Happy reading!😊😘
*****
"Laksanakan bagianmu!" perintah pria bermanik emerald itu pada seorang pria bermanik abu-abu yang bermarga Di Vaio lewat telepon. Kakak sepupu bernama lengkap Gregor Di Vaio.
"Kau yakin dengan keputusanmu, Dom?"
"Tentu saja aku yakin, Greg. Sangat yakin." Silver menekankan perkataan di kalimat terakhir.
"Baiklah, akan kulakukan sekarang."
Silver mengakhiri telepon itu kemudian menghela napas gusar.
Seusai pertandingan tadi, timnya langsung take-off kembali ke negaranya. Tidak ada yang menarik dari hal itu, karena baginya menjadi seorang atlet hanyalah figuran agar ia bisa menghirup udara segar dari kelamnya kehidupan malamnya.
Tentang pertandingan tadi, tentu saja hasilnya adalah timnya yang menang. Hanya skor tipis 1-0. Tim negara Spanyol sangat kuat, bahkan untuk mendapatkan kemenangan itu tim Brazillía harus bekerja sama yang ekstra. Bukannya tim Brazillía tidak kuat, hanya saja untuk menghadapi tipuan lawan sekelas El Madrid membuat mereka seringkali kewalahan.
Silver tidak ambil pusing, menghadapi lawan sekuat apapun itu sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Ia sudah terbiasa dengan hal itu.
"Oh, sial."
Ia mengumpat ketika menggerakkan kakinya. Sakit di tulang keringnya tidak dapat ia tahan. Pada saat menggiring bola tadi, seseorang menendang tepat di tulang keringnya. Entah disengaja atau tidak, Silver sudah tidak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah sakit yang teramat sangat di tulang itu sehingga ia harus digantikan. Ia digantikan oleh seorang pemain yang tak kalah gesit dengan dirinya.
Rodrigo Delore.
Rodrigo adalah salah satu teman dan yang paling penting ialah dia juga ikut andil dalam kehidupan malam yang dijalani Silver.
Bukan sebagai striker sesuai posisi aslinya dalam tim, tapi ia menggantikan posisi left winger karena keadaan di lapangan sangat genting dan tidak ada pemaim yang memiliki kemampuan yang sepertinya.
Tidak mengecewakan, hal yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Rodrigo menyumbang sebuah gol bagi kemenangan Brazillía dan sebagai penutup pertandingan itu.
Semuanya kembali riuh. Bahkan stadion Santiago Bernabéu hampir gempar akibat gemuruhnya sorakan penonton dan pendukung tim Brazil.
Silver masih diam di tempat duduknya dengan beberapa balok es untuk mengompres tulang keringnya yang sakit. Sakit ini bahkan lebih sakit daripada terkena peluru seperti yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia merasa bahwa orang itu sengaja melakukannya mengingat bahwa ia juga sering melampiaskan kekesalannya ke sembarangan orang. Mungkin saja orang itu membalasnya dengan cara yang sama ataukah mungkin dia juga termasuk dalam jajaran musuh yang sering dibantainya dalam kehidupan pribadinya.
Cih...Dendam? Aku bahkan punya dendam yang lebih luas dari pada samudera.
Ketika mengingat sesuatu, ia menekan beberapa digit angka dan menelepon seseorang.
"Kau tidak perlu datang malam ini, Rod."
Orang yang di seberang itu terdengar menghela napas. Beberapa detik kemudian, ia menyahut. "Baiklah. Bagaimana cederamu?"
"Aku baik-baik saja."
"Gregor?"
"Dia kuberikan tugas penting."
"Seperti?" Suara orang itu terdengar curiga.
"Memasukkan lalat ke dalam botol perangkap."
"Hei...Apa kau gila?" Orang itu setengah berteriak mendengar jawaban aneh darinya.
"Kau tahu tujuan hidupku, Rod. Untuk tujuan mulia itulah aku masih ada sampai sekarang agar lalat-lalat menjijikkan itu masuk ke dalam neraka yang mereka buat sendiri." Seketika tatapannya menjadi datar tanpa ekspresi dan penuh intimidasi. Pikirannya menerawang jauh ke masa terkelam dalam hidupnya.
"Setidaknya, berusahalah berdamai dengan masa lalumu."
Ia mendengus tidak suka. "Sebenarnya kau teman atau musuhku, Rodrigo?"
Seseorang yang disebut Rodrigo olehnya itu terkekeh, kemudian berucap. "Tergantung pemilihan waktunya."
"Sialaann."
*****
Saat matanya hendak tertutup dan menuju alam mimpi, lagi-lagi getaran ponsel mengganggunya. Matanya menyipit, nomor yang tidak dikenal. Ia membiarkannya dan melanjutkan aktifitasnya yang baru saja tertanggu oleh benda itu hingga suara dari benda itu berhenti sendiri. Lagi. Ponsel itu berbunyi, reaksinya masih sama. Ia berpikir kalau itu hanyalah telepon iseng sehingga sampai ketiga kalinya benda itu berbunyi barulah ia menekan tombol hijau dan mengumpat kasar.
"Sialan, kau mengganggu tidurku."
"Ini aku, Dom."
"Hn?"
"Ponselku kehabisan daya dan aku menggunakan ponsel Demian."
"Ya, ya, tak perlu kau jelaskan lagi. Apa tujuanmu menelponku?" Silver sudah merasa kesal karena saudaranya itu mengganggu waktu tidurnya.
"Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku."
Silver hampir saja lupa, karena itulah ia merasa kesal mendapat telepon tengah malam tetapi mendengar alasan seseorang yang meneleponnya itu membuat nyawanya kembali lagi ke tubuhnya. Ia tersenyum tipis.
"Bagus. Akan kuselesaikan besok. Pergilah bersenang-senang dengan anggotamu."
Ia mematikan sambungan itu.
Seringai mematikan langsung tercetak di bibirnya yang seksi itu dengan tatapan manik hijaunya kembali menajam seiring dengan lipatan bibirnya yang ditarik ke atas.
Drama kita dimulai sekarang, tikus kecil.
Ia akan menjadi pahlawan kesiangan bagi seseorang besok.
*****
Sinar mentari pagi di awal musim panas yang cerah ini tidak memiliki pengaruh pada seorang gadis belia yang sedang meratapi nasibnya. Ia duduk bersandar pada pinggir jalan trotoar dan memandangi bangunan kecil yang berada di hadapannya itu.
Sue tidak memiliki harapan lagi sekarang. Harapan satu-satunya telah direnggut paksa hanya dalam hitungan menit. Ia menangis sesegukan dengan mata yang bengkak dan air mata terus membanjiri pipinya yang mulus. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, bagaimana ia menjalani kehidupan selanjutnya, dan apa yang akan terjadi pada ayahnya kalau ia pergi sekarang padahal baru saja mereka bertemu, saling melepaskan dahaga akan rindu yang membelenggu beberapa tahun terakhir.
Semalam ada orang yang datang dan menggebrak toko bunganya. Orang itu juga mengatakan bahwa toko itu telah dijual dan dibeli oleh seseorang dengan harga yang fantastis.
Memberikan bukti kepemilikan toko dan tanah di tempat itu tidak membuat pria bermanik abu itu mempercayainya. Ia mengatakan bahwa kertas-kertas seperti itu hanyalah rekayasa saja bahkan dengan beraninya pria itu merobek kertas-kertas itu, membuat dada Sue sesak seakan orang itu sedang merobek jantungnya.
Hanya itu miliknya, satu-satunya penunjang hidupnya selama ini. Dan sekarang, semuanya telah tiada. Meminta tolong pada Zamora, ia rasa tidak perlu. Ia terlalu banyak merepotkan gadis berambut putih itu.
Ia harus menghadapi masalahnya sendiri. Jangan melibatkan orang lain. Ia sudah dewasa sekarang, bukan anak kecil lagi yang sering menangis saat kakinya terkilir karena terjatuh.
Diumurnya yang baru menginjak tujuh belas tahun, ia harus bekerja ekstra keras demi hidupnya. Ia memulai pekerjaan menjual bunga sejak umur sepuluh tahun saat ia memutuskan berhenti sekolah.
Bunga-bunga yang ditanam almarhum ibunya ia petik dan menjualnya di jalanan. Awalnya terasa sulit baginya. Melihat anak-anak sebayanya memakai seragam sekokah membuatnya iri. Karena tekad yang kuat, akhirnya ia bisa mematahkan rasa iri itu.
Disaat semuanya lancar, sebuah badai mengguncangkannya sehingga apa yang sudah ia bangun dari awal hancur tak tersisa. Ia menangis, menangisi semuanya.
Ia bangkit berdiri, mengusap wajahnya kasar. Kakinya terasa lemas, mungkin kehilangan tenaga karena kejadian semalam. Ia terisak lagi, air mata itu seakan tak pernah ada habis-habisnya.
Sebuah mobil bermerk Mercedses Benz berwarna silver berhenti tepat di belakangnya. Karena sebagian jiwanya melayang, Sue tidak menyadarinya. Hingga sebuah tepukan di bahunya membuatnya buru-buru menghapus air mata yang masih menetap di pipinya. Setelah ia merasa bahwa tidak ada lagi air mata yang tersisa, ia menoleh.
Oh my God. He again??
Matanya melotot karena terkejut, hatinya berteriak histeris karena tidak menyangka adanya peristiwa seperti ini sepagi ini.
Hati yang tadinya patah menjadi sembuh hanya karena sebuah senyuman yang tercetak jelas di bibir orang bermanik emerald di hadapannya itu.
"Are you ok?"
Sue tergagap. Ingin sekali ia mengatakan bahwa ia tidak baik-baik saja, namun ia urungkan karena ia merasa bahwa orang yang di hadapannya itu tidak pantas mendengar keluh kesahnya. Sejurus kemudian ia menganggukkan kepalanya pertanda bahwa ia baik-baik saja.
"Saya baik-baik saja, Tuan."
Orang itu terkekeh. "Lalu, kenapa kau menangis? Ada air mata di sana dan matamu bengkak." Tangan kekarnya menunjuk pada pipi Sue.
"Hah?!"
Secepat kilat, Sue menghapus air matanya. Benar, butiran bening itu masih ada, tidak terhapus penuh karena ia terburu-buru tadi. "Saya tidak menangis." Ia memalingkan pandangannya agar mata mereka tidak bertemu.
"Benarkah? Apa yang membuat matamu bengkak?"
"Saya hanya kurang tidur, Tuan." Ia menundukkan kepalanya, ia takut orang itu melihat kebohongannya.
Orang itu terkekeh lagi. "Kau tidak pandai berbohong, little girl. Kalau kau kurang tidur, di matamu pasti ada lingkaran hitam bukannya bengkak seperti itu."
Sue makin terpojok. Niatnya tidak ingin orang itu tahu, tapi tanpa diberitahupun ia sudah tahu.
"Quoi de neuf? (Ada apa?)." Ia masih berusaha membuat Sue mengangkat kepalanya, namun Sue masih setia dalam posisinya seperti itu.
Merasa tidak ada jawaban, pria itu tersenyum miris. Dalam hati ia memuji kinerja Greg yang sangat memuaskannya.
"Apa ini milikmu?" Tangannya menunjuk pada bangunan kecil di hadapannya. Terdapat tulisan kecil dan indah yang menempel di sana.
Sue's Flower.
Sue mengangkat kepalanya melihat apa yang ditanyakan pria itu, kemudian mengangguk ketika ia menyadari bahwa yang dimaksud orang itu adalah toko bunganya. Namun, mengingat kejadian semalam ia buru-buru menggelengkan kepalanya lagi.
"Apa artinya itu?"
Pria itu pura-pura tidak mengerti dengan isyarat Sue.
"Ini bukan milik saya lagi, Tuan."
"Hn?"
"Ada seorang pria yang datang ke sini semalam dan mengatakan bahwa toko ini telah dibeli oleh seseorang. Dan dia mengusir saya."
Senyum puas tercetak di bibir pria itu. Ia bersorak di dalam hatinya. Dialah pelakunya, yang telah merampas kebahagiaan gadis ini.
"Apa kau masih menginginkannya?"
"Hah?!"
Sue terkejut dengan pertanyaan pria itu. Ia berpikir bahwa pria itu bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya sehingga ia mengangguk mengiyakan.
"Aku bisa membantumu."
"Hah?!"
Lagi-lagi ia terkejut oleh pria ini. Pria ini mau membantunya? Ia mengangkat pandangannya sehingga mata mereka saling beradu. Buru-buru ia memutuskan pandangan itu sebelum ia terlalu gugup.
"Saya akan sangat bersyukur kalau Anda berkenan membantu, Tuan."
Sue membungkuk berkali-kali sebagai tanda terima kasih padanya. Ia merasa sangat bahagia. Bagaiman tidak, nasib mujur sedang berpihak kepadanya. Mungkin Tuhan melihat air matanya semalam.
Pria itu menunjukkan smirknya kali ini. "Tapi, dengan satu syarat."
"Apapun syaratnya akan saya lakukan, Tuan."
*****
Ig @xie_lu13
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Ida Safrida
bagian ini kurang suka balasdendap nufik
2022-02-25
0
Lilis Ferdinan
hmmmm,, rencana mulai dijalankan,,, lanjuttttt,,,
2021-11-29
0
Triiyyaazz Ajuach
sbnrnya apa tujuan silver membuat sue menderita gtu
2021-11-10
0