Bentuk rambut atau sikap tubuh layaknya seorang kutu buku. Tampang seperti Elina inilah yang akan menjadi incaran para perundung yang sok menguasai sekolah. Tapi yah, itu bukan urusan Rumi jikalau nanti Elina menjadi target bullying. Toh, mereka baru saling kenal dan tak memiliki hubungan emosional. Itulah yang ia pikirkan 'waktu itu'.
Tring... Bel makan siang berbunyi.
"Bel juga, sepertinya pinggang ku encok karena terlalu lama duduk" keluh Rumi tak bertenaga, terkapar lemas di kursinya. Lelah sehabis mengikuti ospek masa pengenalan lingkungan sekolah. Jika harus memilih, berdiri dua jam atau bersosialisasi dengan orang asing. Ia akan memilih opsi pertama.
"Rumi!!" Teriak ibu guru dari jarak yang agak jauh darinya. Guru yang sama saat mengajar ospek di kelasnya.
Ia menoleh. Gurunya sedang berdiri di pojok meja Guru "Iya?" Sahut Rumi dengan sopan.
"Bisakah kau ikut dengan ibu ke kantor wakil kepala sekolah?".
"Baiklah" Rumi berdiri dengan keadaan sehat bugar. Padahal tadi dia mengeluh seperti orang tua yang kesakitan dan tak berdaya.
"Duh Rumi, padahal aku ingin mengajak mu ke kantin" Gundah Elina.
"Duluan saja" ucap Rumi. Langsung berjalan menuju gurunya lalu pergi meninggalkan kelas bersama ibu guru. Elina ragu untuk mengikuti saran Rumi. Ia takut pergi sendirian ke kantin.
Tiba-tiba, seseorang mendekati Elina "Halo. Namamu Elina kan, namaku Cyara" Elina terpaku pada sosok di depannya. Perempuan jelita berambut merah muda sedang tersenyum manis menatapnya sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan.
***
Rumi berjalan menelusuri koridor sambil mengikuti Ibu guru sebagai pemandu jalan. Melewati setiap kelas yang saling bersebelahan. Sesekali dia memerhatikan beberapa murid di sekitar area kelas atau koridor. Semakin ia berjalan, semakin ia sadar bahwa sekolah yang di dominasi cat biru, putih dan abu-abu ini begitu besar. Banyak sekali lorong-lorong serta ruangan yang entah tembus kemana. Jika salah arah, bisa saja tersesat.
"Bu, untuk apa saya harus ke ruang pak Aiden?" Tanya Rumi tak bisa membendung rasa penasarannya.
"Nanti kau akan tahu" ucap ibuguru yang masih memandang lurus jalan. Rumi sebenarnya tak puas dengan jawaban gurunya. Tapi dia hanya mengangguk pelan, malas bertanya lebih.
Ibu guru berhenti di sebuah pintu "Pak, saya memanggilnya sesuai perintah anda" ibu guru mengetuk pintu berkayu kokoh itu beberapa kali.
Tak lama. Sahutan muncul dari dalam ruangan itu "Biarkan dia masuk".
Ibu guru membuka pintu yang katanya adalah ruang wakil kepala sekolah. Rumi lalu melihat Aiden duduk di kursinya dengan senyuman tipis yang menyambutnya. Ia melangkahkan kaki untuk masuk, tapi kembali melirik ke belakang memastikan apakah ibuguru juga ingin ikut masuk atau tidak. Ternyata Buguru hanya berdiri di luar ruangan, sambil memegang gagang pintu ia mengangguk kepada wakil kepsek seakan telah menyelesaikan tugas lalu menutup pintu ruangan.
Aiden menyuruhnya duduk di kursi yang pas berhadapan dengannya, Rumi pun nurut. Jaraknya dan Aiden hanya butuh melintasi meja kayu di depannya.
Aiden Dhirendra, Wakil Kepala Sekolah.
Rumi membaca papan kartu nama di meja kayu itu yang di tumpuki kertas dokumen.
Rumi memperhatikan sekeliling. Ruangan ini luas. Ada banyak dokumen di rak-rak besi yang tertata rapi. Rumi memutar badannya ke belakang, melihat sofa berwarna cream yang tepat di belakangnya ada sebuah lukisan berbingkai besar. Posisi lukisan itu persis berada di hadapannya dengan jarak cukup jauh. Gambar yang unik, juga aneh. Sebuah lukisan berlatar putih yang hanya dihiasi cat hitam, seperti lukisan abstrak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments