Mamaku Hantu
Mamaku Hantu
Part 1
"Kan kemarin udah Kakak yang di depan. Sekarang giliran aku!"
"Anak kecil kayak kamu tuh, cocoknya di belakang! Sekalian noh duduknya pakai baby car seat!"
"Eleh! Lahir duluan dua tahun dari aku aja gayanya kayak tua bangka!"
Sena menarik kunciran rambut Senja dengan keras hingga membuat kakak perempuannya terjengkang ke belakang. Dengan begitu Sena lebih leluasa membuka pintu mobil untuk penumpang bagian depan.
Belum sempat Sena memasuki dalam mobil, Senja dengan gesit menarik kening adiknya dari belakang hingga menyebabkan kepala mendongak.
Sena segera berbalik hendak meraih apapun bagian tubuh Senja.
Senja berlari dengan cepat kemudian membuka pintu bagian kemudi dan berhasil duduk. Dalam hitungan sepersekian detik, tangannya segera menekan tombol kunci. Sena berulang kali menarik knop pintu, namun gagal.
Wajahnya merah menahan amarah. Kemudian menangis.
Selalu begitu.
Tiga bulan lalu, aku masih bersama mereka, kehidupan teratur anak-anakku. Kini, mereka dipaksa oleh kehidupan untuk mandiri dan tentu saja menyembuhkan luka dihati lembut mereka.
***
"Pa, anak-anak ngajakin liburan minggu depan." Ucapku kepada suami tercinta di tempat pembaringan. Tentu saja tercinta.
Bagi Nugraha adalah suamiku satu-satunya dan akan selamanya begitu. Pekerjaannya sebagai Aparat Sipil Negara telah menjabat sebagai orang tertinggi nomor tiga dalam perwakilan tiap provinsi. Walaupun masih memiliki dua atasan, tanggung jawab Bagi terbilang riskan, yaitu, sebagai pengendali teknis. Segala pekerjaan di lapangan yang bernaung di lembaga keuangan negara, harus melalui pengamatannya tanpa kecuali. Bagi lah yang memberikan penilaian kepada tim bawahannya, apakah pekerjaan mereka layak atau tidak.
Walaupun tanda tangan suamiku tidak terlalu diperlukan di sini, namun, dia termasuk orang penting di lembaga ini.
Tentu saja dengan tanggung jawabnya yang tinggi, wajarlah diberikan hak sampai dengan menyentuh angka tiga puluh juta setiap bulannya. Nominal itu sudah termasuk gaji pokok, tunjangan, dan uang jabatan. Terlebih lagi, aku merasa sangat beruntung karena memiliki suami sebagai Aparat Sipil Negara, karena dia mendapatkan gaji sebanyak empat belas kali selama satu tahun.
"Baiknya ajak mereka kemana, Ma?" Sahut suamiku dengan tangan yang terkunci memeluk pinggangku, bersiap untuk membuai mimpi.
"Kalau ke hutan tropis gimana, Pa? Nanti biar mereka tahu tentang alam. Ada kebun stroberi juga loh di sana. Bisa petik langsung terus dibikinkan jus. Pasti mereka akan senang sekali."
"Iya, nanti Mama atur saja baiknya gimana."
Percakapan kami terhenti karena Sena menerobos masuk ke kamar.
"Ma, Sena bobo di sini, boleh?"
Sena merangkak naik ke tempat tidur dan menggapaiku.
"Kenapa? Sena enggak bisa bobo? Mama temenin di kamar Sena, ya?"
Sena menggangguk seraya mengucek mata indah nan beningnya.
Sena Manggala Nugraha, putra tampanku yang baik dan tulus hatinya, akan selalu menjadi bayi dimataku walaupun sembilan tahun usianya kini.
"Ma, Sena sayang banget sama Mama. Sena enggak bisa membayangkan kalau Mama harus jauh dari Sena."
Aku terenyuh dengan perkataan bayi yang tingginya hampir setara dadaku.
"Mama juga mana bisa jauh dari anak Mama yang baik ini. Mama selalu memohon sama Tuhan untuk ngejaga anak-anak Mama. Terutama kalau Mama lagi enggak ada disekitar kalian. Sena janji sama Mama untuk sehat selalu ya." Kubelai rambutnya, pipinya, tangannya. Kebahagiaanku, semangatku, harapanku, dan juga ketakutanku.
Sena mengangguk lalu matanya terpejam.
Kusesali, belaian malam itu, menjadi belaian terakhir.
Bungsuku, sehatlah selalu, bahagialah selalu. Dulu aku menyayangimu setiap waktu. Kini, aku akan merindukanmu setiap waktu.
***
Agia Mentari memulai harinya sebagai ibu rumah tangga dengan mempersiapkan sarapan ringan untuk suami dan anak-anaknya.
Suaminya biasa menikmati nasi dan jus segar. Setiap harinya Agia akan mempersiapkan menu yang berbeda. Entah nasi goreng, atau nasi kuning yang dibelinya dekat rumah, bahkan jika memungkinkan, Agia akan memasak lauk lengkap untuk sarapan suaminya.
Sementara anak-anak memilih sarapan roti dan susu sebelum sekolah. Sekolah pilihan orang tua mereka sudah menyiapkan makanan sesuai dengan anjuran ahli gizi. Jadi, Agia tidak perlu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk berkutat di dapur pada pagi hari.
Seperti hari ini, Agia hanya memasak nasi goreng telur untuk dirinya dan suami. Sementara anak-anak hanya roti bakar cokelat dan susu vanila segar.
Agia juga tidak segera membersihkan sisa sarapan. Dirinya harus bergegas mengantarkan anak-anak ke sekolah yang menghabiskan waktu sekitar empat puluh menit dari rumah.
Dengan bantuan Bagi untuk memanaskan mesin mobil, Agia menyempatkan diri untuk mengganti pakaiannya.
“Pa, kenapa sih mobil itu harus dipanasi sebelum dipakai?” Sena yang sudah siap berangkat ke sekolah, lengkap dengan atribut seperti seragam dan sepatu, bertanya kepada Bagi. Sementara untuk tas sekolah sudah diletakkannya langsung di dalam mobil.
“Iya dong! Di dalam mobil itu kan ada oli. Kalau mesin mobil tidak dipanaskan, nanti sirkulasi oli tidak merata. Lalu komponen-komponen di dalam mesin yang tidak tersentuh oli akan cepat rusak.” Sahut Bagi menerangkan dengan bahasa sederhana untuk anak bungsunya itu, sambil tetap menyapukan kedua mobil agar tidak berdebu dengan kemoceng.
“Lagi pula, dari kemarin sore mobilnya kan tidak dipakai. Jadi keadaan mesin dingin. Sebelum digunakan, lebih bagus dipanaskan dulu. Sama kayak Sena. Memangnya kalau baru bangun langsung lari-lari? Kan enggak. Baru bangun biasanya Sena duduk dulu sambil manyun. Terus kedip-kedip mata yang belekan. Sudah gitu peregangan. Baru deh berdiri dan keluar kamar. Ya, enggak?” Bagi melanjutkan lagi penuturannya agar Sena mengerti.
Sena hanya menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti bahwa mobil sama seperti tubuhnya.
“Kamu mau tahu enggak cara manasin mobil biar cepat?” Senja tiba-tiba berada di samping Sena yang sedang berdiri menonton Papanya mempersiapkan kendaraan untuk keluarga.
Sena menunggu Senja menjelaskan cara praktis agar mobil cepat panas seperti sarannya barusan.
Bagi menghentikan kegiatannya dan melihat anak sulung yang kini terlihat semakin cantik.
“Nih, gini caranya!” Senja mendekat ke arah mobil Mamanya yang berwarna putih.
“Woi! Mobil jelek! Lo enggak lihat apa? Itu mobil tetangga udah pada keren-keren atapnya bisa kebuka dan ketutup. Lo sampai kapan mau jadi mobil buluk macam ini? Ah! Cemen lo mobil!” Ucap Senja ditutup dengan sodoran ibu jarinya menghadap bawah kepada kereta besi berroda empat itu.
Bagi lalu tertawa terbahak-bahak mendengar gurauan Senja. Tidak dengan Sena. Dia memicingkan mata ke arah kakak satu-satunya itu dengan bibir terkatup rapat.
“Kakak kira mobil kita bisa tersinggung gitu, kalau dikata-katain begitu?”
“Lah! Kan kali aja dia tersinggung, terus bisa panas sendiri gitu!” Senja membuka pintu penumpang bagian belakang lalu meletakkan tasnya di sana.
Bagi kemudian memundurkan mobil dinas, fasilitas yang diberikan oleh negara untuknya terlebih dahulu agar keluar dari garasi. Kemudian dia melanjutkan untuk memundurkan mobil keluarga yang akan dikendarai oleh Agia dengan tujuan ke sekolah.
“Ada yang tertinggal, enggak? Mama kunci ya pintunya.” Agia muncul di teras dengan penampilan santai. Celana kulot selutut berwarna cokelat dan blouse sederhana berwarna putih. Agia juga melengkapi penampilannya dengan tas selempang kecil dan sandal jepit gaya mengikuti zaman.
“Aman, Ma.” Senja menyahut dari dalam mobil yang kaca jendelanya terbuka lebar.
Dengan sigap Agia mengunci pintu rumah dan berjalan menuju gerbang.
Bagi telah menempati posisi di kursi kemudi mobil dinasnya dan berpamitan kepada istri juga anak-anaknya.
“Papa berangkat duluan, ya. Kalian hati-hati ke sekolah.”
“Iya, Pa. Hati-hati juga, ya.” Sahut Sena yang masih berada di luar mobil sambil melambaikan tangan kepada Papanya.
“Bye, Papa.” Senja pun turut melambaikan tangan dengan kepala melongok dari jendela mobil agar pandangannya dapat menjangkau Papanya di belakang.
“Hati-hati, Pa.” Agia tidak lupa mengingatkan, bersamaan dengan tangannya yang mendorong pintu gerbang agar tertutup, lalu menguncinya dengan baik.
Sena segera berjalan menuju sisi berlawanan dengan Senja. Dirinya duduk di kursi penumpang bagian depan.
Agia pun segera menaiki kursi kemudi dan memasang safety belt atau sabuk pengaman. Dirinya kemudian melaju perlahan membelah lalu lintas pagi yang tidak terlalu ramai.
“Ma, nanti sore sepulang sekolah, kita mampir ke toko buku sebentar, boleh?” Senja membuka pembicaraan dengan izin agar diantarkan ke toko buku.
“Boleh. Mau cari apa, Kakak?”
“Kakak mau beli kamus Bahasa Inggris digital, Ma. Kemarin Kakak lihat diinternet, katanya di toko buku dekat sekolah jual yang begitu.”
“Oh, Mama waktu sekolah dulu juga pakai kamus digital itu. Praktis, Kak. Tinggal tekan-tekan eh muncul deh terjemahannya.”
“Kok Mama enggak pernah cerita ke Kakak?”
“Iya lupa Mama.” Agia tertawa renyah mendengar pertanyaan anak sulungnya yang mengandung protes.
“Sena boleh beli buku juga enggak, Ma?” Ucap Sena mencoba keberuntungan.
“Buku komik?” Tanya Senja.
“Iya. Boleh ya, Ma.”
“Jangan dikasih, Ma. Nanti dia enggak mau belajar.”
“Kan membaca, Ma. Mama bilang boleh baca apa saja, kan. Buku komik kan pasti dibaca, Ma.” Sena berusaha merayu Mamanya agar disetujui untuk membelikan buku komik.
“Iya, iya. Nanti Mama belikan buku komik.”
“Yes!” Sena mengepalkan tangan menunjukkan gaya seperti sedang meraih kemenangan. Sena pun menoleh ke belakang dan menjulurkan lidahnya kepada Senja.
Kurang dari empat puluh menit mereka tiba di sekolah. Berbagai topik mereka bahas selama perjalanan, hingga waktu yang ditempuh tidak terasa.
Senja dan Sena bergegas membuka pintu mobil dan berhamburan memasuki gerbang sekolah seraya melambaikan tangan kepada Mamanya.
Sebenarnya sekolah Senja dan Sena memiliki fasilitas antar jemput yang diberikan oleh sekolah. Tetapi, Agia lebih memilih untuk mengantar dan menjemput langsung agar dirinya lebih yakin bahwa anak-anaknya sampai sekolah dan pulang ke rumah dengan selamat. Lagi pula Agia merasa tidak memiliki kesibukan yang terlalu menyita waktunya.
Agia melirik pergelangan tangannya untuk memastikan penunjuk waktu itu tengah memperlihatkan angka berapa.
“Masih jam delapan kurang sepuluh menit.” Gumamnya seorang diri.
Agia memutuskan untuk mengunjungi pasar tradisional yang terletak dekat dengan sekolah anak-anaknya. Dia akan membeli kebutuhan dapur yang telah menipis, juga beberapa keperluan untuk persembahyangan.
Tidak perlu menghabiskan banyak waktu karena Agia memiliki langganan untuk mempermudah aktifitas belanjanya.
Setelah memasukkan belanjaan ke dalam bagasi mobil, Agia keluar dari parkir pasar yang dikenakan biaya sebesar dua ribu rupiah.
***
Agia tiba di rumah pukul sembilan lebih empat puluh menit. Sebelum memulai kegiatan memasak, dia terlebih dahulu membersihkan sisa sarapan pagi tadi dan meletakkan piring kotor ditempat pencucian.
Agia lalu mengganti pakaiannya sebelum memasak. Dia memutuskan untuk memasak ayam goreng mentega untuk anak-anak. Sambil memasak, Agia pun menyempatkan diri untuk menyapi dan mengepel lantai seluruh rumah.
Tanpa terasa sudah waktunya untuk menyemput anak-anak pulang sekolah. Agia bergegas mempersiapkan diri untuk menuntaskan kewajibannya sebagai supir pribadi anak-anak.
Agia bergegas mengunci pintu rumah dan menuju mobil di garasi. Agia menghidupkan mesin mobil, juga segera membuka pintu gerbang. Agia bersiap untuk mengendarai mobil untuk menjemput anak-anaknya.
Sebelum sampai masuk ke dalam mobil, tiba-tiba Agia berhenti dan mengatur keseimbangan tubuhnya. Dia terlihat memejamkan mata dikarenakan arah pandangnya bergoyang tidak stabil. Agia menahan rasa mual yang datang sangat sulit untuk ditahan. Bibir, lidah, dan juga tenggorokannya terasa panas. Persendian dirasakan mengendur tanpa tenaga. Beberapa detik kemudian Agia lunglai dan terjatuh tidak sadarkan diri.
***
Agia membuka mata karena mendengar suara dari alat yang berfungsi untuk mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung atau yang sering disebut sebagai elektrokardiogram (EKG).
Dirinya mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Mengapa dia berada di rumah sakit? Infus terlihat menggantung di atas dengan selang kecil yang terhubung pada pergelangan tangannya. Agia lalu menoleh ke sebelah kanan. Bagi duduk dan memandang telepon genggam dengan kepala tertunduk. Lalu Agia memalingkan pandangannya ke sebelah kiri karena mendengar isakan tangis dari Senja. Putri sulungnya terlihat masih mengenakan seragam sekolah sedang menghapus air mata dengan menggunakan tisu.
“Kakak, kenapa nangis?” Agia membuka suara. Namun senja tidak menyahutinya.
Sena yang duduk di sebelah kakaknya memasang wajah penuh duka.
“Sena sayang. Kenapa mukanya begitu?” Sena pun bergeming seperti tidak mendengarkan pertanyaannya.
Agia tersadar ada yang tidak beres di sini.
“Pa. Papa!” Agia memanggil suaminya. Bagi pun terdiam tanpa merespon panggilannya.
Agia mulai panik dan beranjak bangkit dari tempat tidurnya. Suami dan anak-anaknya tetap tidak merespon. Agia memutuskan untuk bangun dengan kaki mengarah ke sebelah kiri.
“Senja, Sena. Mama ngomong kenapa kalian enggak menyahut? Enggak sopan kalau begitu.” Agia mencoba protes kepada anak-anaknya. Masih sama. Kedua pelajar itu seperti tidak menyadari keberadaan Agia.
Agia membalikkan tubuhnya menghadap Bagi.
“Pa. Lihat itu an…” Agia berhenti dan tertegun memandang tubuhnya sedang berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Bambang Setyo
Bagi sama agia ternyata berjodoh ya... Bahkan punya anak 2 yg lucu2..
2023-04-26
0
Muh Kamal
wah menarik
2022-11-15
0
SRIATON SRIATON
da lah 😭
2022-09-30
1