"Apa maksud Ibu?" Aku bertanya pada Ibu dengan bibir bergetar.
Ibu menggenggam kedua tanganku.
"Nduk, kamu diminta oleh Pak Jansen untuk jadi cucu menantunya."
Aku melepas genggaman tangan Ibu.
"Kenapa harus aku? Aku baru 17 tahun, Bu. Apa Ibu tega membiarkanku menikah di usia yang masih sangat muda?"
"Betul itu, Dek Inah. Si Nduk Cinta itu baru lulus SMA, masa langsung mau dinikahkan. Macam orang jaman dulu saja, lulus sekolah langsung nikah. Tapi, ngomong-ngomong, Pak Jansen-Jansen itu siapa tho? Memangnya kamu kenal sama dia? Kok mau-maunya menyerahkan anak gadis satu-satunya ke dia?" timpal Bude Sri.
Ibu menghela nafas. Kami semua terus menunggu jawaban dari Ibu.
"Mbak Sri ... apa mbak masih ingat? Empat belas tahun lalu, saat pembangunan perumahan mewah di belakang komplek rumah kita ini. Pak Jansen itu adalah pemilik perusahaan yang dulu membangun perumahan mewah itu. Dia pemilik JB Grup. Dulu, Pak Jansen kan bersahabat dengan almarhum bapak mertuaku, kakeknya Cinta. Menurut Pak Teddy yang tadi datang kemari, mereka berdua sudah berjanji akan menjodohkan cucu-cucu mereka saat sudah dewasa. Yaitu tepatnya saat Cinta sudah menginjak usia 17 tahun. Makanya sekarang Pak Jansen akan menepati janji yang pernah mereka buat 14 tahun lalu." jelas Ibu panjang lebar.
"Ibu! Omong kosong macam apa ini?" Aku mulai marah.
"Cinta... Kamu sendiri sebenarnya sudah mengenal siapa calon suamimu itu. Saat kamu kecil, kalian selalu bermain bersama. Pak Jansen selalu membawa serta cucunya saat meninjau proyek pembangunan perumahan disitu." lanjut Ibu.
Aku mulai diam sekarang. Apa benar aku pernah mengenal laki-laki yang akan dijodohkan denganku?
"Hmm, trus kamu jawab apa ke asistennya Pak Jansen? Apa kamu menerima perjodohan itu?" tanya Bude Sri penasaran.
"Iya, Mbak. Aku menerimanya. Apa boleh buat. Bapak mertua dan Pak Jansen benar-benar membuat surat perjanjian itu. Bahkan ada foto mereka berdua di surat itu."
"Apa Teteh tidak memikirkan perasaan Neng Cinta? Kenapa Teh Inah langsung menyetujuinya? Harusnya tanyakan dulu atuh ke Neng Cinta, mau tidak dijodohkan sama cucunya Pak Jansen?" Imbuh Teh Rina.
Ibu menatapku. Kembali di raihnya kedua tanganku.
"Nduk... Menjalankan wasiat orang yang sudah meninggal, itu adalah kewajiban untuk yang masih hidup. Apalagi, keluarga Pak Jansen adalah keluarga terhormat. Pasti kamu sangat beruntung menjadi bagian dari keluarga itu. Jujur Ibu awalnya sedih mendengar semua ini. Tapi, setelah ibu pikir, ini adalah keputusan yang tepat untuk menerima perjodohan kalian."
"Tidak! Cinta tidak mau, Bu!" Aku berdiri memandang Ibu yang duduk bersimpuh memintaku menuruti keinginan kakekku.
"Cinta tidak mau dijodohkan! Kalau Ibu mau, Ibu saja yang menikah dengan cucunya Pak Jansen!" kesalku.
Dan akupun melangkah pergi dari ruang tamu dan menuju kamarku. Kubanting pintu kamar dengan keras, lalu kukunci dari dalam. Aku marah.
Hari ini adalah hari yang bahagia untukku. Tapi seketika berubah jadi hari paling mengerikan. Kenapa Ibu tega melakukan ini padaku?
Aku membanting tubuhku ke tempat tidur. Dan aku membenamkan wajahku ke dalam bantal. Aku menangis disana. Aku kecewa. Aku kecewa pada Ibuku.
...***...
Beberapa hari ini aku belum bicara pada Ibu. Aku masih kesal padanya. Meski Bude Sri, Bulik Tati dan Teh Rina selalu menenangkanku dan memintaku untuk bicara baik-baik dengan Ibu, namun aku masih belum bisa untuk melakukannya. Rasanya terasa berat. Aku tak faham dengan jalan pikiran Ibu.
Hingga akhirnya, Pak Teddy kembali datang ke rumah. Dan aku bertemu dengannya.
"Apa kabar Nona Cinta? Senang bisa bertemu langsung dengan Nona. Nona sudah tumbuh besar sekarang." sapa Pak Teddy padaku.
Oke! Pak Teddy adalah orang yang baik, dan ramah. Dia selalu tersenyum saat bicara denganku. Aku tidak bisa mengabaikannya. Dia terlalu ramah dan sopan. Bagaimana bisa aku bersikap jahat padanya?
"Apa bapak mengenalku?" tanyaku polos.
"Tentu saja. Saya mengenal Nona sejak Nona masih kecil," jawabnya dengan mengulas senyum.
"Tunggu sebentar! Jangan memanggilku Nona. Terdengar aneh ditelingaku. Panggil saja Cinta." ucapku.
"Dari dulu saya memanggil Nona dengan sebutan Nona. Mungkin Nona lupa karena masih sangat kecil."
Aku menggaruk kepalaku. "Ya sudah, terserah bapak saja. Ada perlu apa bapak datang kemari? Ibu sedang ada di warung." tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.
"Saya kesini bukan untuk menemui Ibu Inah. Tapi untuk menemui Nona."
"Eh?" Aku tercengang.
"Mari ikut saya Nona. Saya akan mengajak Nona ke suatu tempat," ajak Pak Teddy.
"Eh, tunggu dulu! Aku harus izin pada Ibu dulu," sergahku cepat. Aku tidak bisa ikut dengannya tanpa izin dari ibuku.
"Tenang saja. Saya sudah meminta izin pada Ibu Inah, dan beliau menyetujuinya."
"Hah?" Dan sekali lagi aku tercengang.
Entah kenapa sikap hangat Pak Teddy membuatku merasa nyaman. Aku setuju untuk ikut dengannya. Aku masih belum tahu akan dibawa kemana olehnya. Aku tak berani bertanya.
Ketika kami akhirnya tiba di sebuah tempat, Pak Teddy memintaku turun.
"Silahkan turun, Nona! Sudah sampai."
"Ini kan...?" Aku mengernyitkan dahi. Kami tiba di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Untuk ketiga kalinya, aku tercengang.
...***...
Aku menatapi seluruh barang belanjaanku yang memenuhi seisi kamar. Ada rasa bingung yang menggebu. Kenapa aku mau melakukan ini? Apa aku bersedia untuk dijodohkan dengan cucu Pak Jansen? Aku masih tak tahu jawabannya.
"Nduk...." Ibu memasuki kamarku.
"Banyak sekali barang yang kamu beli. Apa tidak sayang uangnya?"
"Aku tidak tahu, Bu. Pak Teddy bilang, dia diberi daftar oleh istri Pak Jansen dan harus membelikan semua barang yang ada di daftar itu. Aku tidak menyangka akan sebanyak ini."
"Jadi ... kamu menerima perjodohan ini?"
"Ibu! Bukan begitu!" Perasaan sesal mulai menggelayutiku.
"Kamu sudah menerima semua barang-barang ini, tentu saja kamu harus menerima pinangan mereka." ucap Ibu.
"Ibu, kita bisa mengembalikannya jika menolak. Iya kan?" ucapku enteng.
"Tidak semudah itu, Nduk. Mereka pasti akan membuat masalah ini jadi panjang jika kamu tiba-tiba mengembalikan semua barang-barang ini. Pak Jansen adalah orang berkuasa."
"Ibu! Aku tidak mau dijodohkan..."
Air mataku tiba-tiba mengalir deras di pipiku. "Hiks hiks, aku tidak mau menikah, Bu... Hiks hiks, aku ingin kuliah, hiks hiks."
Akupun memeluk erat tubuh Ibu dan menangis disana.
"Ibu tahu, Nduk. Tapi bagaimana kamu bisa kuliah? Dapat uang dari mana, Nduk?"
Aku makin mengencangkan suara tangisku. Aku tahu jika Ibu tidak akan bisa membiayai kuliahku. Meski aku mendapat beasiswa. Ibu belum tentu setuju aku lanjut kuliah.
Aku menangis sekencangnya di pelukan Ibu. Aku ingin mengeluarkan semua kesedihanku. Dan sekali lagi aku berteriak,
"Aku tidak mau dijodohkan!"
...©©©...
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
🎤🎶 Erick Erlangga 🎶🎧
LG mantau 🧐
2022-05-29
1
SoVay
perjodohan anak skolah 💖
2022-05-20
0
Ghiie-nae
jodoh di jalanin dulu aja...
2022-05-13
0