Bulan Di Langit

Bulan Di Langit

Satu

Derap langkah kaki menggema di lobi sebuah gedung perkantoran yang bergerak di bidang bisnis property. Mars Property, itulah nama perusahaan yang sudah berdiri sejak beberapa puluh tahun lamanya yang saat ini dipimpin oleh generasi kedua.

Langit Biru, pria berusia tiga puluh lima tahun yang menjabat sebagai owner, CEO sekaligus direktur utama Mars Property. Terlahir dari keluarga kaya yang sejak dirinya masih remaja sudah digembleng menjadi seorang generasi penerus kerajaan bisnis keluarga. Hingga detik ini, sudah tak bisa dijabarkan satu per satu apa saja pencapaian seorang Langit Biru. Pria berpostur tinggi mencapai seratus delapan puluh senti meter itu, tak hanya memiliki wajah yang tampan tapi juga sangat kentara kearoganannya. Mendapatkan nama panggilan Elang -- meski kedengarannya sangat tidak nyambung dengan nama lengkapnya Langit Biru -- akan tetapi, keluarga, kerabat serat rekan bisnis juga para karyawannya, akan lebih senang memanggil namanya dengan sebuatan Elang ketimbang Langit.

Seorang duda beranak satu yang resmi bercerai dengan mantan istrinya semenjak dua tahun silam. Lumayan lama hidup tanpa pasangan, tak lantas menjadikan Elang menggilai banyak wanita untuk menggantikan posisi mantan istrinya. Tidak demikian karena nyatanya, Elang lebih nyaman hidup berdampingan bersama sang putri tercinta.

Selain itu, fokus hanyalah mengembangkan sayap karirnya menjadi seorang pengusaha sukses di Indonesia.

Tok... Tok.... Tok...

Suara ketukan di pintu ruang kerja miliknya, membuat Elang mendongak mengalihkan fokus pada berkas yang sedang ia baca. Ya, pria itu memang telah berada di dalam ruang pribadinya di lantai teratas gedung perkantoran tersebut.

"Masuk!" titahnya.

Begitu pintu itu terbuka, sesosok pria muda dengan usia di bawahnya menunduk hormat padanya.

"Selamat siang, Pak Elang!"

"Masuklah, Jo!"

Pria bernama Johan masuk mengikuti perintah sang atasan.

"Duduklah."

"Terima kasih."

"Berita apa yang kamu bawa hari ini?" Elang bertanya dengan nada dingin penuh intimidasi. Bagi sebagian orang yang baru mengenal lelaki itu, dapat di pastikan tak berkutik karena ketakutan pada sikap yang Elang tunjukkan. Selain wajah sangar yang selalu Elang perlihatkan, juga sikap intimidasi yang Elang berikan membuat para karyawan merasa takut berhadapan dengannya. Namun, bagi yang sudah mengenal siapa sebenarnya sosok Elang, maka rasa takut yang pernah mendera akan musnah dengan sendirinya. Elang adalah pria yang baik dan loyal pada karyawannya. Dia juga tak akan suka marah pada karyawannya asalkan tugas serta pekerjaan sudah sesuai dengan yang Elang harapkan.

Sebuah map berwarna coklat Johan serahkan pada Langit Biru.

"Apa ini?" tanyanya menatap penuh tanya pada Johan.

"Ini adalah proposal yang kembali kita terima."

"Apakah masih dari perusahaan yang sama?"

Johan mengangguk membuat Elang berdecak tidak suka.

"Belum menyerah juga. Lagi pula apa yang ingin mereka incar dari pulau terpencil itu? Resort? Ya, aku tahu jika suatu ketika nanti, pulau itu bisa saja akan menjadi jujugan para wisatawan. Namun, aku tak ada keinginan untuk menjual lahan itu."

"Kenapa Bapak tetap mempertahakan lahan yang selama ini Bapak abaikan. Menurut saya dari pada lahan itu kosong begitu saja kenapa Bapak tak menyerahkan saja. Toh penawaran harga yang mereka berikan sangat fantastis."

Elang membuka kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Helaan napas keluar begitu saja dari sela bibirnya.

"Yakin kamu ingin tahu apa alasanku tetap mempertahankan lahan itu?"

Johan menganggukkan kepala.

Elang kembali berkata kali ini menjelaskan lebih tepatnya membuat Johan yang duduk di hadapannya mendengarkan dengan seksama. "Kamu benar. Lahan itu memang akan lebih bermanfaat jika aku jual karena mungkin hasil dari penjualan itu bisa aku gunakan untuk membeli lahan baru yang lebih menguntungkan. Hanya saja, lahan itu akan jadi sengketa andai aku menjualnya. Ah, maksudku pasti Vivian akan tahu jika aku akan menjual salah satu aset yang aku beli saat masih menikah dengannya dulu. Dan tentu kamu tahu bagaimana Vivian. Dia akan meminta bagian lebih dari setengahnya. Hal yang sangat mustahil aku berikan karena meski aku membeli lahan itu dengan uangku sendiri nyatanya Vivian tak akan kehilangan cara untuk membuatku tak berkutik lagi."

Johan diam. Membiarkan Langit Biru menerawang akan masa lalu. Ya, Johan sangat tahu bagaimana buruknya sifat mantan istri sang atasan. Jadi alasan yang Elang sampaikan sangatlah masuk akal.

"Jadi, bagaimana Pak?" Johan masih saja keukuh bertanya.

"Aku tetap tidak akan menjual lahan itu." Menjawab demikian dengan tangan membuka amplop yang tadi Johan berikan. Membaca sekilas isi proposal hingga matanya tertuju pada sebuah tanda tangan pemimpin salah satu hotel ternama di pulau Dewata.

"Bulan Purnama." Langit menggumamkan sebuah nama yang tengah ia baca.

Nama yang langsung mengusik pikirannya.

Bagaimana mungkin dia menjumpai sebuah nama yang berkaitan dengan alam semesta. Sama halnya dengan nama yang dia punya, juga nama sang putri yaitu Cahaya Senja.

Apakah ini yang dinamakan jodoh?

Tidak ... tidak. Elang gelengkan kepalanya. Bisa-bisanya otaknya jadi ngelantur begini.

"Pak!"

Elang terkesiap karena panggilan Johan yang berhasil membawanya pada kesadaran, setelah sebelumnya pria itu sempat melamun.

"Apakah Anda baik-baik saja?" Johan kembali bertanya karena khawatir akan perubahan raut wajah sang atasan.

"Ya. Aku baik-baik saja." Elang menutup kembali map tersebut. Lalu dia sodorkan pada Johan.

"Simpan saja berkas ini. Yang pasti aku tak akan menjual lahan itu. Dan jika mereka bersikukuh untuk tetap membelinya ... Aku sendiri yang akan turun tangan langsung untuk menolaknya. Kamu paham, Jo!"

"Siap, Pak. Saya mengerti. Oh, iya. Anda tidak melupakan jadwal kunjungan ke Surabaya esok lusa, kan, Pak?" Johan mencoba mengingatkan. Karena salah satu tugasnya adalah mengatur jadwal kerja sang atasan.

"Tentu saja tidak. Pertemuan penting seperti itu mana mungkin aku lupakan. Hanya saja ...." Elang tak melanjutkan.

Kening Johan mengernyit menanti atasannya kembali berkata-kata.

"Aya ingin ikut katanya," ucap Elang detik berikutnya.

"Apa? Kenapa Nona Cahaya ingin ikut? Tumben sekali."

"Entahlah, Jo. Aku tak mengerti. Bagaimana mungkin dia ingin berkunjung ke kebun binatang katanya. Ada-ada saja. Seperti di sini tidak ada kebun binatang saja," gerutu Elang yang tak paham akan keinginan putri semata wayangnya. Namun, untuk menolak tak akan mungkin bisa Elang lakukan. Dan yang ada pria itu hanya bisa menurutinya saja.

"Jo ... besok aku masih harus ke Bali. Dan barulah dari Bali aku akan langsung ke Surabaya. Parahnya lagi ... Aya tidak mau ikut aku ke Bali dulu. Dia mengatakan akan menyusulku nanti. Mana mungkin aku membiarkannya begitu saja ke Surabaya seorang diri."

Elang menjatuhkan punggung pada sandaran kursi kerja.

"Pak ... kenapa Anda tidak meminta tolong saja pada Mas Jupiter?"

Ide yang bagu. Sepupunya itu pasti mau membantu.

####

Hai ... hai .....

Selamat datang di lapak barunya Bulan dan Langit.

Mohon maaf sangat-sangat. Sepertinya alur cerita saya rombak dari ide awalnya. Dan di cerita ini saya akan lebih merujuk pada POV pria yaitu Elang.

Selamat membaca. Dan jangan lupa banyakin komenannya. Makasih.

Terpopuler

Comments

Hilda Agustiani

Hilda Agustiani

Aku ketinggalan gaes..🤣🤣
ku kira blm ada lanjutan nya ehh ternyata pindah judul ya thorrr

2023-03-28

1

Wati Simangunsong

Wati Simangunsong

hadirr

2022-12-01

0

Onik Widiastuti

Onik Widiastuti

moga langgeng up nya ya mak

2022-10-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!