Ding dong..
Bell pulang berbunyi. Gerbang sekolah terbuka. Murid Elang Emas membubarkan diri siang ini. Beberapa orang berjalan kaki, adapula yang mengendarai motor, dan ada sebagian murid juga yang mengenakan mobil.
"Lepasin aku!"
"Kemarin lu kemana?" Desak Alex.
Alex menarik kuat tangan Nadir. Menyeretnya dari depan kelas hingga gerbang sekolah ke suatu tempat yang Ia ingin tuju. Keributan mereka menarik perhatian beberapa orang, Namun sebagian lagi tak acuh mengurusi diri masing-masing.
Tidak peduli.
"Jangan kasar kaya gini." Pinta Nadir. "Aku nggk nyaman kalo kaya gini terus." Ia menatap Alex dingin.
Alex melonggarkan genggamannya. "Yaudah ayo ikut."
Di gerbang sekolah, Pras sebagai ketua tim pengamanan memperhatikan pertikaian itu. Kebetulan sedang berjaga di sana. "Lu ada apaan lagi sih, Lex?"
Alex membalas dengan tatapan sinis. "Lu mau campurin urusan pribadi gua?"
Nadir yang menoleh cuma bisa diam.
Alex merupakan murid seangkatan Pras, sehingga biasa berbicara santai seperti itu. Mereka sama-sama berada di kelas dua. Angkatan yang menengahi senior yang hampir lulus dan bocah-bocah ingusan yang baru saja masuk sekolah terkutuk ini.
Ketika mendapat jawaban ketus, Pras merasa agak kesal. Di sisi lain, Ia juga harus tetap profesional sebagai figur sekolah ini. Meski hatinya mendongkol melihat seorang cewek diperlakukan kasar seperti itu.
"Aku gapapa kok, Pras." Jawab Nadir terpaksa.
Mendengar itu sedikit lega. Namun tetap mengganggu pikiran Pras.
"Ayo cabut!" Alex lekas menarik Nadir menjauh dari keramaian itu.
Menariknya seperti itu tentu saja hal yang biasa untuk Nadir beberapa bulan terakhir ini. Bukan pertama kalinya Ia diperlakukan kasar seperti itu. Dan sering menimbulkan pertanyaan dibenak orang-orang sekitar mereka. 'Kenapa masih mau bertahan sama cowok brengsek gitu?'
[Nadira Amira, kelas dua, murid senior.]
***
Sementara itu di serbang gerbang sekolah, Rengga sedang merokok bersama kelompoknya. Seperti biasa, di mana ada Rengga pasti ada Keni juga di sana. Kaki satunya disandarkan ke kaki yang lain, sedangkan matanya terfokus dengan motor yang baru saja keluar dari dalam sekolah. Ia membelalak sesaat, karena tau itu adalah motor dengan harga ratusan juta.
"Cegat motor itu, Ken!" Titahnya.
Keni langsung menghadang motor tersebut. Berhasil membuat pengendara motor itu berhenti menepi. Setelah itu disusul bersamaan dengan yang lainnya mengepung.
Rengga 'celingukan' memastikan Pras tidak melihat hal yang akan Ia lakukan. Setelah yakin, maka Ia menghampiri motor mahal yang terhenti itu.
"Motor lu bagus juga." Pujinya seraya mengusap, juga memperhatikan setiap lekuk body motor itu.
Royal Enfield Classic 500cc.
Mimik murid itu seketika getir. "Iya bang. Baru dibeliin papa, karena masuk penerimaan Elang Emas."
Ide cemerlang muncul di kepala Rengga. Mengingat Ia belum dapat anggaran dari pajak organisasi semester ini. Membuatnya harus memutar otak agar bisa tetap 'Jajan'.
"Yaudah sekarang lu beliin gua rokok." Ucap Rengga memaksa. "Lu mau apa ken?"
Kemudian Keni menyahut. "Gua mau minum aja, Bos. Buat ntar malem."
Murid itu merasa kebingungan karena ditodong dengan permintaan seperti itu.
"Siapa nama lu?" Tanya Rengga lagi.
"Steven, Bang." Balasnya.
Rengga mengangguk. "Oke, Stev. Gua nggk peduli.. sekarang lu gua namain 'ATM'. Cepet keluarin duit lu." Pintanya memaksa.
Steven menelan ludah, lalu menjawab ragu. "Saya nggk punya duit bang."
"Mau gua bakar motor lu?" Ujar Keni mengancam.
Dengan terpaksa, Steven memberikan beberapa uangnya pada Keni untuk diolahnta menjadi 'Jajan' mereka hari ini. Kemudian Steven pun pergi wajah panik. Ia tak berani mengadu kepada siapapun.
[Steven Reeves, kelas satu, murid baru.]
***
Taman Suropati.
Telapak sepatu mereka menginjak daun yang berjatuhan di taman dekat sekolah.
Mereka berniat berhenti di sana.
Nadir menautkan alis diwarnai wajah geram. "Akhir-akhir ini kamu jadi kasar, Lex.?"
"Gua lagi mumet, udahlah lu jangan nambah masalah hidup gua." Ucap Alex. "Harusnya lu dukung gua, biar nggk larut di situ."
Nadir memutar mata sebal tak menggubris.
"Gua nggk suka ya, kalo lu deket sama adik kelas lu-" Alex mencoba mengingat. "Siapa namanya?"
"Wijaya." Balasnya ringkas.
"Iya itu. Namanya udah kaya toko bangunan. Ngapain sih? lu kemaren pulang sama dia?" Tukas Alex.
"Dia temen doang, Lex. Kamu gausah berlebihan kaya gini." Himbau Nadir. "Kebetulan, dia kost deket aku."
Wijaya mengenal Nadir saat hari pertama berangkat sekolah, pagi itu saat upacara pembukaan. Ketika melihat Nadir mengenakan seragam sama, membuatnya memulai obrolan di depan kosan.
Alex merasa gusar juga khawatir. "Itu bocah kost deket lu?"
"Lagian kamu kemarin kan ga bisa anter aku." Sanggah Nadir. "Jadi aku pulang sama Wijaya biar ada yang nemenin."
Alex yang tak terima dengan dalih itu bertanya. "Fara kemana emang?"
"Kamu tau kan." Nadir mengembungkan pipi sebal. "Kemarin dia masih ngurusin organisasi."
Fara merupakan sahabat yang baru ditemui Nadir, Ia mengenalnya lewat Alex karena bertemu di organisasi. Sejak dulu Nadir kesulitan berteman, namun Fara berbeda. Meski berlaga seperti 'bad girl' tapi Ia adalah teman yang baik bagi Nadir.
Sesungguhnya, Fara merasa geram tiap kali mendengar cerita Nadir tentang Alex. Perlakuannya kepada pacarnya sungguh meresahkan bagi yang melihatnya, termasuk Fara.
Fara juga salah satu orang yang kerap kali bertanya pada Nadir. 'Kenapa masih bertahan?'
"Lu gausah macem-macem dah." Lanjut Alex. lagi. "Kalo lu pulang sama bocah itu lagi.. pala bocah itu bakal gua pecahin besoknya."
***
[Alfonsus Hansel, Kelas tiga, Ketua tim penyelidik.]
Han memakan bakso yang telah Ia pesan, ditemani dengan beberapa anggota timnya. Ia menaikan kakinya satu, hingga dengkulnya terlihat ke atas meja. Kemudian mengunyah bakso itu, seraya menelisik ke arah gerbang sekolah Murai Merah.
"Bos gua nggk tenang makan kaya gini." Celetuk salah satu anggotanya khawatir.
"Gua juga bos." Timpal yang lainnya. "Bisa-bisanya kita makan di depan markas musuh."
"Diem kita lagi ngintai goblok!" Sahut Han dengan suara pelan.
Abang bakso yang mendengar percakapan mereka menoleh sejenak, lalu kembali melakukan pekerjaannya, menaburkan daun seledri juga daun bawang.
Kematian salah satu murid baru itu membuat Han harus melakukan pengintaian ini. Memastikannya untuk mencegah perang besar yang bisa saja terjadi.
Anak buah Han melanjutkan acara makannya. Sebuah kepura-puraan agar terlihat samar dipandangan murid Murai Merah. Separuh diri mereka saling tau itu tidak bertahan lama.
Beberapa saat kemudian, murid Murai Merah menyadari kehadiran mereka. Mereka mulai menunjuk ke arah kedai Mie ayam bakso dan sekaligus menghampiri ke arahnya.
Menyadari hal itu, Han berusaha tetap santai dan terlihat tidak mencurigakan.
"Apapun yang mereka tanya, jangan jawab." Ucap Han memberi Intruksi.
"Siap bos." Dibalas dengan berbisik.
Kini, beberapa orang telah mengitari kedai mie ayam bakso itu.
"Ngapain lu disini?" Tanya seorang Murid Murai Merah.
"Make seragam Elang Emas di sini. Mau mati lu?" Timpal yang lainnya.
Makian juga sumpah serapah terus menghardik kedai itu. Sedangkan, abang pemilik kedai hanya diam berusaha tidak ikut campur.
"Gua cuma makan bakso doang." Sahut Han. "Ada yang bilang sama gua bakso di sini enak dan harus dicoba.. Ia nggk bang?"
Abang bakso terkekeh mengikuti sandiwara seadanya. "Iya, dek!"
"Bakso lu enak banget, bang!" Timpal Hansel lagi. Namun bedamy dilanjutkan dengan tawa memaksa.
Mencoba mencairkan suasana tentu saja tidak mudah, itu akan terdengar aneh bagi Murai merah yang mendengarnya. Dan setelah beberapa detik, mereka bertatap-tatapan satu sama lain.
Sebuah usaha yang sia-sia.
"Kalo mau makan di sini lepas seragam lu, Brengsek!" Kata seorang murid mengintimidasi.
"Iya bener!"
"Bisa-bisanya pake seragam itu di sini."
Han mengetahui jelas situasi ini. Meski mereka dilindungi perjanjian damai dua tahun lalu. Bukan berarti mereka tunduk dengan Elang Emas begitu saja, karena Murai Merah pun memiliki daerah kekuasaannya sendiri, yang tentu saja tidak boleh diusik.
Dengan kehadiran Han tentu saja dianggap sesuatu yang mencurigakan. Jelas tragedi sepukul dua pukul bisa terjadi setelah ini, dan akan memecahkannya menjadi situasi yang lebih kalut lagi. Tetap saja, bagi Hansel keselamatan anggota timnya lebih penting saat ini.
"Buka-buka-buka-bukaa!!" Suara menggebu mengintimidasi, untuk melepas seragam Elang Emas.
Dengan terpaksa Han membuka seragam sekolahnya, kemudian memasukannya ke dalam tas. Selanjutnya diikuti dengan yang lainnya. Anak buahnya hanya mengikuti, tanpa mengucap sepatah kata pun.
Suara riuh karena berhasil membuat Elang Emas membuka seragam, meramaikan kedai itu. Hansel dan anggota timnya dikepung kira-kira lima puluh orang banyaknya.
Seseorang membelah kerumunan itu. "Ada apaan nih?"
Cowok tinggi dengan banyak gelang di tangannya. Han yang mengenal orang itu membuka matanya berseri, Ia bernama Gigih.
"Lama nggk ketemu, Gih." Sapa Han memulai.
Lalu Gigih bertanya ragu. "Hansel?"
Nostalgia terjadi sejenak. Namun kembali pecah, setelah mengingat keadaan sekolah mereka berdua. Mereka langsung memasang wajah datar setelahnya, seolah biasa-biasa saja.
Kerumuman itu terheran karena mereka yang saling kenal satu sama lain.
"Bubar!" Tegas Gigih memecah keheningan.
Mendengar hal itu, maka murid Murai Merah satu per satu membubarkan diri.
Lantas, anak buah Han terkejut, lega, sekaligus heran. Untuk sesaat mereka bertanya dalam hati, tentang siapa orang itu. Bisa-bisanya murid Murai Merah menuruti perintahnya.
[Gigih Prakoso, Kelas tiga, Pilar Murai Merah.]
Setelah kerumunan itu membubarkan diri, Han langsung memberi tau alasan kedatangannya kepada teman lama. "Ada yang mau gua omongin." Jelasnya singkat.
Gigih mengangguk mengerti, lalu manganjurkan untuk mengobrol di belakang kedai memisahkan diri.
"Untung lu pada nurut sama bocah tadi." Ujar abang bakso.
Anggota Han merutkan dahi. "Kenapa emang, Bang?"
Abang bakso menghela napas. "Parang, celurit, sama temennya. Disimpen diatas gerobak."
Lantas, penjelasan pemilik kedai itu membuat orang yang mendengarnya bergidik menelan ludah.
"Lu bisa mati kapan aja." Lanjutnya lagi.
Selagi Han mengobrol dengan Gigih. Anak buahnya menganga mendengar hal itu dari Abang penjual Bakso.
***
Melody menggenggam sebongkah kayu, jarinya menari di antara senar-senar yang bergetar. Petikan gitar mendawai mengeluarkan semua hasrat yang tak terungkapkan dari dasar hati.
Dan mulai bernyanyi.
...[Dunia berjalan tanpaku...
...Tak peduli apa yang kurasa...
...Entah aku sedang berjuang...
...Atau terpuruk dalam luka]...
...[Kukira dengan kepergian...
...Semua akan lebih mudah...
...Namun harapan dan impian...
...Terus mengganggu benakku]...
Suara merdu bergetar, beriringan dengan melodi petikan gitar, berpadu menjadi harmoni. Seolah menangis dari lirihnya gema suara, sampai ia terhenti dan menulis lagi. Sepenggal lirik lagu yang belum selesai Ia tulis.
[*Note: Penggalan lirik lagi yang tercantum merupakan karya orisinil karangan penulis.]
Setelah menghisap rokok yang membara sejak tadi. Matanya menyipit pertanda ia menikmati momen itu. Lalu, Ia kembali mengulik nada dan bersenandung pelan.
"Lirik kamu sedih banget sih." Ujar Lala berkomentar, seraya membawa kopi dan cemilan. "Coba lebih nge-beat dan happy gitu."
Sementara itu, Melody yang sedang menulis menoleh. "Ga ada inspirasi gua buat yang kaya gitu."
Lala menaruh cemilan di meja.
"Lebih suka yang pelan gini." Imbuhnya.
"Kamu Americano pake es kan, Mel?" Tanya lala menyodorkan kopi.
"Iya taro aja." Sahutnya dengan anggukan.
Melody menikmati hisapan terakhir rokoknya, yang sejak tadi menganggur karena masih asik bermusik. Lalu, mematikannya ditumpukan banyak puntung yang telah Ia hisap.
Lala yang menyodorkan kopi, membuat Melody langsung menyeruputnya sedikit.
"Gimana? Kurang apa?"
Melody mengecupkan bibir "Pas kok."
"Heran aku sama kamu tuh." Lala menggeleng. "Kok bisa suka kopi pahit kaya gitu."
"Jeila Melisa.. Selera lu aja yang ga berkembang." Balasnya Melody menggoda. "Lu bilang suka susu coklat dari bocah kan."
Lala yang masih menyeruput susu coklatnya terkekeh.
"Susu coklat dipakein es enak tau." Katanya membela diri.
"Iya deh. Terserah lo." Melody menjawab pasrah malas berdebat. "By the way, gimana temen lu yang bonyok kemaren?"
Lalu, Lala menjawab. "Aku tuh kasian sama dia. Luka memar sampe pingsan karena aku."
"Lagian kenapa dia bisa sampe bonyok gitu sih?" Melody menautkan alis penasaran.
Lala terdiam.
"Lo masih nggk mau cerita?"
Ia mengangguk.
"Yaudah santai aja." Jawab melody memaklumi. "Pas tiba-tiba lu telfon gua kaget tau. Kalo terjadi sesuatu lu bisa cerita sama gua."
"Makasih, Mel. Udah dateng." Maka senyum Lala merekah.
"Siapa namanya?"
"Alvin."
"Oh iya. Sempet kenalan sih tapi gua lupa." Melody mengingatnya ketika upacara penerimaan. "Lumayan berat itu cowok."
"Hmm.. untung kamu kuat bopongnya ke mobil, Mel. Kalo aku sendiri pasti nggk kuat."
"Dia sadar nggk gua bopong?"
"Aku rasa nggk.." Lala menggeleng. "Kemarin pas sadar sih, dia nggk banyak ngomong, Mel."
"Bagus deh."
Melody sebenarnya mengkhawatirkan Lala dan ingin mengetahui yang sebenarnya terjadi. Sangat menyayangkan Lala belum siap bercerita. Ia menyadari Lala menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi satu hal yang pasti, Ia paham harus menjaga sahabatnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Riza
semangat
2022-06-18
1