Chapter 3; Perundungan.

[Rengga Pakuwinoto, Kelas tiga, Wakil Ketua Organisasi.]

"Buka baju lu!" Kata Rengga.

"Jangan kak." Jawab Lala menolak.

"Mau gua ewe asal-asalan lu?" Tukas anak buah Rengga.

Di sisi lain gedung utama terdapat bangunan terbengkalai yang terletak di belakang sekolah. Keni dan anak buah lainnya sedang merundung murid baru.

Lala sedari tadi telah menolak untuk melucuti pakaiannya. Matanya sendu ketakutan, berdiri memeluk dadanya yang terus dibuka paksa oleh anak buah Rengga. Sebenarnya, Ia dijebak, seseorang berkata kepadanya bahwa esktrakulikuler melukis sedang membuka kelas dan mengarahkannya ke sebuah lorong yang berakhir di sini.

[Lala alias Jeila Melisa, Kelas satu, murid baru.]

Keni memegang hape miliknya, kemudian mengarahkannya ke tubuh Lala. "Buruan lu buka sundal!" Ia telah bersiap untuk memotret lekuk tubuh Lala.

Gadis itu menangis dalam diam, kenangan yang akan terpatri selamanya dalam hidup. Kenyataan pahit bahwa dirinya direndahkan oleh orang-orang tak beretika.

Beberapa orang menggerayangi tubuhnya, tapi apa daya, diri tak mampu melawan. Tangan itu berhasil melonggarkan pakaian Lala hingga tersisa pakaian dalam, sehingga lekuk payudara dan pinggulnya terlihat kentara hanya di tutupi beberapa helai kain.

Ia melirih dalam hati berharap ada yang datang menolongnya.

Dalam situasi terburuk setiap orang mengharapkan bantuan datang tepat waktu, meski akhirnya tak ada satu pun yang datang.

Lala tidak ingin lebih buruk lagi dari ini.

"Ken lu dapet fotonya nggk?" Tanya Rengga.

Keni yang masih asik memotret menyaut seadanya. "Aman.. Gua ambil dari posisi yang paling bagus."

[Keni Andaresta, Kelas dua, tangan kanan Rengga.]

Di sisi lain bangunan, Alvin menerawang dari balik tembok di ujung lorong, mengamati sesuatu yang terjadi namun tak melihat Keni yang tadi telah memotret tubuh Lala. Yang Ia ketahui hanya Lala sedang dirundung.

Hatinya gerah melihat Lala dipermalukan seperti itu. Merasa hal itu tidak bisa dibiarkan lagi.

"Hahaha.." Keni tertawa menyodorkan foto separuh telajang Lala, dilanjutkan dengan tawa riuh yang lainnya.

Lala menangis menutupi bagian tubuh sebisanya.

"BERHENTI!" Suara Alvin memecahkan tawa mereka. "Kalian nggk boleh kaya gini. Ini nggk bener!"

Mereka yang tadinya riuh tertawa, kini hening menatap murid baru yang terlihat sok berani tiba-tiba hadir.

Rengga duduk di ujung ruangan, memegang pil di dalam sebuah plastik klip. Tak menghiraukan kedatangan Alvin, hanya menatap situasi dengan tenang. Ia justru mengkonsumsi obat-obatan yang tidak jenisnya.

"Lu siapa??" Tanya Keni mengintimidasi.

Alvin gemetaran tak mampu menjawab. Sadar bahwa yang Ia lakukan sama saja 'bunuh diri'. Jika dilihat dari situasinya ia tidak sangguo merubah apapun. Apalagi ingin menyelamatkan Lala. Namun, kompas moralah yang membuatnya melakukan ini.

"Lepasin dia, bang." Sahutnya spontan.

BLAMM!!

Dengan tiba-tiba, tinju Keni melayang ke perut Alvin hingga membungkuk, mata terbelalak mengartikan kesakitan, mulut menganga menerima pukulan itu.

Lalu, Alvin mencoba untuk sadar dan mengambil alih situasi, Ia mencoba melayangkan tinju ke wajah Keni memberikan serangan balasan.

BLAMM!!

Serangan balasan itu mengenai wajah Keni. Dalam batin Keni tidak menyangka bocah sok jagoan ini akan melawan balik.

Set!

Alvin memukul lagi, namun kali ini Keni berhasil menghindar dan Ia bersiap melancarkan serangan balasan.

Lengan yang terkepal keras itu mengarah ke wajah Alvin. Dengan spontan, kepala Alvin bergulir menunduk di bawahnya.

BLAMM!!

Pukulan vertikal membelah dari bawah mengenai dagu Keni.

BRUK!

Membuatnya jatuh terpelanting tak mampu mempertahankan posisi berdirinya.

Alvin meraih kerah Keni, dan mulai memaki sebisanya. Melihat kekalahan Keni, Rengga yang sejak tadi diam, memberi aba-aba kepada yang lain dengan memainkan matanya. Hanya dengan begitu, anak buah telah paham untuk menghabisi Alvin secara bersamaan.

GEDEBUK!

Alvin terjatuh dari tendangan yang tidak ia ketahui arah datangnya. Memojokannya di situasi genting, juga memaksanya harus melawan beberapa orang sekaligus, kini mereka telah berdiri melingkarinya.

Bisa ditebak akhirnya akan seperti apa.

***

Baskara mengamati foto dari TKP yang diberikan padanya, menggulirkan satu per satu di antara yang lainnya. Ia mencoba mengamati ketidakwajaran dari situ.

Ia tidak percaya seseorang bisa mati karena memakai seragam yang salah, juga bersekolah di tempat yang salah. Setidaknya, itu yang Ia ketahui penyebab kematian temannya, Kevin.

"Lu masih aja mikirin itu, Bas?" Tanya Wijaya memecahkan lamunnya.

Baskara menoleh. "Gua pikir ini nggk adil.." Katanya. "Ada yang salah sama sekolah ini sampe punya banyak musuh. Lagian itu Kevin.. Temen pertama yang gua kenal di sini, Jay."

Sedangkan, Wijaya berusaha menjawab sebisanya. "Karena kita murid baru.. kita nggk pernah tau, Bas. Masa lalu sekolah kita."

"Gua harus nyari tau, Jay." Pungkasnya. "Gua nggk bisa diem aja buat semua yang udah terjadi."

"Emang ada yang harus lu tau, Bas." Sela Wijaya.

"Apa?"

"Kevin pernah jadi korban perundungan." Jelas Wijaya lugas. "Yang jelas mereka murid sekolah lain, yang bermusuhan sama sekolah kita, Bas."

"Lu tau dari mana?"

"Gua dengar kabar angin, karena kenal murid kelas dua disini." Tuturnya.

Baskara menautkan alis penasaran.

"Gua bisa cari tau tentang itu." Kata Wijaya meyakinkan. "Sekarang kirim foto itu. Gua bakal coba cari tau tentang informasi lainnya dari berkas data sekolah."

"Kita harus cari bukti untuk laporin pelakunya. Gua nggk terima kalau kasusnya di tutup semudah itu." Baskara telah mendeklarasikan tekadnya.

Terdengar kabar diberita bahwa kasus itu tidak menemui titik terang dan dengan alasan yang tidak diketahui pihak kepolisian segera menutup kasusnya menghentikan penyelidikan.

[Chandra Wijaya, Kelas satu, Murid baru.]

Wijaya seorang teman yang ditemui Baskara di sekolah ini. Beberapa minggu bagi mereka sudah cukup untuk menjadi akrab dan mengaitkan kococokan. Sedangkan, Kevin sering membolos sebelum peristiwa pembunuhan terjadi. Hingga Baskara kehilangan kabar tentangnya.

Baskara mengerti yang harus Ia lakukan sebagai pendatang di Jakarta.

Yaitu merangkul orang sekitarnya menjadi teman.

***

"Lu dari mana, Reng?" Tanya Pras ketika berpapasan dengan Wakil ketua organisasinya.

Rengga tetap melangkah tidak peduli. Mengigit tusuk gigi dengan wajah congkak menyebalkan. Berlaku cuek, Seraya memasukan tangan ke saku samping. Matanya mengambarkan kepelikan yang tidak pernah Ia jelaskan.

"Gua ngomong sama lu." Tegas Pras.

"Dia nggk mau ngomong sama lu!" Sela Keni. "Mending lu diem."

Keni dan yang lainnya terlihat berantakan, Pras menyadari mereka pasti berbuat ulah lagi. Sesungguhnya, Pras menghormati Rengga karena dia adalah wakil ketua tapi tidak dengan Keni yang hanya berlagak keren.

Rengga yang sudah melewatinya berhenti. Mengisyaratkan Keni untuk memberi ruang.

"Cepet lu mau ngomong apa?" Desak keni.

Pras mengamati perbedaan sikap Rengga akhir-akhir ini sejak kepergian Najwa. Tidak ada yang tau persis seperti apa ceritanya. Tapi semenjak itu hidupnya seperti kosong.

"Tadi ada rapat.. Lu tau tempo hari ada insiden." Katanya menjelaskan. "Gua lagi cari tau sesuatu. Ini berkaitan sama Murai Merah."

Lalu suasana Hening.

Tentu saja Rengga mengerti bahaya Murai Merah. Karena Ia termasuk saksi hidup yang selamat dari perang besar dua tahun lalu itu.

"Ketua berharap kita nggk ngulang perang besar seperti dua tahun lalu."

Untuk sesaat, terbesit keganasan perang tersebut di benak Rengga. Sekolah Murai Merah diserang hingga menjadi lautan darah. Di antara mereka yang selamat, jika mereka boleh memilih sangat yakin untuk tidak hadir dalam perang itu. Pengalaman buruk karena telah melihat neraka sebelum kematian tiba.

"Gua ngerti" Jawab Rengga singkat lalu kembali melangkah.

Keni yang masih sebal kepada Pras, berlalu seraya menghantamkan bahunya, diikuti dengan yang lainnya.

Pras diam memaklumi. Menyadari Ia bukan tandingan Keni yang bersembunyi di balik bayang-bayang Rengga. Jika hanya Keni seorang diri mungkin Ia sudah memecahkan kepala bocah tengil itu.

***

SETENGAH JAM LALU

"Cukup!"

Keni yang masih memukuli Alvin berhenti lalu diikuti yang lainnya.

Alvin terkapar dengan luka memar dan cedera ringan. Namun masih berupaya terjaga, untuk tetap menepis seada-adanya.

Lala masih menangis di tepian.

Ia sedikit lega dengan kedatangan Alvin, tapi di sisi lain juga merasa iba kepadanya, karena dirinya keadaan menjadi seperti ini.

"Kita harus pergi sebelum dapet masalah." Lanjut Rengga.

BUAAKK!

Setelah Keni memberikan satu tendangan terakhir Ia pun pergi. "Lu udah tau akibatnya sekarang, bocah baru." Ucap Keni membanggakan diri. "Sadarin posisi lu!"

Setelah mereka semua pergi, Lala menghampiri Alvin, menyanggah kepalanya.

"Kamu gapapa?" Tanya Alvin.

"Seharusnya aku yang tanya gitu." Balas Lala khawatir. "Kamu udah luka kaya gini masih sempet khawatirin orang lain."

Alvin hanya mengangkat senyum memaksa.

"Aku sedih ngeliat keadaan kamu." Lala menangis lagi. Menggambarkan seorang cewek cengeng berhati lembut. "Tapi aku juga bersyukur nggk terjadi sesuatu yang lebih buruk."

Ia ngin berusaha tersadar. Namun sesuatu telah menghantam kepalanya berkali-kali. Membuat Alvin tidak bisa melakukannya..

Untuk menjaga Lala.

Ketika terbangun Alvin melihat Lala terduduk di kursi. Berusaha untuk tidak membangunkannya. Di sekitarnya banyak lukisan-lukisan yang seperti dibuat oleh amatir, karena bentuknya yang abstrak. Ia hanya memperhatikan cewek cengeng itu dan berpikir bagaimana bisa sampai di sini, di sebuah kamar yang sepertinya bukan di sekolah. Mulai terasa sakit di sekujur tubuh yang telah dihajar habis, namun beruntung tubuh Alvin masih kuat menahannya. Jika orang lain, mungkin akan berakhir berbeda.

Lala tersentak. Terbangun dan memfokuskan matanya dengan menyipit. "Kamu udah bangun dari tadi?" Katanya setengah tersadar.

"Hmm.." Sahut Alvin seadanya.

"Aku khawatir banget jadi aku bawa kamu ke sini"

"Ini dimana?"

"Rumahku."

Alvin bingung. Bisa-bisanya Ia sampai ke sini. Apa yang terjadi ketika tidak sadarkan diri. Ia menyingkirkan rasa itu sejenak, karena ada yang menurutnya lebih penting. "Kita harus laporin mereka."

"Jangan. Aku nggk mau." Sanggah Lala.

"Kenapa?"

Lala menggeleng pelan. "Kita harus rahasiain ini. Dan anggap kejadian itu nggk pernah terjadi. Okey?"

Alvin mengerutkan dahi. Menurutnya membiarkan perundungan adalah tindakan bodoh. Tapi sepertinya Lala memiliki alasan lain yang enggan untuk diberi tau. Alvin bisa menilainya dari mata Lala yang menyembunyikan sesuatu.

***

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

jeila melisa.. lala.

2022-06-26

1

Gerald Valentino Domine

Gerald Valentino Domine

lala

2022-06-05

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!