MALAM PEMBANTAIAN

"Apakah Ayah baik-baik saja?" tanya Zhang Rui tampak khawatir pada keadaan pria tua yang telah mengasuhnya sejak dia ditinggal sang ibunda permaisuri. "Kalau keadaan Ayah sedang tidak begitu baik. Mungkin ada bagusnya jika kita tunda dulu kepegian ini. Tunggulah hingga Ayah benar-benar sehat."

"Tidak apa-apa, Rui. Ini penyakit lama yang sulit untuk disembuhkan," jawab Zhang He. "Kita tetap akan berangkat ke Hutan Mistis itu hari ini."

"Tapi, Ayah!"

"Tidak ada tetapi, Rui!" Zhang He terlihat tidak suka jika Zhang Rui yang ditempati oleh roh Ryana ini menentangnya. Bagi Pria itu, keberangkatan ke Hutan Mistis tidak boleh ditunda-tunda lagi, karena ada sesuatu yang membuatnya khawatir.

"Aku tahu itu, Ayah Angkat. Tetapi aku ... aku memiliki sebuah firasat tidak baik yang akan terjadi di desa ini."

"Firasat apa?"

Ryana terdiam sesaat dengan hati bimbang. "Desa ini akan hancur malam ini juga." 

"Apa?" Zhang He terkejut dengan apa yang baru saja dituturkan oleh anak angkatnya ini. "Rui, apakah kau ini benar-benar sudah sakit?" 

"Aku tidak sakit, Ayah! Ini benar-benar akan terjadi!" Bagaimana mungkin Ryana akan berterus terang kepada Zhang He, kalau dia adalah author dalam dunianya yang sekarang ini.

"Firasatku mengatakan demikian, bahwa desa ini akan hancur malam ini juga! Akan ada sekelompok orang yang datang untuk melakukan kerusuhan dan pembantaian. Dan juga kobaran si jago merah yang akan membumihanguskan desa ini!"

"Cukup!" Zhang He berdiri dan membentak Ryana Zhang dengan wajah marah. 

Mendengar bentakan itu, hati Ryana menjadi ciut dan takut. Dia tidak melupakan tentang karakter Zhang He yang keras hati, tegas dan tidak suka ditentang oleh siapa pun. Karena meskipun penampilannya adalah seorang pengemis, akan tetapi sebenarnya dia adalah bukanlah orang yang biasa saja.

"Rui ... sesungguhnya identitasmu tidaklah biasa! Kau setiap hari dikejar dan diburu oleh mereka. Hanya satu yang bisa aku lakukan, yaitu menyembunyikanmu di hutan itu," ujar Zhang He setelah merasa sedikit lega.

Ryana Zhang merasa sangat bingung untuk menyampaikan suatu hal kepada pria yang terkenal cukup keras hati ini. Namum, sepertinya masih ada sebuah cara yang bisa dia lakukan untuk mencegah sesuatu yang telah dia ketahui sebelumnya.

Gadis itu hanya bisa mengumpati dirinya sendiri dalam hati. "Sial sekali aku ini! Aku telah menyusun sebuah scene penghancuran Desa Pengemis hingga penduduknya tak tersisa! Aaaahh ... The Realm Of Cultivation novel sialan ini! Kau benar-benar membuatku sial berlipat gandaaa!"

"Haaah! Bukankah itu aku sendiri yang menyusunnya?" Ryana sungguh ingin melampiaskan kekesalan hatinya, tetapi dia masih bergeming di tempat duduknya sambil masih menggenggam roti beras yang sangat tidak enak. 

"Ayah, bolehkah aku berpamitan dahulu kepada penduduk desa ini secara pribadi? Terutama kepada bibi gendut itu." Ryana mencoba sebisa mungkin untuk memiliki alasan agar bisa menemui penduduk desa. 

"Baiklah, lakukanlah! Ayah juga masih harus menyiapkan segala keperluan kita." Zhang He pun segera beranjak dari tempat itu.

"Kesempatan bagus!" gumam Ryana dalam hati. Gadis itu segera keluar dari gubuknya untuk menemui seorang wanita yang menjadi pengasuhnya setelah kepergian ibunya. Gadis itu berjalan dengan langkah cepat menuju ke sebuah rumah yang tidak lebih layak dari kediaman Zhang He.

"Bibiii! Bibiii!" teriak gadis itu setelah tiba di halaman rumah yang ditujunya. Tidak ada sahutan sama sekali dari dalam rumah yang sepi itu. Ryana mengetuk pintu berulang kali dengan tergesa-gesa, akan tetapi tetap tidak ada jawaban.

"Ke mana bibi Rong ini?" Ryana Zhang semakin gelisah, hingga berjalan hilir mudik di tempat itu. Gadis itu memilih untuk duduk di tepian rumah beralaskan tanah itu dengan kebingungan. Tiba-tiba terlintas sebuah pemikiran. "Surat!"

"Aahh, bagaimana caraku menulis surat tanpa kertas dan bolpoint atau tintaaaa?" Ryana Zhang sang author yang kini menempati tubuh Zhang Rui kembali menjadi bingung setengah mati. Gadis itu menjambaki rambutnya sendiri hingga menjadi sedikit berantakan.

"Ahaaaa!" Mata bulatnya berbinar, saat melihat selembar kain usang berwarna coklat yang tersampir di tempat pengeringan baju. "Maaf, bibi. Ini sangat darurat!"

Gadis itu mengambil kain tersebut dan berlari ke arah perapian guna mencari arang untuk dijadikan alat tulis. Ryana Zhang menuliskan sebuah surat peringatan yang isinya himbauan agar para penduduk segera meninggalkan desa sebelum tengah malam tiba.

"Selesai!" Ryana Zhang memperhatikan isi surat itu sambil menggigit bibir bawahnya sendiri. "Aku tak perlu meninggalkan namaku di sini. Tulis saja, dari ...."

Ryana berpikir untuk sebuah nama yang tepat dan tidak membuat takut para penduduk. "Mungkin ini cocok!"

Gadis itu menuliskan kalimat. "Dari Dewi Phoenix, bukankah itu memang martial soul milik Zhang Rui ini?"

"Okay, it's done!" serunya dalam hati sambil tersenyum puas. "Hanya itu yang bisa kulakukan untuk kalian semua sebelum aku pergi!"

Ryana Zhang segera melipat kain lusuh itu dan meletakannya di depan pintu masuk rumah wanita bernama Zhang Rong. "Selamat tinggal, bibi Rong dan juga kalian semua! Setidaknya aku sudah melakukan pencegahan atas apa yang akan terjadi seperti yang sudah kutuliskan dalam novel sialan itu!"

Gadis itu segera kembali ke rumahnya sambil berlarian. Sebagai seorang gadis berusia lima belas tahun, dia memang menjadi tidak bisa diam dan tenang. Hanya pikirannya saja yang dewasa, karena rohnya adalah seorang penulis novel online berusia dua puluh tujuh tahun dari dunia moderen.

Sejak diketemukannya surat misterius di rumah Zhang Rong, para penduduk pun menjadi geger. Mereka meributkan tentang isi surat yang dianggap seperti sedang sengaja menyebarkan terror untuk para penduduk Desa Pengemis.

"Itu pasti bohong! Jangan mudah percaya dengan berita yang tidak ada kejelasannya itu!" teriak seorang lelaki setengah tua berwajah tidak menyenangkan. "Bisa jadi itu hanyalah berita untuk membuat resah kita semua!"

"Tapi ini benar-benar tertulis dalam surat yang kutemukan di depan rumahku!" sahut Zhang Rong tak mau kalah.

"Ya sudah, bagi yang percaya dengan isi surat tidak jelas itu, silahkan kalian pergi dari sini!" ujar Zhang He yang baru saja tiba di kerumunan warganya. Pria tua itu datang diikuti oleh Ryana Zhang yang hanya bisa terdiam. "Dan bagi yang tidak percaya, kalian bisa tetap tinggal di Desa Pengemis ini. Untuk urusan Partai Pengemis Bambu Kuning, aku serahkan kepada Zhang Ding!"

"Ketua, ini tidak bisa!" sahut Zhang Ding dengan suara keras.

"Tapi ini adalah perintah dariku!" Zhang He tak kalah tegas. Pria itu menatap satu persatu wajah-wajah kusut warganya yang berpakaian kumal dan dekil.

Para penduduk menundukan wajah masing-masing. Mereka memang sangat takut kepada pemimpinnya ini. Meskipun penampilan Zhang He adalah seorang pengemis, akan tetapi dia memiliki kewibawaan yang tak bisa digambarkan dengan apa pun juga.

"Aku dan anakku juga akan berpamitan pada kalian semua hari ini," ujar Zhang He yang menarik napas hingga beberapa kali setelahnya. "Kalian boleh memilih apa yang kalian anggap baik. Tetap berada di desa ini atau pun pergi, itu juga kalian sendiri yang akan memutuskan."

"Tapi, Ketua. Sebenarnya, akan ke manakah Ketua ini?" bertanya salah satu warga. 

"Aku ada sebuah kepentingan yang juga harus segera diselesaikan. Jadi, kami juga akan meninggalkan desa ini." Zhang He berucap sembari membelai jenggot panjang yang sudah memutih sebagian. "Kalau dari kalian ada yang ingin pergi karena khawatir pada keselamatan diri kalian. Maka, kalian bisa mengikuti kami, sedangkan bagi kalian yang tidak percaya pada surat misterius itu, silahkan tetap tinggal di sini!"

"Ah Rui, mari kita pergi!"

"Baik, Ayah!"

Sesusai berkata demikian, Zhang He dan Ryana berjalan menjauh dari kerumuman tanpa menoleh lagi. Hati Ryana Zhang benar-benar sedih, karena tak ada penduduk yang bergerak mengikuti langkahnya. Gadis itu dalam hati berteriak, "Ternyata, aku masih juga gagaaal!"

Ryana Zhang terus mengikuti Zhang He yang berjalan di depannya dengan bertatihkan sebilah tongkat kayu usang. Ryana sendiri terlihat sedikit kerepotan dengan barang bawaannya. Sesekali gadis itu menoleh ke belakang dengan harapan, para penduduk desa ada yang menyusulnya.

"Sudahlah, Rui! Nasib manusia itu semuanya sudah ada yang menentukan. Kita tidak bisa memaksakan kehendak yang telah turun dari langit atas mereka," ujar Zhang He dengan suara tenang.

"Mmhh," gumam Ryana sambil terus berjalan.

Baru saja beberapa langkah mereka meninggalkan batas desa yang berupa batu besar berpahat nama Desa Pengemis. Terdengar suara teriakan dari dalam gerbang desa.

"Tunggu kami, Ketuaaa!"

Zhang He menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah orang-orang yang berlarian dengan membawa barang-barang berharganya. Senyum lega dari bibir tua pria itu terkembang disertai seruan kecil. "Akhirnya!"

Ryana tak kalah bahagia dan merasa bebannya sedikit terangkat. Ya, setidaknya sebagian penduduk bisa dia selamatkan melalui pesan rahasianya.

Benar saja malam itu juga, sepasukan penunggang kuda diiringi oleh sekawanan serigala berbulu kelabu datang di tengah malam buta mengobrak abrik seluruh pemukiman penduduk. Mereka juga membakar dan membantai warga Desa Pengemis hingga tak tersisa sama sekali.

Jerit kesakitan, pekik kematian dan teriakan histeris dari para wanita yang digagahi secara paksa oleh sekelompok manusia tak bermoral tersebut bagaikan memecah langit di malam itu. Suara tertawa jahat berselingan dengan tangisan bayi serta anak-anak yang kehidupannya berakhir di ujung senjata pria-pria brutal tak berperi kemanusiaan.

Sungguh malam berdarah dengan pembantaian masal yang teramat kejam dan mengerikan. Nyawa para penduduk Desa Pengemis sudah tidak ada artinya sama sekali bagi komplotan manusia durjana ini. Mereka masih bisa tertawa saat baru saja menghabisi orang-orang yang selama hidupnya menderita oleh kemiskinan dan mati secara mengenaskan tanpa adanya sebuah penghormatan.

Seorang pria berwajah bengis dan berbadan tinggi besar menatap kobaran api dari arah kejauhan dengan tatapan marah. Pria itu masih tetap di atas punggung kudanya dengan memegang senjata gada berantai dan berbentuk serupa buah durian.

"Jadi, pria tua dan anak itu tidak diketemukan?" bertanya pria itu disertai bentakan kepada anak buahnya yang datang melapor.

"Benar sekali, Ketua!"

"Bodoh!" Pria itu tak segan-segan menyabetkan gada berantainya ke arah pria pelapor hingga orang itu terpental dan memuntahkan darah segar.

"Rupanya pria tua sialan itu telah pergi dari desa ini!" Kawan dari pria bengis berkata sembari melepaskan sekelompok serigala berbulu kelabu. "Biarkan serigala itu melacak keberadaan mereka."

"Tunggu apa lagi? Cepat kita kejar merekaaaa!" seru si pria bengis kepada pasukannya yang berjumlah tak lebih dari seratus orang.

Sepasukan orang-orang berpenampilan sangar itu segera melesat mengikuti kawanan serigala kelabu yang berlari menerobos kegelapan. Meskipun keadaan malam begitu pekat tanpa sinar bulan, akan tetapi mata para binatang buas yang telah terlatih itu sanggup menembus gulitanya malam.

Di sisi lain ....

"Ayaaah! Aku akan ikut dengan Ayaah!" teriak Ryana yang saat ini dipegangi oleh beberapa orang. Gadis itu memberontak dengan sekuat tenaga, saat Zhang He menyuruhnya pergi bersama warga desa lainnya.

"Kau harus menuruti perintahku, Rui! Ingatlah untuk segera ke Hutan Mistis walaupun tanpa ayah!" Zhang He terlihat bersiap untuk meluncur turun dari tebing. "Tujuan mereka adalah aku, dan kalau aku terus bersama kalian! Maka, kalian pun akan dihabisi oleh mereka!"

"Tapi, Ketua!"

"Sudahlah! Aku hanya ingin kalian semua meneruskan hidup dengan baik. Terutama kau, anakku!" Zhang He menatap Ryana Zhang yang berderaian air mata. Nyala obor bambu menerangi wajah tua yang terlihat sedih. "Pergilah dan ikuti semua pesan ayah! Mungkin tugasku dalam menjagamu hanya bisa sampai di sini saja!"

"Selamat tinggal, semuanya!" Seusai berucap demikian, Zhang He segera melompat turun dari atas tebing untuk menghadang kawanan pengejarnya.

"Ayaaaaah!" Ryana Zhang menjerit dan menangis sejadi-jadinya, akan tetapi para penduduk segera membawanya pergi dari tempat itu.

"Lihat! Itu dia orang yang kita cari!"

"Segera tangkap dia dan bawa menghadap pada pimpinan kitaaa!"

Di sisi lain, dari tempat persembunyian di antara semak belukar. Sekelompok orang saling berpelukan dengan para saudaranya, begitu pula dengan Zhang Rui atau Ryana Zhang yang sedang dalam pelukan Zhang Rong si wanita paruh baya bertubuh gendut.

"Ayaaah, aku berjanji akan menyelamatkan ayah dan membalaskan dendam para penduduk desaaa!" Ryana Zhang berseru sambil menangis.

"Tenanglah Rui! Semoga He Ge baik-baik saja. Sekarang, marilah kita mencari tempat yang aman untuk melanjutkan hidup kita!" ujar Zhang Rong, wanita itu juga menangis. "Beruntung sekali kita pergi dari sana. Jika tidak, mungkin kita semua juga telah tewas seperti saudara-saudara kita."

"Aku berjanji, Bibi! Aku akan berkultivasi agar bisa menyelamatkan ayah dan membalaskan dendam kita semua!" Ryana Zhang mengepalkan tangannya kuat-kuat.

...Bersambung...

Terpopuler

Comments

Nenieedesu

Nenieedesu

sudah aq like favoritkan kak
jangan lupa mampir dan tinggalkan jejak dinovel aq kak dear Handana

2023-06-21

0

𝔸𝕥𝕥𝕒 ልዪሃልፕጎ

𝔸𝕥𝕥𝕒 ልዪሃልፕጎ

jadi inget film G 30 S/PKI 😟😟

2022-06-27

1

Gembelnya NT

Gembelnya NT

Baru ini

2022-05-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!