"Jadi ... kita tidak perlu ikut campur lagi sekarang, mama? Biar keluarga Dicky yang membuat perhitungan dengan Merlin? Itu maksud mama, kan?"
"Pintar. Itulah yang mama maksudkan, Jen. Kita bisa mengusir Merlin dari keluarga ini, sekaligus, kita bisa menghukum dia dengan membiarkan dia masuk ke dalam keluarga Prasetya yang pastinya akan menghukum dia karena menghancurkan rencana yang telah keluarga itu buat sejak lama."
"Setuju! Mama sangat pintar sekali. Itu sama saja dengan, lepas dari kandang buaya, lalu masuk ke kandang singa lapar. Ah ... aku senang banget, mama."
Ibu dan anak itu terlihat begitu bahagia dengan apa yang mereka pikirkan. Sementara Merlin, ia memilih untuk segera pulang setelah mencapai kesepakan dengan Dicky.
"Kamu yakin mau pulang sendiri?" tanya Dicky memastikan keputusan Merlin yang tidak mau menerima tawarannya untuk diantar pulang.
"Ya. Aku yakin. Bahkan, sangat yakin. Karena aku sudah terbiasa kemana-mana sendirian."
"Aku gak nanya kamu terbiasa atau tidak? Hanya saja, aku merasa, kamu seharusnya aku yang antar pulang. Karena aku yakin, masalah pasti sedang menanti kamu di rumah."
"Aku sudah terbiasa dengan masalah, Dicky. Bahkan, rasanya akan aneh jika saat aku berada di rumah, tidak ada masalah yang datang menghampiri. Kamu tidak perlu memikirkan aku. Sebaiknya, kamu yang harus segera pulang dan bereskan masalah yang baru saja kamu ciptakan. Aku yakin, masalah kamu mungkin akan lebih besar yang masalah yang aku miliki."
"Kamu tenang saja. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Oh ya, hampir lupa. Bisakah kita bertukar nomor telepon?"
"Untuk apa"
"Biar gampang ngasi kabar padamu."
"Hm ... sini ponselmu."
Tanpa banyak tanya, Dicky langsung memberikan ponsel miliknya pada Merlin. Tangan Merlin lincah menekan angka-angka yang tertera di layar ponsel tersebut. Lalu kemudian, ia serahkan kembali ponsel itu pada pemiliknya.
"Itu nomorku. Kamu bisa hubungi aku jika ada perubahan rencana, atau ... kamu berniat membatalkan apa yang sudah kita sepakati."
"Tidak akan. Aku pastikan kalau apa yang sudah kita sepakati tidak akan aku batalkan. Bahkan, juga tidak akan aku ubah sedikitpun."
"Huft ...terserah kamu saja. Aku akan ikut saja apa yang kamu katakan. Selagi itu masih bisa aku terima dengan akal ku, juga selagi itu masih wajar. Maka aku akan mengikuti apa yang kamu rencanakan."
"Mm ... tipe gadis penurut banget ternyata kamu ya .... "
Merlin tidak menjawab. Ia langsung beranjak ingin meninggalkan Dicky yang sedang tersenyum mengejek di samping mobilnya.
"Hei! Mau ke mana?"
"Pulang."
"Mm ... hati-hati," ucap Dicky sedikit ragu namun tetap saja kata-kata itu keluar tanpa bisa ia cegah.
Merlin kembali tidak menjawab. Ia malah semakin mempercepat langkah kakinya supaya segera menjauh dari Dicky. Sementara Dicky, ia terus melihat Merlin hingga gadis itu hilang dari pandangannya.
"Ya Tuhan, aku harus segera pulang sekarang. Masalah besar harus aku selesaikan sekarang juga," ucap Dicky bicara pada diri sendiri.
_____
"Apa! Kamu sudah gila, Dicky! Tidak akan ada pernikahan antara kamu dengan gadis manapun kecuali gadis pilihan mama."
"Tapi, Ma. Dicky sudah merusak kehidupan gadis itu. Bagaimana bisa mama melarang dia untuk menikahi gadis yang sudah dia rusak? Apa mama ingin punya anak yang pengecut? Lari dari tanggung jawabnya, hm?"
"Papa ini gimana sih, Pa? Masa papa malah dukung Dicky menikah dengan perempuan yang tak jelas. Tidak bisa! Mama tidak terima keputusan ini, Pa."
"Jika mama tidak terima, maka biar aku saja yang mengurus semuanya."
"Papa! Apa yang ada dalam pikiran papa sekarang, hah! Papa ingin menikahkan anak satu-satunya yang kita punya dengan gadis dari keluarga tidak jelas? Papa yang benar saja, Pa!"
"Aku tidak ingin anakku jadi laki-laki pengecut, Ma. Lari dari tangung jawab setelah merusak anak gadis orang. Keluarga kita akan jadi bahan omongan jika Dicky melakukan hal itu."
"Tapi Dicky masih sekolah, Pa. Mana mungkin bisa menikah. Lagipula, kita punya kekuasaan. Siapa yang berani bicara soal keburukan keluarga kita, hah?"
"Mama tidak akan mengerti. Jika Dicky bersedia menikahi gadis itu, maka aku yakin, dia tahu yang terbaik untuk hidup yang akan dia jalani kedepannya."
"Jika soal sekolah, kita bisa merahasiakan pernikahan ini dari publik."
"Tidak! Aku tetap tidak setuju. Karena aku sudah punya pilihan calon istri untuk anak kita. Pilihan akulah yang terbaik untuk Dicky."
"Jangan egois, Ma. Yang menjalani hidup kedepannya nanti bukan kita, melainkan, Dicky sendiri. Pilihan mama yang terbaik. Itu menutut mama. Mama tidak pernah menanyakan pendapat Dicky soal pilihan mama sebelumnya, bukan? Sekarang, lihat sendiri apa yang Dicky lakukan. Dia merusak anak gadis orang karena takut dengan mama."
"Kenapa papa malah menyalahkan aku, hah?"
"Karena mama pantas di salahkan. Dicky sudah pernah mama kecewakan sbelumnya karena suka dengan gadis desa. Sekarang apa lagi?"
"Gadis desa itu memang tidak pantas untuknya, Pa. Lagipula, dia itu masih anak-anak. Mana tahu soal cinta."
"Heh ... mama terlalu lucu. Entah itu lucu atau naif, aku juga tidak tahu. Yang jelas, mama hanya ingin didengarkan, tapi tidak ingin mendengarkan. Sekarang sudah cukup. Apapun pendapat mama, aku tidak akan mendengarkannya lagi. Aku akan turuti apa yang Dicky mau sekarang. Jika dia ingin menikahi gadis yang ia cintai, maka aku akan laksanakan keinginannya."
Setelah berucap seperti itu, Bagas Prasetya segera meninggalkan istrinya. Tanpa menanggapi teriakan dari istrinya lagi. Intan Prasetya marah bukan kepalang. Dia sampai membanting bantal sofa yang ada di dekatnya karena sangat kesal.
"Tidak! Aku tetap tidak akan membiarkan Dicky menikah dengan perempuan manapun selain perempuan yang aku pilih. Tidak akan aku biarkan mereka merusak semua rencana yang aku miliki."
Setelah berucap seperti itu, Intan segera mengambil ponsel yang ada di atas meja. Dia memanggil sopir pribadinya untuk segera membawa dia pergi ke suatu tempat.
Sementara itu, Dicky baru saja membaringkan tubuhnya di atas kasur. Setelah mendengarkan perdebatan antara mama dan papanya barusan, dia merasa lelah. Lelah sekaligus lega sebenarnya.
Bagiamana tidak? Dia sekarang sudah mendapatkan dukungan dari sang papa yang selama ini hanya diam mengikuti apa yang mamanya katakan. Papanya sekarang sudah berada di pihaknya. Jadi, rasa lega itu bisa ia rasakan menyusup ke dalam hatinya.
Baru saja Dicky ingin menutup mata, pintu kamar itu di ketuk oleh seseorang dari luar. Dengan malas, Dicky beranjak dari tempat tidur menuju pintu.
Saat pintu terbuka, ia melihat papanya sedang berdiri tegak. "Papa."
"Bisa papa masuk ke dalam?"
"Silahkan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Merlin terlalu keras kepala,Apa yg Dicky bilang itu benar Merlin hadeehh..
2023-05-27
0
Alika Sari
dicky is the best
2023-01-05
1
Erna Fadhilah
semoga mamanya dicky segera setuju sama pernikahan anak dan menantunya
2022-12-16
0