Pagi itu, kuputar siaran televisi di rumahku seperti biasa. Berita tentang pembegalan yang kian marak terjadi di ibukota. Tampaknya, kasus inilah yang akan menjadi kasus perdana bagi kakakku di tempat kerjanya. Tentu saja kakakku hanya berperan sebagai tim pendukung saja untuk berpatroli di salah satu titik lokasi wilayah pembegalan tersebut.
Kemungkinannya untuk terlibat langsung dengan para pelaku pembegalan sangatlah kecil. Terlebih, jika pun terlibat, justru para kroco-kroco itulah yang akan bernasib sial karena aku tahu sendiri kemampuan luar biasa kakakku dalam pertahanan diri.
Tepat pukul setengah dua siang, aku pun berangkat ke kampus seperti biasa. Aku bercengkerama dengan teman-temanku sebelum masuk kelas. Juga aku sempat mencuri pandang kepada sosok dewiku dari jurusan kimia android, Nafisah.
Sosoknya yang begitu ayu dengan muka bulat dan dengan senyumnya yang menampakkan sedikit gigi gingsulnya ditambah dengan padanan busana jilbabnya yang berwarna papaya yang merupakan warna favoritnya, tentunya membuat hati setiap pemuda yang menatapnya akan menjadi klepek-klepek tak perdaya, termasuk diriku ini.
Ah, benar-benar pemandangan yang menyejukkan di siang hari yang panas ini, pikirku. Menatap Nafisah memang adalah oasis tersendiri yang membuatku bersemangat belajar di universitas ini.
Aku pun pulang seperti biasa setelah selesainya perkuliahan. Namun, karena ini adalah hari pertama kakakku bekerja, aku pun berniat mengunjunginya. Aku pun singgah di toko kue Bernard, toko kue favorit kakakku untuk membelikannya oleh-oleh sebagai perayaan pertamanya di tempat kerja.
Namun, sesampainya aku di sana, apa yang kulihat justru pemandangan di mana kakakku berjuang seorang diri menghadapi seekor monster. Monster berwarna hijau mirip belalang dengan tombak tajam di kedua tangannya. Tombak panjang di tangan kanan dan tombak pendek di tangan kirinya.
Aku benar-benar mengenal sosok monster itu, tidak, aku mengenalnya dengan baik karena sosok monster itu adalah tidak lain Avatar berkode nomor 49 dalam series avatar di Hoho Game, Avatar Mantis.
“Tidak! Kakak!” Teriakku sejadi-jadinya.
Tanpa peduli lagi, aku pun membuang kue yang ada di tanganku yang padahal sedari tadi aku bawa dengan hati-hati. Aku pun lantas berlari sekuat tenaga untuk menuju ke tempat kejadian di mana Kak Syifa sedang berjuang menghadapi monster itu.
Aku luput memikirkan kemungkinan terburuk tentang kemungkinan pelaku pembegalan yang tidak hanya bisa berasal dari manusia, tetapi juga bisa saja berasal dari entitas lain, layaknya lima tahun lalu. Para monster sialan itu.
Tetapi mengapa mereka baru muncul sekarang setelah bersembunyi selama 5 tahun? Dan mengapa mesti kakak keduaku lagi kali ini yang menjadi korban? Tidak, aku tidak akan sanggup lagi untuk kehilangan keluarga perkara monster sialan itu. Apapun akan kulakukan demi menyelamatkan kakakku satu-satunya yang tersisa itu, mesti nyawa taruhannya.
Dengan tekad itu, aku pun menerobos brigade polisi dan sebentar lagi akan sampai di tempat kakakku yang sedang berada dalam bahaya tersebut.
Namun, aku terlalu lemah. Tiga orang polisi berbadan besar dan kekar pun berlari ke arahku lantas seketika mengunci badanku sehingga aku pun tidak bisa bergerak.
“Kakak. Tidak, Kakak!” Aku hanya dapat menggapai-gapai bayangan kakakku dari jauh.
Dan di depan mataku untuk kedua kalinya, setelah apa yang terjadi dengan kakak pertamaku Faridh, kini kakak keduaku Syifa yang harus mengalaminya di mana dengan menggunakan kedua tombaknya, monster sialan itu menebas kakakku hingga terjatuh bersimbah darah.
“Tidak! Tidak! Kakak!”
Dengan segenap kekuatanku, aku pun berusaha melepaskan dekapan ketiga polisi berbadan kekar itu. Entah karena adrenalinku terpacu melihat kakakku yang sekarat, atau karena para polisi itu juga kaget dengan kejadian yang terjadi di depan mereka, aku pun berhasil melepaskan diri dari mereka dan berlari sekuat tenaga menuju ke tempat kakakku.
Namun, satu hal yang kulupakan. Aku hanyalah seorang mahasiswa biasa yang novice dalam karate. Aku sama sekali tidak punya pengalaman bertarung nyata. Setelah sampai ke tempat kakakku yang bersimbah darah, aku hanya dapat ikut menunggu kematianku di tangan monster sialan itu.
“Clang!” Monster itupun mengayunkan tombaknya. Aku hanya dapat menutup mata sembari memeluk kakakku yang bersimbah darah dengan erat. Akan tetapi, berselang beberapa detik, tak ada apapun yang terjadi padaku.
Aku pun perlahan membuka mataku. Tepat di hadapanku, rupanya telah berdiri seseorang dengan mengenakan kostum merah, menangkis serangan dari Avatar Mantis tersebut. Dialah sosok pahlawan yang telah menyelamatkan kota Jakarta lima tahun silam.
“Praaak!” Sang pahlawan menendang Mantis tepat di ulu hatinya hingga terpental dan menjauh dari kami.
Tanpa memberikan Mantis kesempatan untuk menyerang balik, sang pahlawan pun mengayunkan pedangnya dan menebas monster tersebut. Monster tersebut pun jatuh terkapar.
“Ukkh!” Tiba-tiba kakakku memuntahkan darah.
“Kakak! Tidak! Kakak, bertahanlah!” Aku pun berteriak sejadi-jadinya karena tak ingin lagi ditinggalkan oleh keluarga yang aku sayangi.
“Kumohon, selamatlah, Kak.” Doaku dalam hati.
Mungkin karena mendengar jeritan kepedihanku itu, sang pahlawan pun menoleh ke arah kami. Dia lantas berjalan cepat menuju ke arah kami.
Lalu sang pahlawan pun menyerahkan gelang biru itu padaku.
“Ambil ini dan berjuanglah. Tidak akan ada yang berubah dengan tangisanmu. Ambil ini dan kalahkan Avatar Mantis itu. Jadilah sepertiku.” Ujar sang pahlawan padaku.
“Gelang apa ini?” Tanyaku penasaran.
“Pakailah itu dan bayangkan kamu sedang bermain Hoho Game untuk terhubung dengan avatar dari gelang itu.” Jawab sang pahlawan padaku.
“Avatar? Jangan-jangan kostum yang kamu kenakan itu, juga bagian dari avatar?” Tanyaku sekali lagi penasaran.
“Ya, begitulah. Mungkin agak sedikit beda dari yang ada di game karena sedikit modifikasi. Tetapi ini tidak diragukan lagi adalah Avatar Nomor 7, Avatar Bomber.” Sekali lagi, sang pahlawan menjawab pertanyaanku.
Avatar Mantis yang sedari tadi terkapar pingsan pun tiba-tiba kembali menunjukkan pergerakan.
“Cepatlah putuskan! Kalau kamu memang ragu, serahkan kembali gelang itu dan tetaplah dalam cangkangmu yang menyedihkan itu selamanya.”
Mungkin karena aku yang yang tampak pengecut, tidak, aku memang pengecut, sehingga sang pahlawan pun berteriak seperti itu padaku.
“Tapi, walaupun aku berjuang, tidak ada lagi siapa-siapa yang bisa kulindungi. Karena kakakku Syifa. Hiks…Hiks…”
Air mata pun jatuh membasahi pipiku. Di tanganku, Kak Syifa yang bersimbah darah perlahan kehilangan kehangatan tubuhnya.
“Maaf, sebaiknya kamu cari orang lain untuk ini. Soalnya aku juga telah mati.” Ujarku dalam kepedihan berbalut air mata sembari mengulurkan gelang biru itu untuk menyerahkannya kembali kepada sang pahlawan.
Sang pahlawan pun melangkah ke hadapanku. Namun, rupanya dia bukan mengambil gelang biru itu, melainkan berlutut lantas mengusap kening kakakku yang bersimbah darah.
Lalu, keajaiban itupun terjadi.
Melalui tangan sang pahlawan, ulir-ulir putih mirip akar muncul lalu menjalar, merasuk ke tubuh kakakku. Kemudian perlahan tapi pasti, luka-luka kakakku yang terbilang cukup fatal itupun menutup sedikit demi sedikit dan akhirnya sembuh tak berbekas.
“Apanya yang perlu disedihkan? Kalau hanya luka segini, aku masih bisa menyembuhkannya. Nah sekarang, Anak Muda, tentukanlah masa depan yang akan kamu pilih! Akankah kamu memilih berjuang atau kembali bersembunyi di balik punggung kakakmu? Asal kamu tahu, tidak ada salahnya hidup sebagai pecundang. Namun, ceritanya berbeda jika kamu memiliki kemampuan. Tidak ada pilihan selain berjuang.” Ujar sang pahlawan.
“Aku memiliki kemampuan?” Mendengar ucapan sang pahlawan itu, cahaya harapan pun sekali lagi membara di hatiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
pensi
ada penyemangat belajar ya 🤭
2022-07-30
2
Cip_13
kebayang sih cakepnya gmn awww🖤
2022-06-11
1
pat_pat
mampir lagi ❤️
salam dari Dinikahi Ceo Kejam 🤗🥰
2022-05-17
2