"Saya terima nikah dan kawinnya Lathifatunnisa binti Kusuma Hadi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
Dalam sekali tarikan napas, Alwi mengucapkan janji suci pernikahan dengan suara lantang dan tegas menggema ke seluruh ruangan.
Tubuh Lathifa menegang, ada gelegar perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Satu air mata jatuh membasahi pipinya.
Dengan dibalut gaun kebaya putih lengkap dengan hijab syar'i serta mahkota kecil di atas kepalanya, menambah aura kecantikan seorang Lathifa yang terkenal sebagai gadis tomboi itu berubah menjelma bagaikan seorang putri.
Anisa yang melihat Lathifa diam membisu menggeser duduknya mendekati gadis yang baru saja resmi menjadi madunya.
Anisa menarik tangan Lathifa dan menuntunnya untuk mencium tangan suaminya.
Alwi terdiam sejenak, ia menatap lekat wajah istri pertamanya seakan meminta izin darinya.
Anisa menganggukkan kepalanya dan tersenyum lembut sebagai tanda restu dan ridho darinya.
Alwi membacakan doa tepat di atas kepala Lathifa lalu mencium keningnya, kemudian ia beralih mencium kening Anisa yang duduk di samping Lathifa.
Hana memicingkan matanya melihat kejadian di depannya, sepengetahuannya Alwi adalah anak tunggal lalu kenapa dia mencium wanita lain di depan istrinya? Bahkan, di saat ijab qobul baru saja ia ucapkan.
Sesuai dengan permintaan Lathifa, pernikahan itu diselenggarakan pada malam hari di dalam restoran yang sudah disulap sedemikian rupa oleh Anisa dibantu oleh Lathifa serta karyawannya menjadi sebuah ruangan yang indah untuk acara pernikahan Lathifa.
Sebuah pernikahan sederhana hanya dengan sebuah ijab qobul tanpa adanya resepsi, yang hanya dihadiri oleh Hana, Anisa, Sabrina, Raiyan, karyawan Hafa Resto, serta beberapa warga sekitar sebagai saksinya.
Zidan? Entah ke mana perginya pemuda itu, semenjak kejadian malam itu hubungan antara Lathifa dan Zidan menjadi renggang bahkan sampai saat ini Zidan tak pernah menemui Lathifa.
Setelah acara selesai Hana melepas kepergian putrinya untuk tinggal bersama suaminya. Ia pandangi mobil mereka yang mulai menghilang ditelan gelapnya malam.
Raiyan yang duduk di belakang kemudi memutar musik memecah kesunyian yang tercipta oleh bungkamnya para penghuni mobil tersebut.
Alwi yang duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi hanya terdiam membisu menyenderkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
Di kursi belakang ada Anisa yang terlelap mungkin ia kelelahan, di sebelahnya Lathifa pun hanya duduk diam membisu memandang keluar jendela.
Waktu seakan berputar begitu cepat, Lathifa merasa baru kemarin dia mengatakan kepada Anisa bahwa dia bersedia untuk menjadi madunya, beberapa hari kemudian, seorang laki-laki tampan keturunan Arab datang ke restoran mencari ibunya untuk melamarnya.
Hari untuk pertama kalinya Lathifa bertemu dengan suaminya. Setelah itu tak sekalipun laki-laki itu menghubungi ataupun muncul di hadapannya. Segala persiapan mulai dari fitting baju, memilih cincin pernikahan, serta mempersiapkan segala macam hantaran Anisalah yang telah mengatur semuanya dengan sangat baik.
Bahkan, Anisa tak mengeluhkan apa pun ketika harus mengeluarkan uang dengan nominal ratusan juta rupiah sebagai mahar pernikahan suaminya tersebut.
Uang yang digunakan untuk membayar hutang orang tua Lathifa, awalnya hanya sebesar seratus juta rupiah, namun entah bagaimana ceritanya kini nominalnya hampir mencapai dua ratus juta rupiah.
Sebenarnya, bukan orang tua Lathifa yang memiliki hutang tersebut. Tetapi karena ulah Rendi keponakan Hadi, maka orang tua Lathifa yang harus menanggungnya.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah gerbang besar memperlihatkan sebuah bangunan mewah dua lantai dengan halaman luas dihiasi berbagai tanaman hias di sepanjang jalan masuk.
Lathifa berulang kali mengerjapkan mata. Ia takjub melihat rumah di depannya, begitu indah dan elegan. Meskipun rumah yang ia tinggali bersama orang tuanya dulu cukup mewah dan besar, namun belum ada apa-apanya dibandingkan dengan rumah yang didominasi warna hitam dan putih yang berdiri di depannya itu.
"Al, kita sudah sampai," ucap Raiyan membangunkan Alwi.
"Sayang ayo bangun, kita sudah sampai di rumah." Alwi memutar tubuhnya ke belakang menggoyangkan tangan Anisa dengan lembut mencoba membangunkannya.
Anisa yang merasa tidurnya terusik mengerjapkan matanya. "Hmm, sudah sampai rumah ya, Mas? Ya sudah ayo kita turun."
Lathifa terdiam memperhatikan perlakuan Alwi begitu lembut kepada Anisa. Lathifa belum begitu memahami sosok yang kini telah menjadi suaminya tersebut. Bahkan, mendengar suaranya saja baru beberapa kali ketika Alwi melamarnya dan saat ijab qobul beberapa jam lalu.
Alwi belum pernah sekalipun mengajaknya bicara. Membuat Lathifa berpikir bahwa Alwi adalah sosok orang yang dingin dan kaku. Apakah Alwi yang terlihat begitu dingin bisa selembut ini kepada istrinya?
"Ayo turun Fa! Kamu mau tidur di dalam mobil?" Anisa terkekeh.
"Eh i-iya, Mbak."
"Aku masuk dulu ya, Sayang. Mau mandi gerah banget nih," ucap Alwi dibalas senyuman dari Anisa.
"Kamu langsung pulang saja Rai, sudah malam!" perintah Alwi kepada Raiyan sang asisten serta sahabatnya itu.
Alwi berlalu meninggalkan mereka tanpa mengucap sepatah kata pun kepada Lathifa. Sekali lagi Latifa terdiam, ada rasa sesak yang ia rasakan di dalam dadanya. Entah perasaan apa itu, ia pun tidak tahu.
Lathifa merasa seperti tamu tak diundang, ia merasa canggung. Namun, ia mencoba menenangkan diri mencoba tetap berpikir positif. Berpura-pura tidak lihat mungkin itu lebih baik.
...*****...
"Ini adalah kamar kamu, Fa. Kamarmu berada di lantai satu sesuai dengan keinginanmu. Maaf jika kamarnya tidak sesuai dengan selera kamu," ucap Anisa membuka sebuah pintu kamar berwarna putih.
Lathifa memasuki kamar tersebut dan meletakkan koper berisi pakaiannya di dekat tempat tidur.
Lathifa menyapu seluruh sudut kamar dengan terkagum, kamar yang cukup besar dengan kontras warna biru muda dan putih. Ada rak buku, meja belajar, dan meja rias semua berwarna serba putih.
Bahkan sofa, gorden jendela, tempat tidur, lengkap dengan bantal dan selimut semuanya perpaduan antara warna putih dan biru. Anisa sengaja memilih warna kesukaan Lathifa agar dia bisa lebih nyaman tinggal di rumah itu.
Lathifa terfokus kepada sebuah lemari kayu berwarna putih disudut kamar, bukan ukiran indahnya yang mengusik hati Lathifa, namun ukurannya yang bisa dikatakan cukup besar untuk dipakai olehnya.
"Apa ini tidak berlebihan, Mbak?" tanya Lathifa.
Anisa menatap Lathifa bingung. "Masa sih? menurut saya ini sudah pas untuk kamu."
"Tapi kamar ini terlalu besar untuk saya, Mbak. Dan lemari itu terlalu besar, baju saya juga tidak banyak. Sayang kan, kalau dibiarkan kosong," ucap Lathifa menunjuk lemari di pojok kamar.
"Kamu tidak lupa sudah menjadi seorang istri kan, Fa?" tanya Anisa memastikan. "Pastinya akan ada baju suami kamu juga nantinya."
Lathifa mencerna ucapan Anisa, wajahnya berubah menjadi tegang dan terlihat grogi, ia lupa dengan status barunya sebagai seorang istri dari Alwi Husein Ibrahim.
Itu artinya ia akan berbagi kamar dengan pria asing yang kini berstatus sebagai suaminya itu. Lathifa menggeleng cepat, ia merasa panik, cemas memikirkan bagaimana ia akan menghadapi suaminya yang sangat dingin dan cuek kepadanya itu.
"Kamu kenapa, Fa? Wajahmu terlihat pucat," tanya Anisa khawatir.
Lathifa menggelengkan kepalanya. "Eh, tidak apa-apa, Mbak. Mungkin hanya kecapekan saja."
"Ya sudah, kamu bisa istirahat dan membereskan pakaian kamu dulu. Saya sudah siapkan peralatan mandi dan keperluan lainnya di dalam kamar mandi kamu."
"Iya Mbak, terima kasih. Maaf sudah merepotkan Mbak Nisa," ucap Lathifa merasa tak enak hati.
"Jangan sungkan, sudah saya bilang anggap saja saya ini kakak kamu, Fa. Saya tinggal dulu ya. Kalau perlu sesuatu panggil saja saya di kamar atas, atau kamu bisa minta tolong sama mbok Ijah."
Lathifa memandangi kepergian wanita yang umurnya 7 tahun di atasnya itu hingga keberadaannya hilang dibalik pintu kamarnya.
'Ya Allah apakah mas Alwi tidak menginginkan kehadiranku? Apa dia membenciku? Sedikit pun dia tidak menatap ke arahku.'
...*****...
Alwi duduk bersandar di ranjang sambil sesekali tersenyum memandangi wajah cantik istrinya yang sedang duduk di depan kaca sambil menyisir rambut panjang hitamnya.
Meski tanpa polesan make up, namun wajahnya terlihat begitu cantik dan nyaris sempurna.
Alis hitam melengkung di atas kelopak mata dengan bulu mata hitam lebat nan lentik, hidung mancung khas keturunan Arab dengan bibir mungil merah muda meskipun tanpa lipstik, dan bola mata bulat berwarna amber yang selalu berbinar.
Alwi beranjak dari kasur dan memeluk Anisa dari belakang, memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam aroma bunga mawar dari rambut sang istri.
Anisa tersenyum melihat tingkah suaminya. "Terima kasih ya, Mas." Anisa memandang wajah suaminya dari pantulan kaca meja rias. "Sudah mau membawa Lathifa ke rumah ini," lanjutnya.
Mendengar pernyataan Anisa, Alwi melepas pelukannya, tanpa sepatah kata ia membaringkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan matanya.
"Mas ngapain?" tanya Anisa ketika melihat suaminya memejamkan mata.
"Tidur, memang mau ngapain lagi?"
"Kok Mas tidur di sini sih?" Anisa beranjak lalu duduk di samping suaminya.
Alwi menautkan alisnya bingung, "Memangnya aku harus tidur di mana? Kamu mau tidur di sebelah sini?" ucap Alwi lalu berguling ke sisi lain ranjang memberi tempat untuk Anisa.
"Ih, bukan itu maksudku, Mas."
"Apa?" jawab Alwi membuka matanya kembali.
"Mas, seharusnya Mas tidur di kamar Lathifa, ini malam pengantin kalian, Mas." lirih Anisa.
Alwi mengabaikan ucapan Anisa, ia segera menarik selimut memejamkan mata dan memiringkan tubuhnya membelakangi istrinya.
"Mas ...." panggil Anisa naik ke atas kasur dan mengusap kepala suaminya.
"Tidak akan, Nis! Sampai kapan pun itu tidak akan pernah terjadi. Tolong jangan paksa aku lagi, Nis."
"Lathifa itu istri kamu, Mas. Kamu harus berlaku adil kepadanya," bujuk Anisa.
Alwi akhirnya duduk dan menatap lekat mata istrinya. "Bagiku hanya kamu satu-satunya istri aku dan selamanya akan seperti itu!" tegas Alwi.
"Ya Allah, Mas Al! Istighfar Mas. Mas sadar ucapan Mas telah mendzolimi salah satu istrimu, Mas." Anisa membalas tatapan suaminya.
Mendengar nada suara Anisa yang mulai meninggi, Alwi menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Ia tangkup kedua pipi istrinya dan menatap kedua mata istrinya yang sudah berkaca-kaca.
"Percayalah Nis, aku sangat mencintaimu. Dan aku tidak ingin menyakitimu lebih dalam lagi. Tidak ada wanita mana pun yang ikhlas dimadu oleh suaminya, aku tahu itu, Sayang."
Perkataan Alwi membuat hati Anisa luruh, ia tak bisa menahan tangisnya lagi. Anisa menangis tersedu-sedu. Alwi pun menarik tubuh anisa ke dalam pelukannya.
"Ssstt ... jangan menangis lagi, Sayang. Aku tidak sanggup melihatmu menangis. Tolong jangan paksa hati aku, Nis. Sakit." lirih Alwi sembari mengusap punggung istrinya.
Anisa melepas pelukannya dari sang suami, ia tatap wajah suaminya yang sedikit pucat, wajah kelelahan dan mungkin kurang istirahat.
"Mas, aku yang menginginkan pernikahan ini, aku ikhlas, Mas. Aku meridhoi kamu, tidurlah bersama Lathifa." ucap Anisa dengan suara serak.
"Kalau Mas memang mencintaiku. Berlakulah adil kepadaku maupun Lathifa, Mas! Lakukan semua ini untukku, Mas!" Anisa menggenggam tangan suaminya.
"Aku tidak mau, Nis!" Alwi tak dapat menahan air matanya untuk tidak menetes. Nyatanya, laki-laki 28 tahun itu menangis, hatinya terasa sakit mendengar permintaan sang istri.
"Jangan membuat semuanya menjadi berat, Mas. Kamu mengemban tanggung jawab dan amanah yang bukan main-main sekarang, Mas." Anisa mengusap air mata di pipi suaminya dengan jari-jari mungilnya.
"Semua perbuatanmu akan dimintakan pertanggung jawabnya oleh Allah, Mas! Termasuk sikap kamu terhadap istri-istri kamu, Mas."
"Apa Mas tidak ingat dengan hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa’I, dan Imam Ibnu Majah tentang poligami?" Anisa bertanya sambil mengelus pipi kanan suaminya.
Alwi menganggukkan kepalannya tanda bahwa dia mengingat hadis tersebut.
"Coba Mas bacakan!" perintah Anisa.
Alwi memejamkan matanya, mulai membacakan hadis Nabi SAW. dengan suara bergetar.
“Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuhnya miring.” ucap Alwi dengan wajah tertunduk.
Sepasang suami istri itu saling terdiam untuk beberapa saat.
"Aku hanya tidak ingin menambah dosa Mas jika Mas berlaku tidak adil pada Lathifa," ucap Anisa mencoba menahan air matanya agar tidak lolos kembali.
Bohong jika Anisa tidak merasa cemburu, bohong jika Anisa baik-baik saja. Bohong jika hati Anisa tidak hancur. Hanya saja ia mencoba tegar dan tidak menangis di hadapan semua orang.
Nyatanya Anisa memang menangis dalam diam setiap hari di kamar saat suaminya tidak di rumah. Anisa selalu runtuh membayangkan Alwi, laki-laki yang menikahinya sebelum ia menyelesaikan S-1nya, akan membagi cintanya dengan wanita lain.
Meskipun pernikahan mereka berdasarkan perjodohan dan tanpa dilandasi rasa cinta antara keduanya, namun seiring berjalannya waktu cinta bersemi di antara keduanya. Tapi, ini semua memanglah keinginan Anisa, ia tidak mau menjadi pengecut dan menjilat ludahnya sendiri. Anisa sudah memahami dan memikirkan secara matang segala konsekuensi atas permintaannya ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments