Baru juga Bulan membuka pintu salah satu kedai kopi yang dia kunjungi bersama Jaghad, tanpa disangka ada seseorang yang juga mendorong pintu dari dalam berniat keluar. Untung saja Jaghad dengan sigap menarik mundur tubuh sang kakak sepupu hingga terhindar dari benturan pintu yang terdorong keluar. Mata Bulan mendelik demi bisa melihat siapa gerangan seseorang yang keluar dengan menenteng paper bag dengan logo kedai coffee tersebut. Bisa-bisanya di semua kesempatan yang ada mereka selalu dipertemukan. Masih seperti pertemuan sebelumnya di mana Langit tanpa ekspresi melenggang begitu saja melewatinya. Tidak tertarik dengan gadis belia yang bisanya hanya manja. Langit adalah pria dewasa yang jika ingin menikah kembali sudah barang tentu akan mencari wanita yang setara usia dengannya. Karena dalam pernikahan itu nanti yang Langit harapkan di mana seorang wanita yang tak hanya mengincar harta kekayaannya saja atau mengangumi ketampanan wajah yang dia miliki. Tapi juga harus bisa menerima Cahaya. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Selama ini pula Langit tidak tertarik menikah lagi karena belum menemukan wanita yang cocok dan bisa menggantikan posisi Vivian, sang mantan istri. Bagi Langit, Cahaya adalah segala-galanya dan apapun yang dia lakukan semata-mata demi masa depan dan kebahagiaannya bersama sang putri tercinta.
Kembali pada Bulan yang masih melongo karena Langit melaluinya begitu saja. Tak mengerti kenapa bisa dia menjumpai laki-laki seperti itu. Untung saja bukan lelaki muda yang bisa jadi akan membuatnya terpesona. Lelaki itu hanyalah Om-om berumur tapi sikapnya sok cool.
"Kak!"
"Hah!" Bulan terkesiap.
"Kenapa bengong di sini. Buruan masuk!"
"Ah, iya ... iya." Bulan merutuki kebodohannya sendiri. Sebelum berlalu masuk ke dalam, gadis itu masih juga menyempatkan diri menoleh ke belakang menjadikan Jaghad terheran dibuatnya.
"Kak Bulan kenal?"
"Hah! Apa?"
"Kakak kenal dengan lelaki tadi?"
"Oh. Tidak. Mana mungkin juga aku mau mengenal lelaki arogan seperti itu. Sok kegantengan tapi nggak punya etika."
"Maksudnya?"
"Tadi lelaki itu sempat menabrakku. Bukannya meminta maaf, malah nyelonong pergi begitu saja. Belum lagi pas di pesawat ternyata kursi kita bersisihan. Apes benar nasibku hari ini."
"Siapa tahu jodoh, kan, karena berkali-kali dipertemukan."
"Jangan bicara sembarangan. Lelaki tadi sudah berumur kelihatannya. Bukan tipeku. Lagipula, sudah dipastikan jika lelaki seusia itu sudah beristri. Amit-amit jika aku harus berjodoh dengan pria beristri. Macam bujang di dunia ini tidak ada saja."
"Siapa tahu saja dia duda, kak? Terlihat tajir juga."
"Aku nggak butuh harta jika ingin menikah. Hartaku sudah banyak."
Jaghad hanya tertawa mendengarnya.
"Jangan bahas tentang lelaki dan buruan pesankan aku kopi. Setelah ini kita bisa langsung pulang. Rindu sekali dengan uncle dan aunty."
Jaghad menurut saja dengan apa yang diminta Bulan. Pemuda itu pun langsung memesan kopi permintaan sang kakak sepupu.
••••
Sampai di hotel, kopi yang tadi Langit beli sudah diminum dan sisa setengah cup saja. Terheran karena kesekian kali di satu hari ini Langit harus berjumpa dengan gadis yang tadi satu pesawat dengannya. Sejujurnya Langit sama sekali tidak tertarik, tapi tetap saja pertemuan yang lebih dari satu kali sempat mengusiknya.
Mengenyahkan semua apa yang sudah terjadi selama beberapa jam ini. Tubuh yang lelah memaksa Langit untuk gegas masuk ke dalam kamarnya. Ingin sekali dia beristirahat agar esok pagi bisa menjalani aktifitas dengan normal kembali. Banyak yang harus dia kerjakan selama berada di kota ini.
Begitu pria itu masuk ke dalam kamar yang akan dia tempati selama beberapa hari ini, koper Langit letakkan asal di samping ranjang. Pria itu menjatuhkan tubuh besarnya di atas ranjang sembari memejamkan mata.
Hari sudah beranjak malam dan perut Langit yang mulai berbunyi menandakan jika dirinya sedang lapar. Ah, bisa-bisanya di saat sedang malas beranjak justru perut tidak mau berkompromi.
Kembali bangkit sembari melepas kemeja yang melekat di tubuhnya. Hampir saja dia lupa akan apa yang harus dilakukan. Menelepon Jupiter. Adik sepupunya.
Ponsel yang masih berada di dalam saku celana, dia ambil lalu mencari nomor telepon Jupiter. Menunggu hingga beberapa deringan barulah sang empunya menjawab juga.
"Piter. Kamu di mana?" Kata tanya yang langsung Langit utarakan sebagai pembuka percakapan keduanya.
"Aku sedang keluar dengan teman," jawab seseorang melalui sambungan telepon yang Langit lakukan.
"Kamu tidak sedang ada pekerjaan, kan, esok hari?"
"Memangnya ada apa?"
"Antarkan Aya ke Surabaya."
"Apa?"
"Apa perkataanku kurang jelas, Piter!"
"Bukan begitu. Aku hanya ingin memastikan jika pendengaranku sedang tidak bermasalah. Itu saja."
"Kamu memang tidak salah dengar. Besok siang antarkan Aya ke Surabaya. Tiketnya akan aku minta Johan memesankan. Kamu tinggal siap-siap saja."
Decakan terdengar di telinga Langit dan itu Jupiter pelakunya.
"Kamu ini! Jika meminta sesuatu selalu mendadak. Besok siang dan kamu baru mengatakannya sekarang. Memangnya kenapa kamu mau meminta padaku mengantarkan Aya. Apakah dia ingin bertemu mamanya?"
Ya, Vivian memang kerap berada di Surabaya untuk urusan bisnis. Vivian sang mantan istri Langit yang berprofesi sebagai seorang model memang kerap berpindah-pindah tempat sesuai dengan pekerjaan yang di dapat. Dan beberapa waktu lalu wanita itu sempat mendapatkan tawaran menjadi model sebuah brand ternama dari perusahaan yang berada di Surabaya. Oleh sebab itulah hampir kurang lebih lima bulan wanita itu menetap di kota pahlawan. Beberapa kali juga Cahaya memang diminta Vivian untuk ikut dan menemani di sana. Terkadang Jupiter juga yang akan mengantarkan Cahaya pergi ke Surabaya karena Langit tidak akan mungkin mau mengawal putrinya jika itu menyangkut sang mantan istri. Langit sudah terlalu malas hanya untuk bertemu dengan Vivian yang selalu saja banyak drama. Dan Jupiter, kali ini pun tidak ada yang salah jika pria itu mengira rencana Cahaya ke Surabaya karena ingin bertemu Vivian.
"Dia ingin menyusulku," jelas Langit.
"Sejak kapan kamu ada di Surabaya?"
"Sejak barusan."
"Apa? Kamu ini memang suka bercanda."
"Aku tidak bercanda Piter. Jadi, bersiap-siaplah. Nanti Johan yang akan mengirimkan pesan padamu mengenai jadwal pesawatmu esok hari."
"Sialan! Kamu ini senang sekali membuatku repot seperti ini."
Meski Jupiter terkesan protes, nyatanya pria itu tak menolak akan apa yang Langit minta.
Mereka saudara sepupu yang memang seringkali saling bantu membantu. Selain itu, Jupiter pun sangat menyayangi Cahaya. Sangat tahu betul bahwa kisah rumah tangga Langit dan Vivian hingga Cahaya lah yang menjadi korban.
"Jangan banyak protes, Piter!"
"Iya ... iya. Baiklah. Mana bisa aku menolak jika itu untuk Cahaya."
"Thank You, Piter."
"You are welcome."
Begitu panggilan teleponnya dengan Jupiter berakhir, Langit segera mengirimkan sebuah pesan pada Johan. Meminta pada asistennya agar memesan tiket pesawat untuk Jupiter, sepupunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Hilda Agustiani
👍👍👍
2023-03-28
0
@ Mmh adil @
bulan ketemu aunty mila dong , apa kabar nya bu dokter satu ini , kangen dokter mila
2022-07-31
1
Tati Cahya
dasar kutub Utara 🤣
liat aja nanti kalo udah bucin, wkwkwk..
2022-06-19
0