayolah, Yah! Balikin fasilitas Lika!" rengek Alika.
"Enggak." Pria itu menjawab dengan pandangan yang tertuju pada layar televisi.
Mendengar jawaban sang Ayah membuat perempuan itu mendelik garang. Tatapan Alika beralih ke ibunya yang tengah merapikan meja makan. Dirinya akan meminta bantuan sang Ibu kali ini.
"Bun—"
"Kalau Ayah kamu bilang enggak ya enggak, Ka. Kamu juga, umurmu udah 28 tahun, tapi masih aja buat Anak orang bonyok. Gimana mau dapat suami kamu?" potong Yanti.
"Bunda mah gitu! Enggak sayang sama Lika, si buntung tuh yang lebih duluan ngatain Lika bar-bar, Bun! Ya, udah Lika patahin aja tulang lehernya," cerocos Alika.
"Faktanya kamu bar-bar," cetus Wira.
Yanti Alria dan Wira Derata. Orang tua dari Alika, keduanya merupakan pasangan yang jauh dari konflik. Setiap masalah selalu mereka selesaikan dengan kepala dingin. Saat mereka marah, mereka akan menjauh satu sama lain untuk mendinginkan kepala mereka. Wira merupakan seorang pengacara sukses, sedangkan Yanti hanya seorang Ibu rumah tangga.
"Ck, Ayah mah!" sentak Alika.
Wira menaikkan satu alisnya. "Kamu, kan pemilik restoran bintang lima, masa fasilitas yang Ayah sita aja kamu tagih," cetus Wira.
Alika menghela nafasnya kasar. Memang yang Wira sita adalah pemberian darinya sebagai hadiah ulang tahunnya saat usia 17 tahun. Sebenarnya, Alika memiliki mobil sendiri dari hasil jerih payahnya. Namun, hadiah dari Wira merupakan mobil kesayangannya.
"Rasanya beda kalau mobil dari Ayah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Eli Astuti
terlalu banyak pemainnya
2022-11-28
0