Baru selangkah Lathifa menginjakkan kakinya di luar cafe, ia menghentikan langkahnya.
Lathifa memutar tubuhnya, ia pandangi punggung Anisa yang terlihat sedikit bergetar dalam pelukan sahabatnya.
"Huuft." Lathifa menghembuskan napasnya kasar.
'Bismillah, Ya Allah semoga keputusanku ini adalah yang terbaik untukku.'
Lathifa kembali berjalan memasuki cafe, ia memantapkan hatinya, berdoa untuk kebaikan semua orang.
"Baiklah, saya mau membantu Mbak."
Kedua wanita yang sedang berpelukan itu menoleh ke arah sumber suara.
Anisa melepas pelukannya, berganti memeluk tubuh Lathifa.
"Terima kasih Fa." Anisa tersenyum lega.
...*****...
Di rumah Anisa tepatnya di ruang keluarga, terlihat seorang pria bersarung dengan kaos putih polos sedang bermanja meletakkan kepalanya di pangkuan sang istri.
Alwi Husein Ibrahim, di usianya yang masih terbilang muda, pria 28 tahun keturunan Arab-Jawa tersebut sudah menjabat sebagai CEO di perusahaan besar milik keluarganya.
Karena jiwa kepemimpinannya, kecerdasan dan juga kedisiplinan yang dimilikinya, sang Abi menyerahkan seluruh urusan perusahaan kepadanya.
"Bagaimana kegiatan kamu hari ini, Sayang?" tanya Alwi, tangannya sibuk memutar-mutar cincin yang melingkar di jari manis tangan kanan Anisa.
"Biasa saja, Mas. Sama seperti hari-hari sebelumnya," jawab Anisa, tangan kirinya sibuk mengusap kepala Alwi yang berada di atas pangkuannya.
"Mobil kamu sudah dibawa ke bengkel?"
"Sudah Mas, tadi siang aku meminta mas Rai untuk mengantarkannya ke bengkel."
"Maaf ya, Sayang. Hari ini jadwal aku penuh, tadi saja harus beberapa kali bertemu klien," sesal Alwi dan mengecup punggung tangan istrinya berkali-kali.
"Tidak apa-apa, Mas. Aku paham akan kesibukan kamu. Ada tanggung jawab yang sangat besar yang harus kamu jalankan, Mas."
"Hmm. Makasih ya, Sayang. Ana uhibbuka fillah."
Cup. Cup.
Alwi kembali mengecup punggung tangan istrinya, bahkan tak sampai di situ, Alwi mengabsen satu persatu jemari istrinya, telapak tangannya, dan berakhir kecupan singkat pada bibir mungil istrinya.
"Iihh, nanti kalau mbok Ijah atau pak Ahmad lihat gimana? Malu, Mas!" Anisa mengedarkan pandangan memastikan tidak ada orang yang melihat aktivitas mereka.
"Biarin, kan kamu halal untukku, Sayang."
Meskipun usia pernikahan mereka sudah memasuki tahun ke-6 namun mereka masih terlihat seperti pengantin baru.
"Tadi siang aku ketemu sama Sabrina di cafe dekat kampus loh, Mas."
"Oh ya, bagaimana kabarnya dan suaminya?" tanya Alwi
"Alhamdulillah dia sehat, Mas. Meskipun harus sering berpisah dengan suaminya."
"Yah mau gimana lagi? Namanya juga menikah dengan abdi negara, pastinya akan sering ditinggal untuk dinas. Kamu juga kalau seandainya menikahnya sama abdi negara, pasti juga akan sering ditinggal pergi dinas."
"Tapi kan aku nikahnya sama Mas bukan sama abdi negara. Tapi Mas juga sering pergi keluar kota." gerutu Anisa.
"Aku perginya kan cuma sehari dua hari, Sayang. Itu pun kalau mendesak tidak bisa diwakilkan." Alwi memiringkan tubuhnya, memeluk pinggang istrinya dan membenamkan wajahnya diperut sang istri.
"Mas tadi aku juga bertemu dengan Lathifa."
"Lathifa?" Alwi menautkan alis tak mengerti.
"Iya Mas, Lathifa gadis yang sering aku ceritakan."
Alwi tampak berpikir mengingat-ingat siapa itu Lathifa yang dimaksud oleh istrinya.
"Apa yang kamu rencanakan, Nis?" Alwi bangkit duduk di sebelah Anisa, ia memandang lekat wajah istrinya.
"Aku hanya ingin kamu bahagia, Mas." Anisa menundukkan kepalanya, nyalinya menciut, jika suaminya sudah memanggil dengan namanya berarti suaminya sudah sangat marah kepadanya.
"Sudah berapa kali aku katakan padamu, Nis? Aku sudah bahagia hidup bersamamu. Aku pun tak menginginkan yang lainnya, Nis. Kamu mengerti enggak sih!" ucap Alwi dengan menaikkan nada bicaranya.
"Tapi kamu butuh penerus, Mas! Keluarga kamu butuh penerus, Mas!" sergah Anisa.
"Tapi bukan dengan jalan seperti ini, Nis. Kita masih bisa mengadopsi anak dari panti asuhan."
"Tapi keluarga Mas pasti tidak akan menerimanya, mereka butuh pewaris dari darah daging kamu, Mas," ucap Anisa dengan mata berkaca-kaca.
"Aku yang menjalani hidupku Nis, bukan mereka!" Alwi mengusap wajahnya kasar, sekuat tenaga menahan diri agar emosinya tidak meledak di depan istrinya.
"Tapi Mas-"
"SUDAH CUKUP NIS! JANGAN PERNAH MEMBAHAS MASALAH INI LAGI!" bentak Alwi membuat tubuh Anisa menegang.
Mbok Ijah dan pak Ahmad tergopoh-gopoh lari mendengar tuannya berteriak. Baru kali ini mereka melihat Alwi membentak Anisa.
"Sudahlah, aku capek mau istirahat. Kamu istirahat sana!" Alwi berdiri dan meninggalkan Anisa yang masih terdiam dengan berurai air mata.
Setelah kepergian Alwi, mbok Ijah mendekati Anisa. "Mbak Nisa baik-baik saja? Apa perlu saya buatkan sesuatu?"
Tanpa menjawab pertanyaan mbok Ijah, Anisa berdiri dan berjalan menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya.
Anisa membuka pintu dengan pelan, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan namun suaminya tidak ada di dalam.
Ternyata Alwi memilih menenangkan dirinya di ruang kerjanya yang berada tepat di samping kanan kamarnya.
Dengan hati yang hancur, Anisa menutup pintu kamar menyeret kakinya yang terasa begitu berat menuju ranjang.
Tanpa melepas hijabnya Anisa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, ia menangis terisak sambil memukuli dadanya yang terasa sesak dan sakit.
Berbagai kilasan masa lalu bermunculan di dalam kepalanya. Bagaikan rekaman film perjalanan hidupnya, bayang-bayang masa lalunya terus menerus berputar di dalam kepalanya.
Masa di mana pertama kali mereka bertemu di saat akad nikah selesai diucapkan.
Bayangan akan hari-hari penuh perjuangan bagi Anisa untuk mengambil hati dan cinta suaminya.
Bayangan akan keterpurukannya di saat kehilangan buah hatinya.
'Ya Allah... Mengapa Engkau membuat hubungan antara dua insan begitu demikian dahsyat tapi perih. Sakit Ya Allah... Sakit.'
Anisa tertidur dengan air mata yang masih mengalir dari matanya, ia memeluk erat lututnya berharap dengan melakukan itu dapat meredakan sesak didadanya.
...*****...
20.00
Zidan sedang berpesta merayakan ulang tahun temannya di sebuah bar ternama di kota itu.
Meskipun banyak wanita berpakaian sexy mencoba menarik perhatiannya, tak sedikit pun membuatnya tergoda.
Zidan sibuk memandangi sekelilingnya. Ditemani sebatang rokok yang terselip rapi diantara sela jarinya, di depannya ada segelas wine yang hanya tinggal separuhnya.
Ting.
Terdengar suara notifikasi pertanda sebuah pesan masuk. Ia merogoh kantong celananya dan mengambil ponselnya.
My Love
Kak aku capek banget, nyerah boleh kali ya.
^^^Me^^^
^^^Ngapa Lo? tumben ngeluh.^^^
My Love
Gak papa, cuma pengen aja 😁
^^^Me^^^
^^^Kenapa lagi? Cerita nggak!^^^
My Love
Ada yang mau bantuin aku bayar kuliah dan bayari hutang-hutangnya om Rendi.
^^^Me^^^
^^^Bagus dong. Lo nggak perlu lagi susah-susah cari duit.^^^
My Love
Iya, tapi aku harus mau menikah sama suaminya.
^^^Me^^^
^^^Terus Lo mau?^^^
My Love
Ya gitu deh.
Tanpa membalas pesan itu, Zidan bergegas meninggalkan pesta yang bahkan baru dimulai.
"Mau ke mana, lo?" tanya Andre yang duduk di sebelahnya.
"Gue cabut dulu, ada urusan penting."
"Urusan penting ngurus bocil maksud, lo?"
Tak ingin meladeni ejekan sahabatnya, Zidan mengambil kunci motornya dan berlalu meninggalkan tempat itu.
Zidan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, tidak sampai 30 menit dia sudah berada di depan Hafa Resto. Zidan membuka pintu sedikit kasar, dan berlari menuju meja kasir.
"Ikut gue!"
"Kakak ada di sini?" tanya Lathifa dengan wajah kagetnya.
"Ikut gue sekarang!" Zidan menarik tangan Lathifa dan membawanya ke luar restoran.
"Mbak Maya tolong jaga kasir sebentar ya!" Lathifa sedikit berteriak memanggil Maya sebelum meninggalkan tempat itu.
Zidan mendudukkan Lathifa di sebuah kursi di taman tak jauh dari Hafa Resto.
"Maksud lo apa?"
"Apa?" tanya Lathifa bingung.
"Maksud lo apa, hah? Lo mau jadi istri kedua? Lo mau jadi orang ketiga gitu?"
"Ya ... aku terpaksa, Kak. Mungkin Allah ingin menolongku melalui mereka." Lathifa mengangkat kepalanya menatap Zidan yang berdiri di depannya.
"Tapi bukan dengan cara seperti ini, Cil! Masih banyak cara lainnya."
"Bagaimana caranya, Kak? Kalaupun ada jalan lain, aku pun tidak menginginkan jalan seperti ini," ucap Lathifa dengan mata berkaca-kaca.
"Gue akan bantu bayar hutang-hutang si bajingan itu." Zidan mulai terbakar emosi.
"Dengan apa, Kak? Semua fasilitas Kakak saja diblokir sama papa Kakak. Mau dapat uang sebanyak itu dari mana?"
Zidan terdiam. Lathifa benar, untuk makan saja dia harus berhemat dengan sisa tabungan yang ia punya.
"Tapi gue nggak rela lo nikah sama dia Cil ...." lirih Zidan.
"Memang ada alasan apa Kakak melarang aku untuk menikah?" tanya Lathifa.
"Karena aku mencintaimu, Fa," ungkap Zidan.
"Jangan bercanda, Kak! Kakak sadar dengan apa yang Kakak ucapkan?" Lathifa mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Gue serius! Dulu saat Hafiz masih ada, gue sering main ke rumah lo dan sering diam-diam perhatiin lo. Gue cinta sama lo sejak lama, Fa."
"Tapi ini salah, Kak. Sampai kapan pun kita enggak akan pernah bisa bersatu."
"Kenapa? Apa soal agama? Lo kan bisa mengikuti keyakinan gue, atau gue yang pindah mengikuti keyakinan, lo."
"Tidak semudah itu, Kak!" Lathifa tampak menahan emosinya.
"Ya, kita bisa bersatu tanpa ada yang harus meninggalkan keyakinan kita masing-masing kan, Fa."
"Enggak bisa kayak gitu, Kak! Di dalam Alquran dijelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan Muslim dilarang menikahi orang yang bukan Muslim. Bahkan mungkin di dalam Alkitab Kakak juga ada larangan tentang pernikahan beda agama," ucap Lathifa mencoba memberikan pengertian kepada pria di depannya.
"Tapi aku mencintaimu, Fa." kekeuh Zidan.
"Itu bukanlah cinta Kak! itu hanya obsesi yang Kakak rasakan." tegas Lathifa.
"Asal Kakan tahu cinta itu sakit, kalau Kakak mau jatuh cinta, maka harus siap untuk merasakan sakit. Ketika tidak bisa bertemu dengan orang yang dicintai, apalagi tidak bisa memiliki orang yang dicintai, itu berat. Sakit Kak!"
"Aku menyayangi Kakak seperti aku menyayangi Kak Hafiz. Hanya sebatas seorang adik yang menyayangi kakaknya, tidak lebih dari itu," ucap Lathifa dengan berderai air mata.
"Gue nggak bisa, Fa! Gue nggak bisa!" teriak Zidan frustasi.
"Kakak harus bisa! Kakak harus belajar menerima kenyataan bahwa selamanya kita tidak akan bisa bersatu."
"Terus, lo mau aja nikah sama orang yang belum lo kenal? Bahkan belum pernah lo lihat wajahnya?" Zidan semakin tidak bisa mengendalikan emosinya, apalagi melihat reaksi Lathifa yang menganggukkan kepalanya.
"Lo gila, Fa!" bentak Zidan.
"Ngomong Fa jangan diam aja, lo!"
"Lo mau-maunya dijadikan istri kedua hanya demi uang? Terus apa bedanya lo sama jal*ng di luar sana yang rela menjual tubuhnya hanya demi uang, hah!"
PLAK
Lathifa menampar pipi Zidan, ia tidak menyangka Zidan yang selama ini ia anggap sebagai sosok pengganti kakaknya, orang yang selalu ada di saat keluarganya terjatuh, tega menuduhnya sekeji itu.
"Ka-kak jahat! Aku benci Kakak!" teriak Lathifa.
Lathifa menangis dan berlari meninggalkan Zidan yang mematung menatap kepergiannya.
Zidan menjambak rambutnya kasar menyesali perkataannya, ia sadar bahwa ucapannya begitu kasar dan menyakiti hati Lathifa.
"AARRGGHHH!! BODOH! BODOH KAMU ZIDAN!"
"AARRGGHH!"
...*****...
Anisa terbangun ketika merasakan sesuatu yang berat menindih perutnya, kecupan-kecupan lembut mendarat di atas kepalanya.
Hembusan napas menyentuh langsung kulit leher belakangnya membuat tubuhnya meremang.
Tunggu!
Bukannya semalam ia tertidur masih memakai jilbabnya?
Anisa mengerjapkan matanya, ia merubah posisi tidurnya menghadap suaminya.
"Sudah bangun, hmm?" tanya Alwi.
"Hem ...." Merasa matanya sembab dan sulit untuk dibuka Anisa pun memejamkan matanya kembali.
Alwi menatap lekat wajah cantik istrinya, mata indah itu terlihat membengkak, senyum yang biasanya ia dapatkan setiap bangun tidur tidak ia temukan pagi ini.
Cup. Cup. Cup.
Alwi mengecup kedua mata Anisa yang terpejam turun ke hidung mancungnya, berpindah ke pipi kanan dan kirinya berakhir pada bibir istrinya yang menjadi candu baginya.
"Maaf, maaf, Sayang. Semalam aku khilaf." Alwi merasa menyesal dan memeluk istrinya lalu menyatukan kening mereka.
Anisa hanya terdiam lalu membalas pelukan suaminya.
"Aku akan menuruti keinginanmu. Akan aku nikahi gadis itu," ucap Alwi, ia semakin kencang memeluk tubuh istrinya.
Tanpa Alwi ketahui, Anisa meneteskan air matanya dalam pelukan suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments