Bagas masuk. Lalu duduk di sofa samping jendela kamar Dicky.
"Ada apa, Pa? Tumben datang ke kamarku. Biasanya, kalau ada perlu, aku yang papa minta datang ke ruang kerja papa." Dicky berucap sambil menduduki pantatnya ke atas ranjang.
"Tidak ada. Papa hanya ingin datang sendiri ke kamar kamu. Biar kita terasa sebagai anak dan orang tua. Bukan seperti atasan dengan bawahan."
Dicky terdiam. Memikirkan apa yang papanya katakan barusan. Kata-kata yang cukup langka untuk ia dengar sebelumnya. Entah apa penyebab sang papa berubah. Yang jelas, itu sungguh sesuatu yang luar biasa buat Dicky.
"Dicky. Sebelumnya papa minta maaf karena kurang memperhatikan kamu selama ini. Sejak kamu kecil, hingga remaja seperti saat sekarang ini. Papa sungguh sudah banyak membuang waktu dengan tidak memperhatikan kamu selama ini. Untuk itu, papa minta maaf dan berjanji akan menebusnya secara perlahan."
Sungguh kata-kata yang sama sekali tidak pernah Dicky pikirkan sebelumnya. Papa yang selalu cuek, sekarang bisa bicara panjang lebar dengan dirinya saat ini. Hal itu membuat Dicky kaget sampai tidak bisa berucap satu katapun. Yang mampu ia lakukan hanya diam mematung sambil melihat papanya.
"Dicky. Papa tahu ini aneh. Tapi, papa sudah sadar kesalahan papa yang telah lalu. Kamu anak papa satu-satunya. Pewaris keluarga Prasetya yang sangat terkenal dan sangat di segani oleh semua orang."
"Apa maksud papa bicara panjang lebar padaku barusan, Pa. Jika ada masalah, maka katakan saja pada poin pentingnya. Jangan berbelit-belit."
"Tidak ada masalah. Hanya ucapan rasa penyesalan yang berharap punya waktu agar bisa memperbaiki semuanya."
"Sudahlah, aku semakin tidak memahami apa maksud perkataan papa. Jadi, tolong bicara pada pokok permasalahannya saja. Apa maksud papa datang ke kamarku sekarang?"
Bagas menarik napas panjang. Lalu melepasnya dengan berat.
"Baiklah. Jika kamu tidak ingin bicara lama-lama dengan papamu sekarang. Papa datang ke sini untuk membicarakan soal keputusan yang kamu katakan tadi. Apakah kamu benar-benar siap untuk menikah sekarang, Dik?"
"Tentu saja aku siap. Keputusan yang sidah aku buat, tidak akan aku batalkan."
"Jika memang begitu, maka papa akan dukung keputusan kamu seratus persen. Kamu siap menikah, maka papa akan urus semuanya."
"Terima kasih, Pa. Papa sudah mau mendukung keputusan aku."
"Tidak perlu berterima kasih pada papa, Dicky. Sudah sewajarnya papa berada di pihak mu. Karena kamu anak papa."
___
Intan sampai di depan sebuah vila di pinggir kota. Vila megah, namun terlihat sunyi karena tidak ramai penghuninya. Vila ini memang sangat cocok untuk dikatakan sebagai tempat menenangkan pikiran. Jauh dari keramaian kota yang sangat menyibukkan.
Saat melihat mobil Intan yang datang, satpam penjaga langsung membuka gerbang vila dengan terburu-buru.
"Selamat datang, nyonya Prasetya." Satpam itu menyapa sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Apa nyonya besar ada di dalam?"
"Ada nyonya."
"Oh."
Intan langsung meminta sopir kembali menjalankan mobil sampai depan pintu masuk vila tersebut. Setelah mobil berhenti, ia langsung turun dengan gaya elegan khas nyonya-nyonya kaya pada umunya.
"Selamat datang, Nyonya Prasetya. Silahkan masuk," ucap salah satu dari dua laki-laki bertubuh tegap dan besar yang berpakaian serba hitam yang sedang berdiri di depan pintu masuk vila megah tersebut.
"Hm." Intan berucap dengan sedikit malas. Lalu, dia langsung berjalan masuk ke dalam vila.
Sebenarnya, ia sangat malas datang ke tempat ini. Tapi, demi membatalkan rencana Dicky untuk menikah dengan gadis yang bukan pilihannya, ia terpaksa datang ke sini dengan membawa hati yang sudah ia bentengi dengan baja biar kuat.
"Selamat sore ... mama." Intan berucap dengan sangat lembut pada seorang wanita yang sedang duduk di atas sofa megah di ruang tamu vila tersebut.
"Hm ... sore. Tumben datang ke sini. Ada perlu apa? Apa ada masalah dengan rumah tangga kamu dan anakku? Atau ... apa jangan-jangan, anakku sekarang sudah punya istri baru?"
Seperti biasa. Kata-kata yang keluar dari mulut wanita yang sudah berumur ini selalu membuat hati Intan sakit. Makanya, dia sangat tidak suka datang ke tempat wanita ini jika tidak ada keperluan mendesak seperti sekarang.
Intan berusaha menarik senyum di bibirnya. Walau dalam hati, ia sangat ingin marah karena kata-kata pedas itu.
"Mama bisa aja bercandanya. Mas Bagas bukan tipe orang yang suka selingkuh kok, Ma. Lagipula, dia itu cinta mati padaku. Mana mau dia selingkuh, Ma."
"Cih ... kamu terlalu percaya diri, Intan. Lihat saja suatu hari nanti, kamu pasti akan merasakan sakit karena sikapmu yang terlalu percaya diri itu."
'Ya Tuhan ... itu mulut atau cabai rawit sih? Heh ... bikin kesal terus, kamu tua bangka. Sabar Intan, sabar. Kamu datang karena rencana besar mu. Sekarang, kamu harus sabar,' kata Intan dalam hati.
"Ma, jangan ngomong gitu dong. Mama harusnya bangga punya anak kayak mas Bagas yang begitu setia pada istrinya. Bukan malah mama doain biar dia jadi jahat seperti ucapan mama barusan itu, Ma."
"Oh ya, Ma. Aku datang bukan karena mas Bagas. Tapi karena Dicky, cucu mama." Intan berucap cepat agar mama mertuanya tidak kembali berucap kata-kata pedas yang nantinya akan benar-benar merusak kesabaran yang sedari tadi ia pupuk dengan baik.
"Dicky? Ada apa dengan cucuku? Cepat katakan!"
"Ma, Dicky mau menikah sekarang."
"Apa! Dicky mau nikah? Yang benar saja kamu, Intan!" Raut kaget tergambar dengan jelas di wajah oma Ranti saat ini.
"Iya, Ma. Dicky mau menikah dengan gadis yang tidak jelas asal usul keluarganya. Apa mama tidak dikabari oleh mas Bagas soal rencana Dicky yang akan menikahi gadis tak jelas itu?"
"Kurang ajar, Bagas! Kenapa dia tidak membahas soal besar ini dulu dengan aku? Kenapa kalian memutuskan hal besar seperti ini tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu?
Kalian anggap apa aku ini, hah?"
"Ma, itu bukan aku. Aku tidak ikut dalam keputusan yang mas Bagas dan Dicky putuskan. Aku malahan menentang keputusan mereka. Dan karena aku masih menghormati mama sebagai tetua keluarga, sekaligus orang tertinggi dalam keluarga Prasetya, makanya aku datang ke sini sekarang."
"Murni! Murni ke sini!" Oma Ratih berteriak dengan suara nyaring memanggil asisten rumah tangganya.
Seorang wanita paruh baya datang dengan tergopoh-gopoh karena mendengarkan panggilan dari sang majikan.
"Ya Nyonya besar. Saya datang."
"Ada apa nyonya besar?"
"Murni. Cepat ambilkan aku ponsel! Aku ingin segera menghubungi Bagas sekarang juga."
"Baik laksanakan, nyonya besar."
Wanita paruh baya itu ingin segera beranjak meninggalkan ruang tamu. Sementara Intan yang melihat wajah tegang dari mama mertuanya, menarik senyum bahagia.
'Aku jamin. Rencana ku kali ini pasti tidak akan berantakan. Mama pasti akan menentang pernikahan Dicky dengan gadis tak jelas itu,' kata Intan dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Aku pasti rencana org jahat seperti kamu dan Jeny sama berantakkan nya,🤣🤣😜
2023-05-27
0
Qaisaa Nazarudin
bertemu buku dgn ruas,gak cermin diri sendiri intan??!😜😜
2023-05-27
0
Qaisaa Nazarudin
Wkwkwk ternyata mau minta dukungan mamer nih,,Semoga aja oma mendukung cucu bukan mendukung menantu,😄
2023-05-27
0