Sekarang.
Sari biji kopi yang dilarutkan dengan air bersuhu tinggi mengucur dari portafilter lalu turun ke seloki menjadi espresso, Diambilnya lalu dituangkan ke wadah yang telah berisi susu dan es batu. Tak lupa diberinya sedotan untuk menikmatinya.
Bell berbunyi.
"Iced caffe latte!"
Waiters pun mengambil pesanan yang telah jadi langsung dari Bar.
"Gimana hari pertama kamu SMA, Bas?" Tanya seorang pria paruh baya.
"Biasa saja, de." Jawab Baskara. "Cuma ada informasi aja untuk pembayaran lagi bulan depan."
[pakde; akronim bapak gede, sapaan kepada kakak laki-laki ibu atau ayah.]
"Lho bukanya sekolah kamu itu gratis?"
Air dari westafel mengucur. "Iya, pakde. Cuman beberapa waktu lalu dikasih tau ada biaya tambahan sedikit."
"Apa masih cukup untuk kebutuhan bulanan kamu kalau ada biaya itu?"
"Masih cukup ko, de. Biaya kosan ku murah, nanti untuk makan ku hemat-hemat lah." Timpalnya sembari membersihkan peralatan kopi yang dipakai tadi. "Bas, bersyukur bisa dikasih pekerjaan disini jadi bisa tetep bersekolah, de."
"Iya pakde juga cuman bisa bantu seperti ini. Semoga bisa lancar yah sekolah kamu." Katanya tersenyum. "Tolong bantu, bude mu di dapur sana, Bas."
"Siap pakde!"
***
["Tahun ini terjadi anomali cuaca diberbagai daerah, termasuk kota Jakarta. Diprediksi hujan lokal akan terjadi di beberapa titik ibukota, oleh sebab itu sumur resapan yang dibangun dibeberapa titik dipercepat."]
Suara berita dari televisi yang menyala di ruangan berpetak.
["Masuk ke berita selanjutnya, warga Manggarai digemparkan dengan penemuan mayat disebuah gedung tak terpakai pagi ini yang diduga adalah siswa dari SMA Elang Emas."]
Sontak mata Baskara terperangah mendengar berita tersebut. Padahal itu kan dekat dari letaknya sekarang, juga dekat dengan area sekolah menurut radius pengamanan. Ia keheranan dicampur khawatir, karena kematian murid sekolahnya itu menjadi sorotan di berita.
["Tidak ada luka tembak maupun tusukan di tubuh siswa tersebut, namun luka lebam di wajah hingga ke seluruh tubuh dan belakang kepala yang terus mengucurkan darah. Masih menunggu tim forensik untuk memastikan penyebab kematiannya. Polisi berusaha melacak pelaku pembunuhan tersebut."]
"Apa Jangan-jangan tim pengamanan lengah?" Ia berusaha konsentrasi memperhatikan wajah korban di televisi.
Terbesit di pikirannya untuk mengingat apa korban termasuk seorang yang Ia kenal. Tak memberikan cukup bukti karena wajah diblur oleh pihak televis. Hal ini mengganggu benak Baskara hingga membuatnya harus memastikannya sendiri.
Maka, Ia mengambil sling bag dan beberapa yang barang dimasukan ke dalamnya, setelah itu pergi menancap gas motor jadulnya.
Binter Merzy 200 cc.
***
BRUUMM
Bermodalkan alamat dari televisi dan juga mengetahui ciri tempat yang ditampilkan, Jarak kosan baskara dekat dengan TKP sehingga bisa sampai dengan waktu yang singkat.
Warga masih ramai mengitari TKP, Sirene masih menyala dari mobil polisi yang terparkir. Garis pembatas berwarna kuning terpasang tanda bahwa tidak ada yang boleh melewatinya, selain pihak berwenang. Beberapa oknum polisi menghimbau warga untuk membubarkan diri.
Baskara memicingkan mata dari kejauhan, menerabas di tengah keramaian untuk mendekat. Berhenti didepan garis kuning sembari 'celingak-celinguk'.
"Nggk heran SMA ini emang punya banyak musuh." Celetuk seorang warga. "Masuk SMA ini sama aja nggk sayang nyawa."
"Setau gua di sekitar sini ada markas Tim Pengaman. Kok bisa kecolongan yak?"
"Ya namanya orang bisa juga lagi lengah kan."
"Iya juga sih."
"MINGGIR!" Ujar seorang pria menerabas dengan terengah.
"Jangan mendekat, mas!" Himbau polisi yang berjaga. "Nanti bisa ngerusak barang bukti!"
"Saya gurunya di sekolah pak! Saya berhak buat liat kondisi murid saya!"
"Untuk liat boleh saja! Sementara ini tim forensik lagi menganalisa bukti."
"Oke pak saya cuma ingin dokumentasi untuk data ke sekolah dan kabar kepada orang tua murid yang bersangkutan." Lalu Ia memotret area sekitar TKP dan mayat korban dari beberapa sisi.
Namanya pak Jajang, Ia adalah guru SMA Elang Emas di departmen konseling bertugas untuk mengawasi murid yang bermasalah. Dengan ditemukannya mayat muridnya tentu saja menambah pekerjaannya yang tidak sedikit.
"Hadehh.." lanturnya mengeluh. Dengan mata menyipit melihat hasil foto satu per satu keluar dari kerumuman.
"Pak Jajang!" Panggil Baskara. "Boleh saya minta foto dari area TKP tadi?"
"Ohh kamu murid saya juga ya?" Tanyanya ragu.
"Betul, pak!"
"Oke saya kirim tapi tolong jangan disebarkan!"
"Terimakasih, Pak Jajang."
Baskara termangu, kaget setelah melihat hasil foto korban tanpa diblur. "Kevin?"
***
[Kevin Octavianus, kelas satu.]
Lembar foto korban pembunuhan ditengah meja. Setelah di otopsi dipastikan bahwa korban mengalami pendarahan parah dikepala yang diduga terbentur benda tumpul, dan tak sadarkan setelah mencoba melawan. Setidaknya begitu yang tertulis dilaporan tersebut.
"Pras, sebagai ketua tim pengamanan. Gimana lu bisa jelasin ini?" Tanya seorang cowok bernada tegas.
"Tim nggk bersiaga sampai sore, Bos. Itu kejadian kan di luar jam kita." Jelas Pras membela diri.
"GUA NGGK MAU TAU SOAL ITU!"
"Tapi bos-"
"Kita bisa hilangin kepercayaan sekolah. Kalo gini caranya organisasi kita lama-lama bisa nggk dapet ijin buat mungut pajak lagi."
Semua yang hadir di rapat itu terdiam memasang wajah tegang. Ia adalah orang nomer satu di Elang Emas saat ini, ketua organisasi. Jarang terlihat di permukaan, hanya mengendalikan lewat bayang-bayang.
[Nama tidak diketahui, Ketua Organisasi.]
"Pras, pokoknya lu harus organisir bocah supaya nggk ada kejadian gini lagi. Ada pertanyaan kali ini?"
Sementara itu Fara langsung menyambar mengangkat tangan, memberi sinyal.
"Silahkan."
"Untuk daerah Manggarai setau gua aman. Baru kali ini ada kasus di daerah itu. Dan, ada satu sekolah yang bisa kita curigai." Fara terhenti sejenak. "SMA Murai Merah!" Lalu melanjutkan dengan tuduhan tidak terduga.
Hening sekejap.
[Angel Farasya, kelas dua. Ketua Tim medis organisasi.]
Semua petinggi yang hadir berbisik resah.
"Mereka udah lama 'tertidur' jadi nggk mungkin mereka." Ujar Alex.
"Iya, juga udah dua tahun terakhir ini kita nggk ada ancaman dari mereka."
"Jadi gimana bos?"
"Usut, Pras! Kalo mereka melanggar perjanjian itu kita ratain!" Perintah langsung dari ketua. "Gua nggk bakal main-main untuk Murai Merah."
Perjanjian damai memang sudah dilakukan ke beberapa sekolah. Salah satunya ialah kepada Murai Merah yang terjadi dua tahun lalu. Satu musuh terlalu banyak, seratus teman terlalu sedikit.
Han berbisik khawatir akan terjadi perang besar seperti dua tahun lalu. Mengingatkannya bagaimana banyak mukjizat menyertai ketua hingga bisa menaklukan Murai Merah yang terkenal tak terkalahkan itu. Ia sangat menghormati ketua organisasi.
[Alfonsus Hansel, kelas tiga, ketua tim penyelidik organisasi.]
Ia salah satu dari tiga orang yang selamat dari tawuran besar yang terjadi dua tahun lalu. Beberapa orang tertangkap, luka parah dan memilih tidak kembali bersekolah. Pertempuran pecah sore itu terjadi di 'kandang' Murai Merah dikepung kira-kira seratus orang gabungan setiap tim Elang Emas. Berhasil meratakan sekolah itu hanya beberapa jam saja, pertama kalinya dalam sejarah perseteruan SMA. Yang akhirnya membuahkan hasil perjanjian damai bersyarat. Tidak ada yang tau pasti bagaimana kejadian di akhir tawuran itu dan syarat apa yang diajukan. Hanya tiga orang selamat yang bisa menceritakan dan menyaksikan pertempuran hingga akhir, yang kini beberapa menjadi petinggi Elang Emas.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments