Part 4

Mamaku Hantu

Part 4

“Sena! Lo sudah buat PR Bahasa Inggris belum?” Dandi, teman sekelasnya yang bertingkah seperti gangster memberhentikan Sena untuk menempati kursi belajar.

Sena hanya melirik sekilas. Lalu dia memutuskan untuk mengabaikannya. Sena meletakkan tas di atas meja dan segera menduduki kursi belajar.

“Woi! Ditanya malah diam. Kuping lo ini enggak berfungsi apa gimana?” Teriak Dandi tepat ditelinga Sena.

“Kalau gue sudah buat, lo mau apa?” Sena menanyakan Dandi dengan malas.

“Gue salin ya PR lo.” Sahutnya dengan tangan bergerak membuka tas Sena. Bukan rahasia lagi jika Dandi bertingkah semaunya seperti ingin mendominasi lingkungan sekolah.

“Gue enggak ada ngasi izin lo untuk buka tas gue kayak gini. Lo tau sopan enggak, sih?”

Dandi dan teman-teman sekelasnya terpana mendengar sahutan dari Sena.

“Lo nantangin gue?” Dandi yang berbadan paling besar dan tinggi terpancing emosinya.

“Untuk apa gue harus buang waktu?”

“Lo jangan banyak tingkah deh.” Dandi mulai mendidih, “pantas aja sikap lo kayak gini, udah lama kan lo enggak nyusu sama nyokap?” Dandi tertawa terbahak-bahak dengan ledekan yang dibuatnya sendiri. Tidak dengan Sena dan teman-teman yang lain. Mereka tahu betul bagaimana kondisi Mama Sena yang sedang melalui koma tiga bulan terakhir.

Sena menatap Dandi dengan tajam.

“Apa? Lo mau ngelawan gue?” Dandi menunjukkan gertakan.

Sena masih bergeming menahan amarah yang bergemuruh.

“Dari pada lo harus buang-buang waktu untuk melawan gue, mendingan panggil nyokap lo ke sini buat ngebelain dan meluk sambil bilang cup-cup sayang. Enggak mungkin bisa datang kan, ya? Kasihan banget lo.” Tutur Dandi lagi dengan sinis. Sedetik kemudian Dandi membalikkan badannya untuk meninggalkan Sena.

“Lo merasa hebat karena berhasil mengolok-olok gue?” Sena tidak membiarkan Dandi pergi begitu saja. Dandi berhenti lalu kembali membalikkan badannya menghadap Sena.

“Lo itu sama sekali enggak keren, justru semua yang lo lakuin selama ini cuma kelihatan omong kosong.” Sena melanjutkan lagi kata-katanya.

Dandi mendekat, “Lo bilang apa?”

“Jangan lupa, akan ada waktunya untuk orang yang terlalu sering bicara omong kosong dan menghina orang lain, akan kemakan sama omongannya sendiri. Karma itu enggak pernah jalan sendirian, coba lihat, dia ada tepat di belakang lo. Tinggal lo tunggu aja keadaan yang lo bilang, akan memakan diri lo sendiri.”

Dandi meradang mendengar ucapan Sena.

“Lo bukannya merendah karena enggak punya nyokap, malah berani ngelawan gue ya?” Dandi menoyor kening Sena dengan keras. Tidak ada satupun teman-teman sekelas mereka yang berani melerai Dandi dan Sena.

“Mama!” Sena memanggil Mamanya dalam hati.

“Ucapan gue bagian mana yang lo bilang omong kosong? Memang kenyataan lo itu anak mami yang ditinggal begitu aja. Makanya nyokap lo pergi ninggalin, siapa yang betah punya anak kayak begini?” Dandi meletakkan genggaman tangannya pada rambut Sena, dan menariknya kuat.

“Mama, kesini. Tolong Sena, Ma!” Sena berteriak dalam hatinya, memanggil Mama untuk menyemangati diri yang kini sangat takut berhadapan dengan Dandi.

Bagaikan mimpi, Agia kini sedang berdiri di hadapan Sena, tepat di samping Dandi.

Agia mebelalakkan mata melihat anak bungsu kesayangannya sedang tak berdaya ditangan teman sekelasnya. Agia lalu menarik rambut Dandi ke belakang hingga kepalanya mendongak.

Dandi terkejut marah dan memutar kepala untuk melihat siapa yang berani menarik rambutnya. Dandi tidak menemukan siapapun.

Agia kembali menarik telinga kanan Dandi pelan. Dandi menutup telinga kanannya dan kembali terkejut. Dia menjadi ketakutan karena merasakan ada yang aneh. Sentuhan dingin terasa didaun telinganya. Dandi menjauh dari Sena lalu pergi ke luar kelas.

Teman-teman di kelas pun keheranan melihat aksi yang dilakukan Dandi barusan. Tidak terkecuali Sena. Sena terpana melihat Mamanya tiba-tiba datang untuk membantu disaat dia sangat memerlukan.

Sena mengerjapkan matanya memastikan lagi, apakah benar dia bisa melihat Mamanya kini. Sena melihat Mamanya mengenakan pakaian yang sama seperti hari di mana mereka diantarkan ke sekolah. Cantik. Sena selalu menganggap bahwa Mamanya sangat cantik.

Agia tersenyum ke arah Sena. Bergegas Sena mendekati Agia dan menarik tangannya menuju luar kelas.

***

Sena kini duduk bersama Agia di dekat pintu gerbang sekolah, jauh dari jangkauan siapapun yang sekira bisa melihat Sena.

“Ma.. Jadi Mama sekarang ini hantu?”

Agia tertawa mendengar pertanyaan Sena tanpa basa-basi.

“Entahlah, Nak. Mama juga enggak ngerti. Tahu-tahu Mama di sini, padahal tadi Mama lagi duduk di rumah sakit.”

“Mama kapan bangun, Ma?”

“Mama juga pengen bangun secepatnya. Tapi Mama enggak tahu gimana caranya.”

Sena merengutkan wajahnya karena kecewa dengan jawaban Agia yang tidak memuaskan.

“Ohya, tadi Sena kenapa dibegitukan sama Dandi? Itu Dandi kan?”

“Iya, Ma. Sena tadi diejek sama Dandi. Katanya Mama pergi karena Sena bukan anak yang baik.”

Agia terperangah mendengar anak SD melakukan perundungan kepada temannya sendiri.

“Enggak! Enak aja bilang anak Mama bukan anak baik. Anak Mama kan super baik. Menyenangkan dan pasti bikin Mama jadi pengen peluk terus.” Agia berusaha untuk memeluk bungsu di keluarga agar perasaannya membaik.

“Ma, Mama dingin banget.” Ujar Sena di dalam pelukan Agia.

“Iya? Mungkin karena Mama enggak punya aliran darah ya. Jadi terasa dingin.”

“Tapi enggak apa-apa. Sena bahagia sekali ada Mama di sini.”

“Mama kan sudah janji kalau Mama akan selalu ada untuk Sena dan Senja.”

“Untuk Papa enggak, Ma?”

Agia tertawa kecil mendengar pertanyaan Sena.

“Iya untuk Papa juga.”

***

Agia tetap diam di dalam kelas Sena selama masa pembelajaran. Dirinya mulai bosan dan mencoba untuk keluar kelas. Namun sayang Agia tidak bisa melewati pintu kelas. Seakan-akan Agia berhadapan dengan tembok yang tidak bisa dilewati.

Sena melihat hal itu dan menaikkan alisnya. Dia sama herannya dengan Agia, “tadi pagi Mama bisa lewat pintu, sekarang kok enggak bisa?” Sena berbicara dengan pikirannya sendiri.

Agia menoleh ke arah Sena yang duduk di tengah-tengah. Sena membalas dengan menaikkan bahunya tanda tidak mengerti.

***

Bel istirahat seperti menghipnotis seluruh siswa agar menghentikan proses belajar di dalam kelas. Begitu Guru menyudahi pembelajaran, teman-teman Sena terlihat berhamburan berebut melewati pintu kelas agar dapat segera menuju kantin demi memenuhi panggilan alami yang disebut lapar.

Tidak dengan Sena. Saat kelas sudah kosong, Sena berbicara kepada Mamanya.

“Ma, ke kelas Kakak, yuk?”

Senyum Agia menghiasi wajah karena sangat menyetujui ide Sena.

Ragu-ragu Sena mendahului Agia melewati pintu kelas dan berbalik melihat ke dalam.

Dengan hati-hati Agia mencoba melewati pintu. Sayang sekali Agia gagal melewatinya.

Wajah Sena berubah sendu. Lalu dia mendapatkan ide.

“Ma, coba ke sini sebentar.” Sena melambaikan tangannya.

Agia mencoba sekali lagi. Masih tetap gagal.

Tidak kehabisan akal, Sena kembali masuk ke dalam kelas dan menggenggam tangan Mamanya. Bersama-sama mereka mencoba melewati pintu. Berhasil. Kini mereka berada di luar kelas dengan senyum mengembang.

Ibu dan anak itu kini berjalan beriringan menuju kelas Senja.

Sayang sekali kelas Senja sudah kosong.

“Kayaknya Kakak di kantin, Ma. Kita ke sana yuk?”

Agia menganggukkan kepala setuju.

***

Sena melihat Senja sedang duduk bersama teman-teman sesama siswa kelas enam dari kejauhan. Nampak kotak makanan yang disediakan pihak sekolah telah tertumpuk di ujung meja, menandakan Senja dan teman-temannya telah selesai menyantap makan siang.

“Sena enggak makan dulu?” Agia menanyakan anak bungsunya karena mengingat saat ini adalah waktunya istirahat.

“Enggak, Ma. Ada yang lebih mendesak.” Sahutnya cepat. Tanpa sadar beberapa orang melihat Sena yang berbicara sendirian.

Sena masih menggenggam tangan Agia dan berjalan mendekati meja Senja.

Senja pun melihat adiknya mendekat.

“Ja, ada bocil ganteng nyari gue.” Salah satu teman Senja bergurau menggoda Sena, dan disambut dengan derai tawa dari teman-temannya yang lain.

“Tumben kamu kesini, ngapain?” Senja bertanya kepada Sena ketika adiknya tepat berdiri di samping.

“Kak, ada yang mau aku bilang.”

“Apaan?”

“Sini ikut aku.”

“Bilang di sini aja lah.”

Sena mengedarkan pandangannya ke teman-teman Senja.

“Enggak bisa di sini, Kak.”

“Apaan sih?”

Sena diam sebentar, “Mama di sini.” Jawabnya singkat.

Senja menegakkan duduknya. Teman-temannya pun diam mendengar pernyataan Sena. Bergegas Senja menarik tangan Sena dan berjalan menjauhi keramaian.

“Maksud kamu apa?” Senja segera membuka pembicaraan.

Sena tidak menyahut, namun melirik Agia untuk meminta izin. Agia mengangguk dengan senyum tanda mengiyakan ide Sena.

“Mama di sini, Kak.”

“Kamu jangan isengin aku ya.”

“Untuk apa aku isengin Kakak. Mama benar ada di sini.”

“Buktinya apa?”

Sena berpikir sebentar. “Ma, coba cium pipi Kakak.” Agia menuruti perintah Sena.

Senja tersentak dengan rasa dingin seperti ditempel oleh es batu pada pipi Senja sebelah kiri.

“Mama! Ma..” Tangis Senja pecah karena tak kuasa menahan keharuan.

Agia lalu memeluk anak cantik yang kini nampak sangat terpukul oleh nasib yang menerpanya.

Beberapa menit Senja berada dalam dekapan dingin dari Mamanya, menyadarkan bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja.

“Ma! Siapa yang bikin Mama kayak gini?”

Terpopuler

Comments

Bambang Setyo

Bambang Setyo

Cuma sena yg bisa liat mamanya.. Taoi senja juga bisa merasakan kehadiran mamanya...

2023-04-26

0

Bintang kejora

Bintang kejora

Alhamdulillah, syukurlah kedua anaknya bs ttp berhubungan dg Agia, walau mgkn Senja tdk bs melihat keberadaan mamanya itu.

2022-04-26

2

🎎 Lestari Handayani

🎎 Lestari Handayani

kasian banget agia. JD ikut mewek aku say

2022-04-22

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!