Bab 1.3

"Aku minta maaf, Kak Aish. Aira akan membantu Kak Aish-"

"Maaf mu tidak berguna! Maaf mu tidak akan pernah bisa membuat seragamku bersih kembali! Lagipula aku tahu kamu sengaja melakukannya, kamu ingin mengacaukan-"

"Aisha!" Tegur Ayah bernada tajam.

Mulutku langsung tertutup rapat tidak mampu melanjutkan kembali apa yang ingin aku katakan. Rasa marah yang menggelora di puncak tenggorokan ku seketika harus ku telan kembali sebelum bisa ditumpahkan.

Ayah berdiri dari kursinya, dia menatapku dengan tatapan tajam yang sangat menakutkan. Aku bahkan harus memalingkan wajahku tidak memiliki keberanian untuk menatapnya.

"Bukankah Aira sudah meminta maaf kepadamu? Dia benar-benar tidak sengaja melakukannya tapi kenapa kamu malah mempersulit adikmu sendiri?" Ayah jelas memihak Aira, bahkan sekalipun apa yang Aira lakukan salah, Ayah akan membelanya dengan tegas di depan ku.

Ah, ****!

Mataku rasanya sangat perih. Pandanganku menjadi buram karena air mata sialan yang tidak sabar ingin keluar.

Tidak, tidak bisa. Aku tidak ingin menangis di depan mereka!

Aku tidak ingin terlihat lemah di depan mereka semua!

Aku tidak akan pernah menunjukkannya kepada mereka semua!

"Aku pergi." Kataku buru-buru sambil menyingkirkan kursi dudukku, mendekati Ayah dan mencium punggung tangannya tanpa perlu mengangkat kepalaku.

"Assalamualaikum." Setelah itu aku langsung keluar dari ruang makan tanpa perlu mencium tangan Nenek lampir- ah, sebut saja Ibu tiri ku.

Membawa kakiku menjauh dari tempat itu, tempat dimana aku hanyalah orang asing di mata mereka semua.

"Ayah, jangan marah lagi." Samar, aku mendengar dari luar Nenek lampir itu sedang menenangkan Ayah.

Di depan dia membujuk Ayahku untuk berhenti marah tapi di dalam hatinya aku yakin dia ingin Ayah semakin marah kepadaku, semakin membenci diriku yang dirasa hanya beban untuk keluarga ini.

"Ini salahku karena tidak mendidiknya dengan baik. Lihat sekarang, dia tumbuh menjadi gadis pemberontak dan bermulut kasar. Berbanding terbalik dengan adiknya-"

Aku mempercepat langkahku keluar dari rumah tidak ingin mendengarkan percakapan menyebalkan itu lagi. Tanganku melambai memanggil taksi yang kebetulan lewat di jalan.

"SMA Anak Bangsa, Pak." Kataku memberikan alamat.

Lalu supir taksi membawa mobilnya melaju menuju sekolah ku yang sejujurnya tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat. Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku membawa tatapanku menatap ke arah luar jendela. Tersenyum tipis, cairan hangat yang selama ini aku tahan akhirnya tumpah juga. Air mataku jatuh melewati pipiku, menjadi saksi bisu betapa sakit hatiku saat ini.

Kejadian ini sudah berulangkali terjadi. Ketika aku dan Aira bertengkar, Ayah akan selalu berdiri membela Aira. Mengatakan bila Aira beginilah, Aira begitulah, dan Aira, Aira yang lainnya. Ayah tidak pernah melihatku sebagai seorang anak yang membutuhkan kasih sayangnya, tidak, dia selalu memperlakukan aku sebagai orang lain.

Bahkan... bahkan sekalipun Ayah tidak pernah mencintai Mama tapi setidaknya Ayah memperlakukan aku sebagai darah dagingnya yang berharga, inilah yang seharusnya. Tapi Ayah tidak melakukan itu semua. Ayah tidak memperlakukan aku selayaknya darah dagingnya.

Kalian bisa melihatnya, di mata Ayah selalu Aira yang lebih baik, bahkan Ayah juga membandingkan ku dengan Aira. Aku tidak mendapatkan keadilan yang aku harapkan.

Hanya karena Aira menggunakan cadar dan aku tidak, Ayah memperlakukannya seperti orang suci yang tidak pernah melakukan kesalahan. Setiap katanya bagi Ayah selalu berisi kebenaran. Lalu terhadapku, Ayah selalu memandangku dengan tatapan sebelah mata dan penuh akan kecurigaan. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutku adalah sebuah kebohongan yang sulit dipercaya.

Bagaimana mungkin seperti ini?

Aku dan Aira sama-sama anak Ayah, tapi kenapa perlakuan yang Ayah berikan kepada Aira jauh lebih lembut daripada kepadaku?

Apa yang salah, bukankah di dalam tubuhku juga mengalir darah Ayah sama seperti milik Aira?

Lalu kenapa kami diperlakukan berbeda?

Aku sungguh tidak bisa mengerti ini.

"Aku sungguh lelah, kapan semua ini berakhir." Aku berbicara kepada diriku sendiri yang sebenarnya tidak memiliki jalan keluar.

"Ma, kenapa Mama tidak membawaku juga pergi? Daripada tersiksa di sini, aku lebih suka ikut bersama Mama."

Aku merasa Mama sangat tidak adil kepadaku. Dia tega meninggalkan ku sendirian di dunia ini tanpa rumah yang bisa menghangatkan ku dan tanpa keluarga yang mau menjadi sandaran terkuat untuk ku.

Tidak, aku tidak memiliki semua itu. Ironisnya, dari luar aku terlihat memiliki segalanya tapi di dalam, aku tidak ada bedanya dengan orang terlantar di jalanan.

Aku tidak memiliki rumah dan aku juga tidak memiliki keluarga, selama ini aku hidup dalam kesepian.

...🌪️🌪️🌪️...

Bunda menatap punggung tipis Aish perlahan menjauh dari pandangannya. Punggung anak itu terlihat sangat kesepian dan menyendiri, mengingatnya pada sosok sang sahabat yang ia khianati.

Berat hatinya, ia merasa bersalah juga menyesal sehingga ia menumbuhkan sebuah tekad untuk menjaga Aish dengan baik selepas sahabatnya pergi meninggalkan dunia.

"Ayah jangan terlalu keras kepada Aish. Menurut Mama posisi Aish memang benar. Siapapun pasti akan kesal dan marah bila pakaian seragamnya dikotori. Dan Aira juga," Bunda mengalihkan perhatiannya menatap sang putri.

Aira menundukkan kepala menahan isak tangis di hadapan kedua orang tuanya.

"Aira tidak berjalan dengan hati-hati dan membuat baju Kakak mu kotor. Kemarahannya memang dibenarkan jadi Aira tidak boleh menangis. Dengar, di sekolah nanti minta maaf lah kepada Aish agar dia tidak marah lagi." Nasihat Bunda dengan nada lembut yang sama.

Aira merapatkan mulutnya seraya mengangguk ringan.

Setelah berbicara dengan suami dan putrinya, Bunda lalu masuk ke dalam dapur dan kembali ke meja makan dengan kotak bekal hangat ditangan.

"Aira bisa makan di kantin dengan teman-teman, Bun." Cegah Aira tidak mau membawa bekal.

"Ini bukan buat kamu tapi buat Aish." Ralat Bunda tidak sadar telah membuat Aira malu.

Bunda mendorong kotak bekal itu ke depan Aira,"Berikan bekal ini kepada Aish di sekolah nanti dan gunakanlah kesempatan itu untuk meminta maaf kepadanya, mengerti?"

Aira tersenyum lembut dan mengangguk patuh kepada Bunda.

"Baik, Bunda." Harusnya gambaran ini terlihat sangat tulus tapi entah mengapa sorot matanya sedikit...berbeda.

...🌪️🌪️🌪️...

Assalamu'alaikum, semuanya. Ini adalah cerita baru dengan genre spritual. Yap, gak ada genre yang lainnya hehehehe...(kapok huhu..) hanya spritual.

Okay, nikmati momen puasa Readers bersama 'Wanita Surga, Bidadari Dunia '. Insya Allah puasanya berkah dan diridhoi Allah, آمِيْن اللّهُمَّ آمِيْن

Sampai jumpa di bab selanjutnya 🌪️

Terpopuler

Comments

Mommy Kymi

Mommy Kymi

semua cerita mbak Lili satu persatu aku baca. yg pertama aku bukan perawan tua, trus penasaran dengan karya lain. ini karya yg kesekian kalinya punya mbak lili...keren mbk lili. aku suka genre spiritual. memang carinya yg spiritual aja

2023-12-03

0

Ummi Alfa

Ummi Alfa

Ngakunya sahabat, tapi koq tega banget rusak rumah tangganya jadi pelakor sahabat sendiri.
Sahabat macam apa kaya gitu... .....
Sangat wajar jika Aish sangat kecewa.

2022-12-06

0

Ai Sofariah

Ai Sofariah

lanjut kak

2022-04-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!