Lu[C]Ka Cinta
Apa yang paling kalian sukai saat masih SMA? Bertemu teman satu-geng? Bertemu cinta pertama? Atau menikmati saat-saat membolos pelajaran? Aku sangat menikmati masa-sama SMAku ini. Tapi, pasti ada hal yang sangat tak terlupakan selain itu semua.
Hari kelulusan. Hari dimana jantung berdegup lebih cepat dari biasa, tak sama dengan jatuh cinta pastinya, atau bisa jadi lebih. Perjuangan selama tiga tahun menempuh masa-masa indah di sekolah, ditentukan oleh hari ini.
Semua murid merasa harap-harap cemas. Tak terkecuali aku. Namaku Cinta. Aku pergi sekolah sendirian di hari kelulusan ini. Karena Ibuku, tak bisa menemaniku mengambil surat kelulusan bersamaku. Ibu harus bekerja. Kami memiliki usaha warung makan Tegal atau biasa di singkat 'Warteg'.
Ibuku berasal dari Tegal, juga almarhum Bapakku. Tapi aku, sejak kecil dibesarkan di lingkungan padat merayap Ibu Kota, alhasil, aku tidak bisa fasih berbahasa 'Ngapak' seperti Ibuku.
Murid-murid seangkatanku dikumpulkan di aula sekolah. Disini akan diumumkan siapa yang mendapat nilai tertinggi tahun ini, dan lulus dengan predikat terbaik. Tentu saja aku berharap namaku disebut oleh Ibu Kepala Sekolah.
"Predikat lulusan terbaik pada tahun ini, diraih oleh ... Cinta Putri!"
"Eh?"
Aku masih tak percaya dengan apa yang kudengar. Aku masih diam mematung, sementara Lala, sahabatku, terus berteriak gembira dan memelukku. Ini adalah akhir dari perjuanganku selama tiga tahun ini.
"Cinta Putri! Silakan naik ke podium!"
Sekali lagi Ibu Indah memanggil namaku. Aku menghela nafas terlebih dahulu.
"Selamat! Kamu lulus dengan nilai terbaik, Cinta. Ibu bangga padamu!"
Ibu Indah memberi selamat padaku. Aku membalasnya dengan senyuman terbaikku. Aku merasa ini adalah hari terbaik dalam hidupku.
Aku memberikan sedikit pidato di depan teman-temanku. Dan mereka semua bertepuk tangan merayakan kesuksesanku. Senyum mengembang selalu kusunggingkan selama satu hari ini.
Acara pengumuman kelulusan telah usai. Kini berganti ajang coret mencoret seragam putih abu-abu kami yang tidak akan kami pakai lagi. Secara teknik memang tidak akan kami pakai lagi, tapi aku ingat dengan pesan ibuku yang mengatakan agar tidak mencoret seragam putihku dengan spidol ataupun pilox. Karena masih bisa kita sumbangkan untuk anak-anak yang kurang mampu jika memang masih layak pakai.
Saat Lala ingin mencoret bajuku, sontak aku melarangnya. Aku harus menuruti nasihat Ibu. Dan itu memang nasihat yang baik. Lalu, Lalapun mengerti.
Aku hanya memandang teman-temanku yang sedang bercorat-coret ria bersama. Aku ikut tertawa melihat tingkah mereka. Padahal guru sudah memperingatkan untuk tidak melakukan corat-coret. Tapi jumlah siswa disini lebih banyak ketimbang guru yang melerai. Jadilah seisi sekolah sekarang jadi berwarna warni bak pelangi.
...***...
Aku berjalan pulang ke rumah dengan senyum mengembang di bibirku. Aku sudah tak sabar untuk memberitahu kelulusanku pada Ibu. Aku putuskan akan mampir ke warteg dulu.
"Ibu..." Sapaku.
Aku tak mendapati Ibu disana. Hanya ada Bulik Tati, asisten memasak Ibu.
"Ibu kemana, Bulik?"
"Ibumu pulang ke rumah. Tadi ada tamu yang datang."
"Tamu?" Aku mengernyitkan dahi.
"Bulik ora kenal. Mbuh sapa. (Tante tidak kenal. Tidak tahu siapa). Tapi pakaiannya sangat rapi, berdasi dan berjas."
Aku tambah mengernyitkan dahi mendengar penjelasan Bulik Tati. Aku berpamitan dengan Bulik Tati dan melanjutkan perjalananku ke rumah.
Di gang yang akan memasuki rumah, aku melihat sebuah mobil mewah terparkir. Jangan-jangan ini adalah mobil tamu yang tadi Bulik Tati sebutkan? Aku mempercepat langkahku agar segera sampai di rumah. Sungguh aku sangat penasaran siapa yang menemui Ibu.
Ketika hampir sampai menuju rumah, tiba-tiba ada yang mencegatku dan membawaku masuk ke dalam rumah. Bude Sri. Dia adalah tetanggaku.
"Bude? Bikin kaget saja." Aku memegangi dadaku.
"Sssstttt!" Bude Sri menyuruhku diam.
Ada apa ini sebenarnya?
"Eh, Nduk. Apa benar kowe iki arep didol?" (Eh, nak. Apa benar kamu ini mau dijual?)
"Hah? Dijual? Dijual bagaimana bude?"
"Kumaha ieu Bude? (Bagaimana ini Bude?) Jadi beneran, Neng Cinta teh mau dijual? Kasihan pisan!"
Dan sekarang gantian Teteh Rina ikut menyambar masuk ke rumah Bude Sri. Kami semua bertetangga. Dan kami berasal dari daerah yang berbeda-beda. Bude Sri dan Pakde Gun, dari Jogja. Mereka berjualan gudeg Jogja disini. Lalu, Teteh Rina orang Sunda dan suaminya Uda Faisal yang orang Padang. Mereka berjualan Nasi Padang. Aku, Ibuku dan Bulik Tati, berasal dari Tegal, kami berjualan warung nasi Tegal atau Warteg. Sungguh keberagaman yang indah bukan?
Baik, kembali ke topik soal 'dijual'. Aku sangat tidak mengerti dengan maksud yang mereka bicarakan.
"Bude, Cinta tidak paham dengan maksud Bude dan juga Teteh. Siapa yang mau dijual?" Aku lebih memilih menjawab dengan bahasa nasional saja agar mudah dipahami oleh semua orang.
"Ya kamu, Nduk. Itu lho ada orang yang datang ke rumahmu. Dia bilang dia mau membelimu."
"Hah?" Aku terperanjat kaget.
"Bude, kenapa bilang begitu? Ibu tidak mungkin menjualku."
"Dari pada kita salah info. Hayuh atuh kita datang ke rumah Teh Inah saja." usul Teh Rina. Sebenarnya usia Teh Rina hampir sama dengan Bulik Tati, tapi dia tidak mau dipanggil Bibi, dan memintaku memanggilnya 'Teteh'. Biar kelihatan awet muda katanya, hihihi.
Kami bertiga melangkah dengan cepat menuju rumahku. Bude Sri mengucapkan salam lalu masuk ke rumah. Aku dan Teh Rina mengekorinya dari belakang.
Ibuku sedang duduk sendiri di ruang tamu. Tamu yang tadi datang sudah tak ada lagi disana.
"Dek Inah..." Bude Sri memanggil Ibuku.
"Ibu..." Aku duduk di dekat Ibuku.
Ibu menatapku dengan tatapan sedih. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Dek Inah, siapa tamu yang tadi datang kesini? Apa Dek Inah mengenalnya?"
Ibu membelai wajahku.
"Ibu... Apa Ibu tahu kalau aku berhasil lulus, Bu. Aku lulus dengan nilai terbaik." ceritaku pada Ibu.
Ibu tidak merespon ucapanku. Ibu malah meneteskan air mata.
"Lho, Teh Inah kok menangis?" Teh Rina ikut bersedih.
"Ya sudah, kita biarkan dulu Dek Inah menenangkan diri. Nanti baru bicara lagi." Bude Sri hendak melangkah pergi.
"Tidak usah, Mbak Sri. Aku tidak apa-apa kok." Ibu menghapus air matanya.
"Cinta, putriku yang cantik. Tadi itu ... adalah Pak Teddy. Dia asistennya Pak Jansen Bahari. Dia datang kemari atas perintah Pak Jansen." ucap Ibu.
"Lalu?" Aku mengerutkan keningku.
"Pak Jansen bermaksud menjodohkan cucunya dengan kamu."
"Hah?!" Seketika itu pula aku, Bude Sri, dan Teh Rina melongo karena sangat terkejut.
"A-apa maksud Ibu?" ucapku terbata.
Kakiku mulai terasa lemas. Kepalaku terasa berkunang-kunang.
Dijodohkan? Yang benar saja!! Aku baru 17 tahun. Dan aku baru lulus sekolah. Ini tidak mungkin. Ini pasti mimpi!
...©©©...
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Kurnaesih
mampir Thor 🥰
2024-10-04
1
🎤🎶 Erick Erlangga 🎶🎧
baru mampir ☝️
2022-05-29
1
Ghiie-nae
aku baru mampir nih di sini
2022-05-13
0