"A-apa yang Kakak lakukan?" Lathifa mendorong tubuh Zidan namun tidak sedikit pun mempengaruhi pemuda itu.
"Yakin lo mau dengar apa yang akan Gue lakukan?"
"A-pa? Jangan macam-macam!" peringat lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Nggak macam-macam Cil, cukup satu macam saja." Zidan menyeringai.
"ZIDAN!" teriak Lathifa panik.
"Bwa.. ha.. ha.. ha." Tawa Zidan menggelegar memenuhi ruang kamar tersebut.
"Hah ... Sumpah wajah Lo lucu banget Cil. Hah.. Hah.. Aduh perut gue." Zidan memegangi perutnya, "Aduh, sumpah gue enggak bisa berhenti ketawa Cil."
Lathifa yang dibuat jengkel dengan kelakuan Zidan berdiri dan menarik paksa tangan Zidan.
"Keluar lo! Nggak lucu tau."
"Sorry Cil, lagian udah jam 11.00 lo masih enak-enakan ngebo. Mana masih pake mukena lagi."
"Tadi habis sholat ketiduran aku, Kak. Udah sana cepetan keluar! Aku mau siap-siap ada jam kuliah nanti siang." Lathifa mendorong tubuh kekar Zidan keluar kamarnya.
"Mbak Maya bilang semalam lo kecelakaan? Mana yang sakit? Yakin, lo mau ke kampus?" tanya Zidan.
"Aku baik-baik saja kok, Kak. Cuma sedikit tergores entar juga sembuh."
"Tapi lo harus istirahat, Cil! Hari ini bolos aja ya!"
"Mana bisa, Kak! Mahal-mahal aku bayar, susah tahu nyari uang," tolak Lathifa.
"Seha-"
Brak.
Lathifa menutup pintu kamarnya tanpa menunggu Zidan menyelesaikan kalimatnya.
"Woi! Dasar bocil nggak tau sopan satun lo ya!" teriak Zidan.
"Sorry Kak! Sengaja!" teriak Lathifa dari balik pintu kamarnya.
"Yasudah gue tunggu di bawah. Gue antar lo ke kampus, jangan lama-lama dandannya!"
30 menit kemudian Lathifa ke luar dari kamarnya. Setelah berpamitan dengan ibunya, ia berangkat ke kampus diantar oleh Zidan dengan dibonceng motor sport merah milik Zidan.
Zidan menghentikan motornya tepat di depan gerbang kampus.
"Kakak nggak kerja?" tanya Lathifa setelah turun dari motor.
"Libur gue, males kerja mulu," jawab Zidan santai.
"Males dipelihara. Mau dikasih makan apa anak dan istri Kakak nanti."
"Tenang aja, gue udah siapin banyak cinta untuk mereka." Zidan mengedipkan sebelah matanya.
"Makan tuh cinta. Emang cinta bisa bikin perut kenyang apa?" jawab Lathifa dengan mata melotot menatap Zidan, namun hanya dibalas dengan cengiran dari pemuda itu.
"Masih marahan sama bokap Kakak?"
"Hmm."
"Kakak kabur dari rumah lagi?"
"Udahlah nggak penting, nggak usah dibahas."
"Nggak baik loh kak kelamaan marahan sama papa Kakak. Harusnya Kakak lebih sabar mengha-" Zidan meletakkan telunjuknya di depan bibir Lathifa.
"Sssttt! Udah ceramahnya? Bosen gue dengar ceramah lo, gue cabut dulu ya ... bye," pamit Zidan.
"Jangan sentuh, Kak!" Lathifa menepis tangan Zidan yang hampir menyentuh ujung kepalanya.
"Iya-iya sorry, lupa gue. Ntar lo pulangnya naik taxi aja ya! Gue nggak bisa jemput ada acara sama anak-anak."
"Iya nggak apa-apa, Kak. Makasih udah dianterin. Hati-hati dijalan jangan kebut-kebutan."
"Siap Bos. Bye." Zidan melajukan motornya menjauhi bangunan tersebut.
‘Bye kak, semoga hubungan kakak dengan papa kakak segera membaik,’ ucap Lathifa dalam hati.
...*****...
Di dalam sebuah Cafe di seberang gedung universitas tempat Lathifa kuliah, terlihat dua perempuan dengan gamis modern lengkap dengan jilbab syar'i panjang menutup tubuh keduanya. Mereka duduk saling berhadapan.
"Kamu beneran sudah yakin sama pilihanmu Nis?" tanya Sabrina, sahabat Anisa sejak SMP.
"Hmm." Anisa menyeruput cafe latte di depannya.
"Ya sudah, aku dukung apa pun keputusanmu, semoga ini pilihan yang terbaik untuk kalian."
"Insya Allah, aku sudah mendengar cerita tentangnya dari beberapa Dosen, dan aku juga sudah memastikannya sendiri," terang Anisa.
"Sebelumnya kamu sudah pernah ketemu langsung sama dia? Atau hanya sekedar mengobrol gitu?" Sabrina mengaduk-aduk gelas berisi lemon tea di depannya dan menyeruputnya.
"Kebetulan kemarin sempat terjadi kecelakaan kecil antara kita," ucap Anisa membuat Sabrina tersedak.
"Pelan-pelan kalau minum, Sa."
"Terus kamu enggak apa-apa kan?" tanya Sabrina khawatir.
"Alhamdulillah, cuma sedikit cedera tidak ada yang serius kok."
"Alhamdulillah kalau begitu. Apakah dia masih lama sampainya?" tanya Sabrina tidak sabar.
Anisa menatap layar ponselnya yang menampilkan foto pernikahannya dengan suaminya. Dilihatnya jam disudut kanan layar ponselnya, pukul 16.15.
"Mungkin sebentar lagi, kelasnya sudah selesai 15 menit lalu." jelas Anisa.
Ting ... ting ....
Suara lonceng berbunyi tanda seseorang membuka pintu cafe.
Seorang gadis dengan jilbab hitam yang ujungnya ditalikan ke belakang lehernya, kemeja coklat hitam kotak-kotak sebagai outer dengan kaos hitam di dalamnya, dipadukan dengan celana kulot putih serta sneakers hitam melengkapi penampilannya.
Gadis itu adalah Lathifa, ia mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Setelah menemukan orang yang dicarinya duduk di meja ujung dekat taman, dengan sedikit terpincang Lathifa berjalan mendekatinya.
"Selamat sore, Bu Putri ...." sapa Lathifa.
"Eh kamu sudah datang? Assalamu’alaikum, Fa!" peringat Anisa.
"Eh maaf, Assalamu’alaikum, Bu." Lathifa mengucap salam dan tersenyum menatap kedua wanita di depannya.
"Wa’alaikummussalam ...." jawab Anisa dan Sabrina bersamaan.
"Silakan duduk, Fa." Anisa menyuruh Lathifa duduk di sebelahnya. "Oh ya, perkenalkan Fa ini sahabat saya Sabrina, Sabrina ini Lathifa anak yang aku ceritakan itu."
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya Anisa membuka percakapan.
"Sudah mendingan, Bu."
Setelah berkenalan dan bertukar kabar, mereka bertiga berbincang dan terlihat sangat akrab seperti sudah lama saling mengenal.
"Oh ya Fa, ada yang mau saya sampaikan," ucap Anisa.
"Apa yang ingin Bu Putri sampaikan kepada saya? Kalau masalah ganti rugi atas kerusakan mobil Ibu, saya minta maaf, Bu. Saya janji akan menggantinya tapi bolehkan saya mencicilnya, Bu?" Lathifa menggenggam kedua tangannya di bawah meja.
Anisa melirik ke arah Sabrina yang hanya diam menyimak percakapan dua orang tersebut.
"Huuft ...." Anisa menghembuskan napasnya kasar. "Pertama, jika kita berada di luar area kampus panggil saja nama saya Anisa bisa, kan?"
"I-iya Bu eh Mbak Nisa. Tapi apa tidak masalah saya memanggil Bu Putri dengan panggilan Mbak Nisa?" tanya Lathifa ragu.
"Enggak masalah, kan saya yang memintamu memanggil demikian. Oh ya mulai sekarang anggap saja kalau saya ini kakak kamu. Paham!"
"Tapi apa itu sopan, Bu? Eh Mbak Nisa." Lathifa menutup mulut dengan tangannya. Ia merasa canggung harus memanggil Dosennya itu dengan sebutan Mbak.
Anisa dan Sabrina tersenyum melihat tingkah Lathifa yang terlihat lucu saat merasa salah tingkah.
"No problem. Mari kita serius, dengar baik-baik, Fa. Saya tidak akan menuntut kamu dan tidak akan meminta ganti rugi kepada kamu." Anisa menjeda ucapannya menunggu reaksi dari Lathifa.
"Serius Bu, eh maaf maksudnya Mbak Nisa?" tanya Lathifa memastikan kalau dia tidak salah mendengar.
"Iya saya serius. Bahkan saya bersedia untuk membiayai kuliah kamu dan membantu melunasi hutang keluargamu."
Deg.
Lathifa terpaku, dari mana Dosennya itu mengetahui tentang masalahnya? Bahkan bersedia untuk membantunya. Jelas! Akan dengan mudah bagi Anisa Putri Akbar mencari informasi tentangnya, mengingat Dosennya itu adalah anak tunggal dari donatur utama Universitasnya. Apakah Lathifa sedang bermimpi?
"Are You okay?" Anisa menepuk pelan pundak Lathifa. Menyadarkan Lathifa dari keterkejutannya.
"Eh i-iya, Mbak. Maaf tadi Mbak Nisa bilang apa ya?"
"Jika kamu mau, saya bersedia untuk membiayai kuliah kamu dan membantu melunasi hutang keluargamu." ulang Anisa.
"Mbak Nisa enggak bercanda, kan?" tanya Lathifa masih meragukan pendengarannya.
"Tidak ada alasan bagi saya untuk menjadikan pembicaraan kita ini sebagai lelucon, Fa."
"Tapi apa alasan Mbak Nisa mau menolong saya?"
"Karena saya ingin!" jawab Anisa singkat.
Lathifa menatap lekat wajah cantik Anisa, meneliti dengan sedetail mungkin untuk mencari kebohongan dalam raut wajahnya.
"Terima kasih atas niat Mbak Nisa mau membantu saya, tapi menurut saya ini berlebihan. Mbak tidak tahu seberapa besar hutang keluarga saya. Mungkin Mbak Nisa hanya merasa kasihan dan simpati saja kepada saya," ucap Lathifa merasa tidak enak dengan tawaran dari Anisa.
Siapa dia? Baru kemarin Lathifa bertemu dengan Anisa, bahkan pertemuan mereka dalam keadaan yang tidak baik. Kenapa sekarang tiba-tiba wanita di depannya ini ingin menolongnya?
"Saya serius, Fa!" Anisa menarik tangan Lathifa yang berada di atas meja dan menggenggamnya.
"Saya ingin minta tolong sama kamu, Fa. Kamu mau membantu saya, kan?" pinta Anisa.
"Kalau saya mampu tanpa diminta pun akan saya lakukan, Mbak."
"Saya ingin kamu menikah dengan suami saya, Fa."
"IBU GILA YA!" teriak Lathifa sembari menarik tangannya yang berada dalam genggaman tangan Anisa.
Beberapa pengunjung menatap ke arah mereka, ada yang berbisik-bisik ada pula yang cuek kembali fokus pada makanannya masing-masing.
Lathifa berdiri dari duduknya hendak meninggalkan meja itu, namun dengan cepat Anisa menariknya untuk duduk kembali.
"Dengar penjelasan saya dulu, Fa! Saya mohon!" ucap Anisa dengan mata berkaca-kaca.
"Apa yang harus dijelaskan, Mbak? Maaf saya tidak bisa membantu. Saya permisi."
"Aku hanya ingin suamiku bahagia, Fa. Tolong saya, Fa! Apa pun akan saya lakukan untuk kebahagiaannya," ucap Anisa di tengah isak tangisnya.
"Apa pun itu?" tanya Lathifa dibalas anggukan kepala dari Anisa.
"Bahkan jika harus berbagi cinta dengan perempuan lain?" Sekali lagi Anisa menganggukkan kepalanya.
"Jika perempuan itu meminta Mbak Nisa untuk pergi meninggalkan suami Mbak, apa yang akan Mbak Nisa lakukan?"
Anisa terdiam, merasakan sesuatu yang terasa menyayat hatinya, sakit, sesak, perih bercampur menjadi satu.
"I-iya saya akan melakukannya!" ucap Anisa lantang namun ada sedikit keraguan di dalam suaranya.
"Kenapa? Apa alasannya? Apakah Mbak Nisa tidak mencintai suami Mbak?"
Anisa menggelengkan kepalanya, air mata terus mengalir membasahi pipinya.
"Karena saya cacat sebagai seorang wanita. Saya tidak bisa memberikan keturunan kepada suami saya," terang Anisa sambil menundukkan kepalanya.
"Tapi bukan seperti ini caranya, Mbak. Mbak akan tersakiti dengan keinginan Mbak ini," ucap Lathifa menatap Anisa dengan perasaan sedih.
"Tapi maaf saya tidak bisa menuruti permintaan Mbak. Saya permisi, Assalamu’alaikum." Lathifa berdiri dan berjalan menjauhi meja yang mereka tempati.
"Fa, tunggu! Jangan pergi, Fa!" cegah Anisa.
Tanpa mendengarkan panggilan dari Anisa, dengan langkah lebar tanpa memedulikan kakinya yang terasa nyeri Lathifa membuka pintu cafe melangkahkan kakinya ke luar dari tempat itu.
Sabrina memeluk tubuh Anisa, berharap dapat membuat sahabatnya itu merasa sedikit lebih tenang.
"Baiklah saya mau membantu Mbak."
Kedua wanita yang sedang berpelukan itu menoleh ke arah sumber suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Sebutir Debu
aduh kok baru baca malah bawang udah bertebaran
2022-06-07
1