Happy reading!😊😘
*****
Sebelum terjadi penggebrakan di toko milik putrinya, Jerome mendapat telepon dari teman lamanya waktu mereka masih sama-sama bekerja di bawah naungan Dario Company. Temannya itu mengajaknya minum di sebuah bar dengan maksud merayakan kebebasannya dari belenggu dosa yang ia ciptakan semasa bekerja.
Sewaktu meneguk minumannya untuk yang kesekian kalinya, ia merasa tubuhnya ada yang aneh. Pandangan matanya berkunang-kunang dan kepalanya berdenyut sakit, tidak seperti biasanya ia meminum vodka. Pasti ada sesuatu yang salah dengan minuman itu, begitu pikirnya. Sebelum ia benar-benar tertidur karena hal itu, samar-samar ia bisa melihat temannya itu menyeringai dengan wajah datar.
"Kau bodoh, Abraham."
Ia tidak tahu bahwa minumannya itu diberi obat bius berkadar tinggi oleh temannya itu disetiap sloki vodka itu. Ia tidak menyadari tatapan tidak suka Hugo padanya karena ia meyakini hatinya tentang pertemanan mereka murni tanpa ada cela.
Bagi Hugo, tidak ada pertemanan yang terjalin tanpa ada tujuan tertentu. Seperti sekarang ini, ia terpaksa berteman dengan Jerome karena tuntutan pekerjaan demi beberapa lembar kertas tipis untuk bekal hidup anak dan istrinya.
Ia rela melakukan apapun demi benda tipis itu bahkan menghabisi nyawa orang lainpun ia melakukannya. Dari sanalah ia mengenal Jerome, pria paruh baya dengan senyum cerianya dan pantang menyerah dalam hal apapun. Jika saja menghabisi nyawa Jerome berlaku juga untuk tugasnya, ia pasti sudah melakukannya bertahun-tahun yang lalu tanpa bersusah payah dekat dengannya. Akan tetapi, tugasnya hanya sebatas menjadi teman pura-pura dan tidak lebih dari itu.
Bukan hanya senyum ceria Jerome yang membuat Hugo gampang masuk ke kandang pertemanan itu dengan mudah, tetapi tutur katanya menggambarkan bahwa dia orang yang lemah lembut dan berkharisma. Tetapi ia mengemban tugas yang berbanding terbalik dengan sifatnya.
Mereka sama-sama menjadi penembak jitu milik Silvester Dominique Dario, yang tidak akan mengenal siapa kawan dan siapa lawan saat diberi tugas untuk membunuh.
Tuntutan untuk berteman dengan Jerome itu berasal dari seseorang yang statusnya juga sebagai atasan dan tidak bisa ia bantah. Karena itulah ia membius Jerome dan membawanya kepada orang itu.
Dan di sinilah Jerome sekarang. Di dalam sebuah ruangan gelap dengan pencahayaan minimum, hanya cahaya dari lampu sorot kecil yang disorotkan langsung pada tubuhnya yang menerangi ruangan itu. Ruangan itu nampak sekilas seperti gudang yang tidak terpakai dan tidak dibersihkan karena banyak debu yang menempel di atas benda-benda yang ada di sana.
Ia didudukkan di sebuah kursi dengan tangan dan kakinya terikat ke belakang. Seorang pria tua duduk di hadapannya, tersenyum menyeringai dengan sebilah pisau menari-nari di antara jemarinya yang sudah keriput.
Saat Jerome membuka mata, ia terkejut mendapati dirinya berada di hadapan orang yang selama ini dihindarinya. Seseorang yang membuatnya gemetaran hanya dengan melihat sehelai rambutnya saja.
"Ka... ka... kau?"
Pria tua itu terkekeh. "Kau mengenalku? Ah, sayang sekali padahal aku ingin memperkenalkan diriku dengan bangga di hadapanmu." Tatapan abu-abu miliknya menyorot tajam ke manik cokelat milik Jerome. Ia memajukan kursinya mendekat. Jerome menelan ludahnya kasar. Pikiran negatif langsung menyambar otaknya ketika menyadari adanya pisau di tangan pria tua itu.
"A... ap... apa yang kau inginkan?"
Kegugupan melandanya sehingga apapun yang keluar dari mulutnya tidak terucapkan dengan fasih.
"Melenyapkanmu."
Kilat amarah dan kebencian langsung menyeruak keluar dari manik abunya, membuat Jerome menahan napasnya. Tatapan matanya tajam seolah ada peluru yang menembus langsung ke dalam kepala Jerome. Ia ketakutan sekarang. Meskipun sudah berkali-kali ia bahkan beratus kali ia pernah melenyapkan musuh pribadi Tuannya, tetapi untuk mati konyol dalam keadaan seperti ini ia tidak mau. Masih ada anak gadisnya yang membutuhkannya kasih sayangnya.
Melihat ketakutannya, pria tua itu tertawa terbahak-bahak. "Tentu saja aku akan melenyapkanmu dengan tanganku yang indah ini kalau kau berani mengatakan hal yang tersembunyi itu kepada Silver. Tetapi sekarang, aku tidak mengizinkan tanganku kotor oleh darahmu yang busuk ini. Karena itulah, aku melepaskanmu dan membiarkanmu masuk sendiri ke dalam mulut Bunglon Hijau kesayanganmu itu."
Deg.
Jantungnya seolah diremas oleh tangan tak kasat mata. Sakit yang teramat sangat. Ia tahu saat seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Karena itulah, ia memohon dan memelas agar ia berhenti dari pekerjaannya. Ia ingin mati tanpa ada yang merasa rugi karena masih banyak pekerjaan belum ia selesaikan.
Hal tersembunyi yang dimaksudnya itu, Silver tidak mungkin mempercayai orang lain dari pada keluarganya sendiri, terlebih pria tua bermanik abu ini adalah paman kandung Silver, Alfonso. Mustahil kalau Silver mempercayainya. Dan bagaimanapun juga, Silver tidak pernah terlibat percakapan serius dengannya selain tentang tugas yang harus ia lakukan.
"Tenang saja, gadis kecil berada di tempat yang aman sekarang. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Yang harus kau lakukan sekarang adalah tunduk di bawah kakiku tanpa banyak bertanya."
Wajah Jerome berubah pias ketika membahas tentang putrinya. Ia ingat, ia meninggalkan Sue pada saat gadis itu sedang tertidur pulas.
Senyum puas tercetak di bibir Alfonso ketika air muka Jerome berubah ketika membahas tentang putrinya.
"Aku akan mempertemukan kalian berdua disaat dan tempat yang mengagumkan nanti."
*****
"Astaga. Sangat menakjubkan."
Sue memandang takjub pada bangunan megah di hadapannya yang memanjang dari timur ke barat. Mansion pribadi milik idolanya, Silvester. Mansion itu sangat besar dengan tinggi mencapai empat lantai. Ia tidak menyangka akan memiliki kesempatan emas untuk memasuki gerbang raksasa itu.
"Akan sangat menakjubkan lagi kalau kau masuk ke dalamnya." Silver langsung menarik tangannya masuk ke dalam.
Mereka memasuki mansion itu dengan Silver di depan kemudian disusul Sue. Mata Sue menjelajahi seluruh gaya interior mansion itu inci demi inci. Dan benar saja apa kata Silver tadi kalau di dalam sangat menakjubkan lagi. Buktinya sekarang Sue melebarkan matanya dan menggerakan kakinya lambat-lambat agar setiap sudut mansion itu ia kenali.
Seorang pria paruh baya langsung menghampiri ketika Silver memasuki gedung utama mansion itu. Pria itu langsung menunduk hormat padanya.
"Apa itu mainan baru, Tuan?"
Ia mengedipkan matanya dan menunjuk dengan wajahnya ke arah Sue yang berjalan perlahan ke arahnya.
"Tutup mulutmu dan lakukan saja tugas yang sudah kuberikan padamu, José. Jangan mencampuri urusanku yang satu ini. Dia adalah bagian yang kunantikan dalam adegan hidupku."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Silver menarik tangan Sue. "Cepatlah, kau tidak akan sampai kemanapun kalau jalanmu seperti kura-kura."
"Maafkan saya, Tuan."
"Ikuti aku, José!"
Tatapan tajamnya disertai seringai iblis di bibirnya membuat Sue bergidik. Ini pertama kalinya ia melihat senyuman seperti itu milik Silver. Biasanya, pria itu tersenyuman manis dengan sangat menggoda di depan kamera.
Apa ini sisi dirinya yang lain?
Ia memukul kepalanya agar menyadarkannya dari pikiran anehnya. Ia tidak menyukai pemikiran yang seperti ini. Tidak mungkin. Ia tidak mau berpikiran negatif tentang idolanya. Ia mengidolakan Silver, tidak pantas menyukai sisi baik darinya saja tanpa menerima sisi terburuknya.
Seperti dalam sebuah hubungan percintaan, seburuk-buruknya kekasihmu di mata orang lain tentu dia yang terbaik di matamu 'kan? Begitu juga yang dirasakan seorang fans terhadap idolanya. Ketika banyak yang membenci, menolak, mencaci bahkan menghina idolanya, ia pasti akan memasang badan menerima lemparan-lemparan kalimat laknat dari para haters.
Begitulah Suelita, gadis manis berusia tujuh belas tahun ini begitu mengidolakan Silvester, seorang atlet sepakbola yang sangat memikat hati wanita manapun. Ia mendukung dan menyoraki idolanya setiap pertandingan meskipun itu di lakukannya di depan televisi. Ia tidak pernah menonton langsung pertandingan itu di stadion meskipun jarak stadion itu dari toko tidak terlalu jauh karena harinya ia habiskan dengan bekerja.
Dan sekarang ia terhubung langsung dengan pria idolanya. Pria yang telah menjadi penyelamat toko bunganya yang telah dirampas. Meski pria itu membantunya dengan sebuah syarat, ia tidak mempermasalahkannya karena berada satu atap dengan pria itu membuatnya bahagia luar biasa.
"Kau harus bekerja untukku agar bisa melunasi hutangmu padaku."
Itulah syarat yang diajukan pemilik manik emerald itu padanya. Bekerja? Tentu saja ia antusias. Ia terbiasa bekerja, jadi pekerjaan apapun ia bisa menyanggupinya agar hutangnya terlunasi. Untuk itulah ia berada di sini sekarang, bekerja untuk Silver dan melunasi hutang-hutangnya.
Tanpa sadar, ia sudah berada di sebuah ruangan yang elegan. Silver langsung duduk dan menyilangkan kakinya di sofa tunggal dengan warna senada dengan tembok bangunan itu.
"José, beritahu dia apa yang harus dilakukannya di sini dan aturan tempat ini yang harus ditepati dan tidak boleh dilanggar."
"Baik, Tuan."
Ia membawa Sue keluar dari ruangan itu meninggalkan Silver sendirian. Mengelilingi mansion sebesar itu tentu saja tidak akan ada habisnya jika dilakukan hanya dalam sehari saja. Jadi, José hanya memberitahunya tentang tugas pokoknya saja. Membersihkan dan menata ruangan, membantu di dapur dan menambahkan namanya di daftar orang-orang yang harus ikut ke pasar untuk membeli perlengkapan dapur. Dan memperkenalkannya pada para maid yang ada di sana.
"Siapa namamu, gadis kecil? Dari tadi aku berbicara panjang lebar tanpa tahu namamu."
Sue terkekeh. "Nama saya Suelita, Tuan. Anda bisa memanggilku Sue."
"Oh baiklah, Sue. Untuk memasak, semua itu tugasnya dia. Namanya Martha." José menunjuk pada seorang wanita paruh baya yang langsung menundukkan kepalanya ketika merasa dirinya disebut. "Untuk tugas-tugasmu yang lainnya akan dijelaskan lebih lanjut oleh temanmu yang lain. Kau bisa menanyakan apa saja pada mereka kalau seandainya aku di luar jangkauan."
Kemudian, ia mengantar Sue ke sebuah kamar yang berada di lantai dasar di dekat dapur.
"Ini kamarmu, bersebelahan dengan teman-temanmu yang lainnya dan dekat dengan dapur."
"Baik, Tuan. Terima kasih."
"Satu lagi, ini poin yang paling penting yang harus kau ingat selama bekerja di sini. Jangan mencampuri urusan orang lain. Apapun yang terjadi di mansion ini, usahakan informasinya tidak mencuat keluar. Jika itu terjadi, maka terimalah amarah seekor Bunglon Hijau."
Sue mengerutkan keningnya ketika mendengar sebutan seekor bunglon hijau. Bunglon? Mana mungkin seekor bunglon bisa marah dan menyakiti manusia. Namun, dari pada urusannya lebih panjang ia memilih untuk mengangguk.
"Baiklah, saya mengerti, Tuan."
Seorang pria yang disebut dengan julukan Bunglon Hijau itu tersenyum miris.
"Kau masuk dalam perangkapku, tikus kecil. Selamat datang di neraka yang sesungguhnya, yang kau dan ayahmu ciptakan dalam keluargaku di masa lalu."
*****
Ig @xie_lu13
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Triiyyaazz Ajuach
kayaknya silver salah paham dech sama jerome
2021-11-10
0
miongmiw
balas dendam nih silver
2021-01-09
2
Listiana Ngawi
balas dendam ternyata
2021-01-05
1