"Pasukan jenderal? Apa-apaan ini?" Gadis itu bertanya dalam hati. Kesadaran Ryana mulai penuh, dia mulai bisa membuka matanya secara perlahan. Silau sinar surya berhasil membuat sepasang mata bulat itu mengerjap kesakitan hingga beberapa kali, akibat penglihatannya yang secara langsung tertimpa bias cahaya panas menyengat di siang itu.
"Haaa ... di mana aku? Dan siapa mereka?"
"Ah Rui, bangunlah! Kita harus segera menyingkir dari tempat ini!" seru salah seorang pria dewasa berusia empat puluh lima tahun berpakaian dekil dan berambut gimbal. Di tangannya menggenggam sebuah mangkuk kecil dari tanah liat.
"Segera berlutut! Pasukan Jenderal Luo Mian akan segera tibaaaa!" teriak salah seorang yang paling tua di antara mereka.
Orang-orang yang saat ini berada di tepi jalan itu pun, segera berhamburan menata diri untuk memberi penghormatan kepada sepasukan prajurit yang dipimpin oleh seorang jenderal besar bernama Luo Mian. Seorang jenderal muda berwajah tampan dan terkenal tegas dalam setiap tindakannya.
"Jen-Jenderal Luo Mian? Kenapa nama itu terdengar sangat tidak asing?" gumam Ryana Zhang.
"Tentu saja itu tidak asing. Dia adalah jenderal kebanggaan negeri ini. Apakah setelah pingsan tadi ingatanmu menjadi kacau?" Lelaki paruh baya itu membimbing Ryana Zhang untuk berdiri dan berlutut mengikuti orang lain. Namun, Ryana merasakan tubuhnya terlalu lemah hingga dirinya gagal untuk berlutut. Gadis itu terjatuh kembali dengan napas tak beraturan serta wajah sepias kapas.
"Aku tidak sanggup!" bisik Ryana Zhang kepada paman yang tak dia kenal sama sekali.
Dari kejauhan, terlihat sepasukan prajurit bergerak tanpa tergesa-gesa melewati jalanan yang telah dijejali oleh serombongan orang berpakaian dekil, compang-camping dan bau. Tak ada sedikit pun tampak baik pada kelompok berpenampilan pengemis itu dan Ryana Zhang berada di antara mereka.
Pasukan prajurit yang dipimpin oleh seorang jenderal muda nan tampan bernama Luo Mian itu bergerak melewati barisan para pengemis. Bersamaan dengan itu, koin-koin berwarna tembaga pun berhamburan ke arah barisan para pengemis itu. Tak ada ekspresi apa pun dari para pelempar koin saat mereka melewati Ryana Zhang dan rombongannya.
"Terima kasih, kepada para Tuan Prajurit yang dermawan!" seru para pengemis sembari menjura.
Ryana Zhang merasa sangat terhina dengan perlakuan angkuh para prajurit pimpinan jenderal berwajah tampan dengan sorot mata setajam belati. Setelah pasukan prajurit itu berlalu dan menjauh, Ryana berusaha bangkit dan melemparkan koin yang tadi menimpa pelipisnya.
"Dasar para prajurit sombong! Kalian pikir aku ini siapa, haaa?" bertanya Ryana Zhang dengan suara penuh kemarahan. "Kalian pikir aku ini seorang pengemis?"
Seseorang menyambar lengan Ryana Zhang dan berusaha menenangkan gadis itu. "Ruii, Rui tenanglah! Jangan terus marah-marah, Rui!"
"Pak Tua, bagaimana aku tidak marah dengan perlakuan mereka? Mereka telah lancang menganggapku seorang pengemis! Aku ini seorang asisten manager dari sebuah perusahaan terkenal di Kota Xiamen. Dan aku juga seorang penulis novel yang meski belum begitu terkenal, tapi pernah memenangkan beberapa event kepenulisan, you know?" Ryana berucap tanpa memedulikan tatapan heran dari orang-orang yang bersamanya saat ini.
Para pengemis saling berpandangan satu sama lain. Mereka menggelengkan kepala sembari mengangkat bahu, tanda tidak mengerti apa yang diucapkan oleh gadis berusia lima belas tahun itu.
"Rui, sepertinya setelah pingsan tadi. Kau menjadi sedikit ... sedikit sakit." Pria tua berbaju kasar dengan tambalan di sana-sini berkata.
"Siapa yang sakit? Aku hanya pingsan sebentar dan itu sama sekali tidak mempengaruhi cara kerja otakku!" Ryana Zhang berkacak pinggang dengan emosi.
"Benar, Rui ... jujur saja, kami tidak tahu dengan dirimu saat ini. Tapi sudahlah, sebaiknya kita semua kembali ke Desa Pengemis!" ajak pria tua itu dengan lembut.
"A-apa? Desa Pengemis?" Ryana Zhang sangat terkejut.
"Ayo kita segera kembali dan melaporkan pada ketua, kalau Rui sudah berhasil kita temukan!" seru seorang pria lainnya.
"Ayo! Ayo semuanya kita kembalii!"
Rombongan para pengemis itu pun, bergerak maju serentak meninggalkan tempat itu, dengan membawa Ryana Zhang yang masih belum mengerti tentang keadaan dirinya saat ini.
Rombongan pengemis yang hampir kesemuannya membawa sebilah bambu kuning itu, terus berjalan melewati beberapa area persawahan dan hutan bambu yang tidak sebegitu lebat. Hingga akhirnya, arak-arakan kecil tersebut tiba di sebuah perkampungan kecil yang sangat kumuh.
Ryana Zhang dibawa ke sebuah pondokan bambu terbesar dan paling bagus yang ada di perkampungan itu. Sebuah papan nama usang yang terpampang di depan pintu gerbang pondokan, membuat Ryana Zhang terkejut dan menyadari di mana saat ini dirinya berada.
"Pengemis Bambu Kuning?" pekik Ryana dalam hati dengan mata terbelalak lebar.
"Ja-jadi! Jadi aku ... jadi aku sudah bukan di duniaku lagi?" Ryana Zhang merasa sedikit pusing.
Salah seorang pengemis segera berseru,
"Ketuaaa! Kami kembali Ketua!"
"Kalian telah kembali?" Suara pria bernada berat terdengar dari dalam pondokan. "Bagus, baguslah!"
"Benar, Ketua. Dan kami berhasil menemukan Rui kembali!" seru lelaki pelapor.
"Rui?"
Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun membuka pintu dan keluar dari dalam pondokan. "Rui! Rui anakku!"
Pria tua itu segera menghampiri Ryana Zhang yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Gadis itu seperti sedang berusaha mengingat-ingat sesuatu. Ya, kini gadis itu sudah mengetahui di mana dirinya berada saat ini.
"The Realm Of Cultivation!" Ryana menyebut judul novelnya sendiri. Matanya kini memperhatikan sekelilingnya. Wajah-wajah dan pakaian mereka sungguh sama persis seperti yang dia visualkan dalam novelnya.
"Pengemis Bambu Kuning! Aahh siaaaal! Mengapa aku justru berada di tengah-tengah merekaaaaa!" teriak Ryana Zhang dalam hati
"Rui, kau kembali! Kau benar-benar berhasil lolos dari kejaran mereka?" Zhang He sang ketua kelompok pengemis itu memegangi kedua bahu Ryana dan mengguncangnya dengan rasa tak percaya.
"Benar, Ketua! Tapi Ketua, sepertinya dia mengalami sedikit masalah pada ...." Pria bercaping bambu menunjuk kepalanya sendiri.
Zhang He tampak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh anak buahnya. "Ya sudah, kalian semua kembalilah ke tempat kalian masing-masing!"
"Baik, Ketua!" sahut Kelompok Pengemis Bambu Kuning secara serempak.
"Oh ya, terima kasih atas usaha kalian dalam menemukan putriku ini." Zhang He menatap anggota kelompoknya satu persatu.
"Sama-sama, Ketua! Beruntung kami menemukan Rui dalam keadaan baik-baik saja. Baiklah, kami mohon diri, Ketua!" ujar paman bercaping.
Zhang He menganggukan kepalanya. Para anggota kelompok pengemis itu pun segera membubarkan diri. Zhang He mengajak Ryana Zhang untuk segera masuk ke dalam pondokannya. Ryana Zhang mengikuti pria tua itu hingga sampai ke dalam biliknya.
"Rui, beruntung sekali kau lolos dari kejaran mereka. Jika tidak, apa yang akan katakan kepada ibumu kelak di alam sana." Zhang He mendudukan dirinya di atas sebuah kursi kayu yang sudah usang dan lapuk.
"Ke-Ketua ...."
"Aku ini ayah angkatmu, apakah kau lupa?" Zhang He memotong ucapan Ryana.
"M-ma-maaf, maaf ... Ayah Angkat!" Ryana Zhang terdengar kaku saat harus menyebut pria itu sebagai ayah angkatnya.
"Sepertinya, kau memang mengalami masalah pada ingatanmu," ujar Zhang He sembari memegangi ubun-ubun Ryana.
"Beraninya dia menyentuhku!" Ryana merasa sangat tidak suka, akan tetapi dia pun tak bisa berbuat apa-apa.
"Ah Rui, kau beristirahatlah! Sore nanti, ayah akan mengajakmu mengunjungi makam ibumu," ujar Zhang He.
"Ba-baik, baiklah ... Ayah Angkat." Ryana masih merasa berat dengan sebutan itu.
Zhang He menanggukan kepalanya dan segera keluar dari dalam bilik anak angkatnya tersebut. "Ada yang tidak wajar dengan bocah itu."
Pada sore harinya, Zhang He benar-benar mengajak Ryana Zhang untuk mengunjungi makam seorang wanita dengan papan nama Xue Li.
"Rui, berlututlah!" Zhang He meminta Ryana Zhang untuk berlutut di depan papan nama ibunya.
Pria tua itu kemudian ikut berlutut di samping Ryana. Mereka menyatukan kedua tangannya di depan dada sambil memejamkan mata dan berdoa. Seusai memanjatkan doa-doa, Zhang He berkata, "Ah Rui, ini adalah dunia kultivasi. Dunia di mana kekuatan adalah segalanya."
Beberapa kali Zhang He harus menarik napasnya. "Ah Rui, aku sebagai ayah angkatmu sungguh menyesal karena tak bisa membekalimu dengan ilmu bela diri yang baik. Aku tak bisa menjagamu setiap saat, hingga saat dikejar-kejar oleh mereka pun ayah tak bisa menolongmu."
"Ayah jangan berkata seperti itu! Ayah sudah merawatku sejak aku bayi ... itu sudah cukup, Ayah!" Ryana Zhang yang sudah mulai memiliki ingatan Zhang Rui melalui alur cerita yang dia buat sendiri itu pun berusaha menghibur Zhang He.
Pria tua itu menatap langit sore yang mulai redup. Terpaan angin semilir membuat wajahnya mendingin. "Ah Rui, ayah sudah semakin tua sekarang. Ayah ingin ada seseorang yang menjagamu. Akan tetapi karena usiamu yang masih sangat muda, ayah tidak bisa menikahkanmu dengan siapa pun. Maka dari itu, ayah hanya berharap kau mau berkultivasi untuk membangunkan kekuatan segel yang telah tertanam sejak kau lahir."
"Ayah merasa sudah saatnya kau tahu akan jati dirimu yang sebenarnya. Rui, kau ambilah sebuah peti yang tertanam di samping makam ini!" perintah pria tua itu.
"Baik, Ayah!" Ryana Zhang berdiri dari berlututnya. Gadis itu menggali tanah yang ada di sisi kanan makam dengan menggunakan sebuah belati. Benar saja, sebuah bungkusan kain berwarna merah menyala peti.
"Apa ini?" bertanya Ryana.
"Kau akan mengetahuinya nanti. Sekarang, marilah kita bawa bungkusan itu!" ujar Zhang He.
"Baik, Ayah!"
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Rizki Al-Mubarok
Ini mah, mirip liu qingqing. Masuk novel
2022-08-27
4
™🦅 ELANG hiatus
bagus keren 👍
2022-08-06
1
Gembelnya NT
Masih puyeng 😅😅
2022-08-02
0